Selasa, 25 November 2014

Tes Dua Jari bagi Polwan

                                         Tes Dua Jari bagi Polwan

Fransisca Ayu Kumalasari  ;   Alumnus Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum UGM, Tinggal di Solo
JAWA POS,  24 November 2014

                                                                                                                       


INSTITUSI kepolisian, khususnya polisi wanita (polwan), hari-hari ini diselimuti isu tak sedap terkait pemberlakuan tes keperawanan bagi calon peserta tes polwan. Tes itu wajib diberlakukan dalam seleksi penerimaan polwan dengan alasan untuk menjaga kredibilitas dan kehormatan kepolisian. Menurut pengakuan sejumlah peserta perempuan yang mengikuti tes masuk polisi tahun lalu –sebagaimana dirilis kelompok pemerhati HAM, Human Rights Watch (HRW)– mereka dipaksa untuk diperiksa selaput daranya. Mereka digiring masuk ke sebuah ruangan satu per satu untuk dites dalam keadaan bugil di hadapan sesama calon polwan lainnya (sekitar 20 orang). Seorang dokter perempuan kemudian memeriksa mereka dengan cara memasukkan jarinya yang terbungkus sarung tangan ke dalam vagina mereka.

Hal tersebut menyulut kemarahan kaum pemerhati perempuan dan masyarakat, termasuk social media dan media internasional. Majalah Time dari Amerika Serikat dan surat kabar Daily Mail Inggris Selasa (18/11), misalnya, mengulasnya dengan menyebut tes tersebut sebagai sesuatu yang menyakitkan dan membuat trauma bagi kaum hawa karena sangat diskriminatif dan merendahkan perempuan. Walaupun semua calon polwan yang gagal tes keperawanan tidak sepenuhnya dikeluarkan dari Polri, tetap saja mereka merasakan tes itu sebagai sebuah perilaku teror-psikologis yang menyakitkan dan menyisakan luka traumatis bagi tubuh dan perasaan hingga memengaruhi kondisi psikologis mereka ketika melaksanakan tugas di masyarakat.

Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) Inspektur Jenderal Polisi Ronny F. Sompie terang-terangan membantah praktik itu masih dilakukan sekarang. Namun, kenyataannya, tes itu memang masih dilakukan hingga kini sebagaimana juga terbukti dalam iklan pembukaan lowongan kepolisian nasional dalam website resminya pada 5 November 2014 yang berbunyi, ”Sebagai tes lanjutan fisik dan medis, perempuan yang ingin menjadi polwan harus menjalani tes keperawanan. Ini dilakukan agar mereka yang ingin menjadi polwan harus tetap perawan”. Jika tahun ini peserta ujian masuk polwan mencapai 7.000 perempuan dari seluruh provinsi, sejumlah itu pula hak-hak psikologis perempuan akan dilukai lewat tameng uji virginitas.

Fenomena tes keperawanan pernah juga mencuat tahun lalu, tepatnya di Kota Prabumulih. Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, merencanakan kebijakan bahwa semua siswi sekolah di Prabumulih harus mengikuti tes keperawanan sebagai respons terhadap maraknya kasus siswi sekolah yang berbuat mesum, bahkan diduga melakoni praktik prostitusi. Namun, belakangan Kadispendik Kota Prabumulih Rasyid menyangkal wacana tersebut. Dia berpendapat hanya menyuarakan suara orang tua yang anaknya terkena dugaan prostitusi dan tak terima saat anaknya dituduh tak perawan. Orang tua tersebut kemudian meminta uji keperawanan untuk membuktikan anaknya perawan. Pertanyaannya, jika itu hanya reaksi individu orang tua yang cemas terhadap anaknya, kenapa reaksi tersebut harus dilembagakan dalam aturan formal yang bisa berimplikasi negatif bagi siswa-siswa lainnya? Untunglah, setelah mendapat serangan dari kaum pemerhati perempuan, praktisi pendidikan, dan masyarakat, wacana ”tes dua jari” di Prabumulih tersebut menguap dengan sendirinya.

Para polwan yang dikenai tes keperawanan menjadi simbol masih kuatnya struktur kekerasan yang dilahirkan oleh negara untuk melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan. Virginitas dijadikan semacam area sakral untuk mendemarkasi tubuh perempuan secara sosial-politis melalui perlakuan-perlakuan yang berimpitan dengan masa depannya, khususnya dalam proses pencarian kerja dan aktualisasi dirinya sehari-hari. Itu merupakan upaya pembatasan aksesibilitas ruang publik secara sistematis bagi para perempuan yang dilakukan oleh negara.

Debatable

Padahal, berbicara soal virginitas, ia adalah sesuatu konsep yang masih debatable sampai sekarang, baik di kalangan praktisi kesehatan, ahli kesehatan reproduksi, maupun dalam perspektif psikologis perempuan. Tes keperawanan, bagaimanapun, sangat sulit untuk dilakukan karena terlebih dahulu kita harus menyepakati bersama definisi apa yang dimaksud sebagai virginitas. Apakah perawan diartikan tidak melakukan seks atau tidak robeknya selaput dara. Lalu, bagaimana dengan perempuan yang tidak pernah sekali pun melakukan hubungan seksual namun selaput daranya robek karena mengalami kecelakaan atau melakukan aktivitas berbahaya tanpa disadari. Bahkan, menurut pakar obstetrik ginekologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), selaput dara perempuan memiliki bentuk dan pori bervariasi. Ada yang bersepta-septa dan berlubang-lubang. Derajat kelembutan dan fleksibilitasnya pun berbeda-beda. Karena bentuknya selaput, pendarahan pada bagian itu biasanya sedikit. Itulah yang mengakibatkan keluar darah pada saat hubungan seks pertama dilakukan. Tetapi, fenomena tersebut tak mesti dialami semua perempuan. Jika seorang perempuan memiliki selaput dara yang sangat tipis, mungkin ia tak akan mengalami pendarahan sama sekali saat melakukan hubungan seks kali pertama.

Maka, jika definisi virginitas adalah pernah atau tidak pernah melakukan hubungan seksual, tes keperawanan tersebut sama sekali tak ada hubungannya dengan selaput dara. Inilah logika sempit dan miskin kecerdasan yang coba dibangun untuk sengaja melanggengkan budaya kecurigaan yang masif terhadap eksistensi kaum perempuan. Bisa dibayangkan bagaimana jika tes keperawanan tersebut terus dilegalkan pada seseorang untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan atau untuk mendapatkan pekerjaan. Betapa ekses yang dirasakan perempuan tersebut akan bertubi-tubi jadinya, mulai kehilangan hak untuk memiliki masa depan (pendidikan dan pekerjaan), hak untuk memperoleh recognizing (pengakuan sosial), hingga hak untuk menjalani interaksi sosial secara egaliter dan nondiskriminatif. 

Karena itu, kita menyerukan agar tes keperawanan tersebut dihentikan. Selain mencederai harkat dan martabat wanita, itu hanya akan menegaskan suatu kebencian struktural negara terhadap perempuan yang dibungkus lewat anjuran moral picisan yang membodohkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar