Tes
Dua Jari bagi Polwan
Fransisca Ayu Kumalasari ; Alumnus Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum UGM, Tinggal di Solo
|
JAWA
POS, 24 November 2014
INSTITUSI
kepolisian, khususnya polisi wanita (polwan), hari-hari ini diselimuti isu
tak sedap terkait pemberlakuan tes keperawanan bagi calon peserta tes polwan.
Tes itu wajib diberlakukan dalam seleksi penerimaan polwan dengan alasan
untuk menjaga kredibilitas dan kehormatan kepolisian. Menurut pengakuan
sejumlah peserta perempuan yang mengikuti tes masuk polisi tahun lalu
–sebagaimana dirilis kelompok pemerhati HAM, Human Rights Watch (HRW)– mereka dipaksa untuk diperiksa selaput
daranya. Mereka digiring masuk ke sebuah ruangan satu per satu untuk dites
dalam keadaan bugil di hadapan sesama calon polwan lainnya (sekitar 20
orang). Seorang dokter perempuan kemudian memeriksa mereka dengan cara
memasukkan jarinya yang terbungkus sarung tangan ke dalam vagina mereka.
Hal
tersebut menyulut kemarahan kaum pemerhati perempuan dan masyarakat, termasuk
social media dan media
internasional. Majalah Time dari Amerika Serikat dan surat kabar Daily Mail Inggris Selasa (18/11),
misalnya, mengulasnya dengan menyebut tes tersebut sebagai sesuatu yang
menyakitkan dan membuat trauma bagi kaum hawa karena sangat diskriminatif dan
merendahkan perempuan. Walaupun semua calon polwan yang gagal tes keperawanan
tidak sepenuhnya dikeluarkan dari Polri, tetap saja mereka merasakan tes itu
sebagai sebuah perilaku teror-psikologis yang menyakitkan dan menyisakan luka
traumatis bagi tubuh dan perasaan hingga memengaruhi kondisi psikologis
mereka ketika melaksanakan tugas di masyarakat.
Kepala
Divisi Humas Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri)
Inspektur Jenderal Polisi Ronny F. Sompie terang-terangan membantah praktik
itu masih dilakukan sekarang. Namun, kenyataannya, tes itu memang masih
dilakukan hingga kini sebagaimana juga terbukti dalam iklan pembukaan
lowongan kepolisian nasional dalam website resminya pada 5 November 2014 yang
berbunyi, ”Sebagai tes lanjutan fisik
dan medis, perempuan yang ingin menjadi polwan harus menjalani tes
keperawanan. Ini dilakukan agar mereka yang ingin menjadi polwan harus tetap
perawan”. Jika tahun ini peserta ujian masuk polwan mencapai 7.000
perempuan dari seluruh provinsi, sejumlah itu pula hak-hak psikologis
perempuan akan dilukai lewat tameng uji virginitas.
Fenomena
tes keperawanan pernah juga mencuat tahun lalu, tepatnya di Kota Prabumulih.
Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, merencanakan
kebijakan bahwa semua siswi sekolah di Prabumulih harus mengikuti tes
keperawanan sebagai respons terhadap maraknya kasus siswi sekolah yang
berbuat mesum, bahkan diduga melakoni praktik prostitusi. Namun, belakangan
Kadispendik Kota Prabumulih Rasyid menyangkal wacana tersebut. Dia
berpendapat hanya menyuarakan suara orang tua yang anaknya terkena dugaan
prostitusi dan tak terima saat anaknya dituduh tak perawan. Orang tua
tersebut kemudian meminta uji keperawanan untuk membuktikan anaknya perawan.
Pertanyaannya, jika itu hanya reaksi individu orang tua yang cemas terhadap
anaknya, kenapa reaksi tersebut harus dilembagakan dalam aturan formal yang
bisa berimplikasi negatif bagi siswa-siswa lainnya? Untunglah, setelah
mendapat serangan dari kaum pemerhati perempuan, praktisi pendidikan, dan
masyarakat, wacana ”tes dua jari”
di Prabumulih tersebut menguap dengan sendirinya.
Para
polwan yang dikenai tes keperawanan menjadi simbol masih kuatnya struktur
kekerasan yang dilahirkan oleh negara untuk melanggengkan diskriminasi
terhadap perempuan. Virginitas dijadikan semacam area sakral untuk
mendemarkasi tubuh perempuan secara sosial-politis melalui
perlakuan-perlakuan yang berimpitan dengan masa depannya, khususnya dalam
proses pencarian kerja dan aktualisasi dirinya sehari-hari. Itu merupakan
upaya pembatasan aksesibilitas ruang publik secara sistematis bagi para
perempuan yang dilakukan oleh negara.
Debatable
Padahal,
berbicara soal virginitas, ia adalah sesuatu konsep yang masih debatable
sampai sekarang, baik di kalangan praktisi kesehatan, ahli kesehatan
reproduksi, maupun dalam perspektif psikologis perempuan. Tes keperawanan,
bagaimanapun, sangat sulit untuk dilakukan karena terlebih dahulu kita harus
menyepakati bersama definisi apa yang dimaksud sebagai virginitas. Apakah
perawan diartikan tidak melakukan seks atau tidak robeknya selaput dara. Lalu,
bagaimana dengan perempuan yang tidak pernah sekali pun melakukan hubungan
seksual namun selaput daranya robek karena mengalami kecelakaan atau
melakukan aktivitas berbahaya tanpa disadari. Bahkan, menurut pakar obstetrik
ginekologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), selaput
dara perempuan memiliki bentuk dan pori bervariasi. Ada yang bersepta-septa
dan berlubang-lubang. Derajat kelembutan dan fleksibilitasnya pun
berbeda-beda. Karena bentuknya selaput, pendarahan pada bagian itu biasanya
sedikit. Itulah yang mengakibatkan keluar darah pada saat hubungan seks
pertama dilakukan. Tetapi, fenomena tersebut tak mesti dialami semua
perempuan. Jika seorang perempuan memiliki selaput dara yang sangat tipis,
mungkin ia tak akan mengalami pendarahan sama sekali saat melakukan hubungan
seks kali pertama.
Maka,
jika definisi virginitas adalah pernah atau tidak pernah melakukan hubungan
seksual, tes keperawanan tersebut sama sekali tak ada hubungannya dengan
selaput dara. Inilah logika sempit dan miskin kecerdasan yang coba dibangun
untuk sengaja melanggengkan budaya kecurigaan yang masif terhadap eksistensi
kaum perempuan. Bisa dibayangkan bagaimana jika tes keperawanan tersebut
terus dilegalkan pada seseorang untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih
tinggi dan atau untuk mendapatkan pekerjaan. Betapa ekses yang dirasakan
perempuan tersebut akan bertubi-tubi jadinya, mulai kehilangan hak untuk
memiliki masa depan (pendidikan dan pekerjaan), hak untuk memperoleh recognizing (pengakuan sosial), hingga
hak untuk menjalani interaksi sosial secara egaliter dan
nondiskriminatif.
Karena itu, kita menyerukan agar tes keperawanan tersebut dihentikan.
Selain mencederai harkat dan martabat wanita, itu hanya akan menegaskan suatu
kebencian struktural negara terhadap perempuan yang dibungkus lewat anjuran
moral picisan yang membodohkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar