Mengubah
Sikap Pasangan
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
23 November 2014
Hampir
setiap pasangan perkawinan mempertengkarkan isu-isu palsu. Biasanya semakin
mereka bertahan dalam pertengkaran tentang hal tertentu, kadar emosional yang
menyertai pertengkaran mereka akan semakin tinggi.
Terus
terang saya tidak akan pernah melupakan saat saya baru menjadi terapis pemula
dalam masalah perkawinan. Datang sepasang suami-istri (suami, L dan istri, M)
yang sejak duduk dalam ruang konsultasi, mereka langsung bertengkar keras
memperdebatkan ke mana sebaiknya sore itu mereka makan malam, apakah ke KFC
atau McD, sambil tanpa memperhatikan kehadiran saya di ruangan tersebut.
Terus
terang saya benar-benar bingung, apa yang harus saya lakukan untuk melerai
pertengkaran tersebut karena yang mereka pertengkarkan adalah perbedaan rasa
bumbu ayam KFC dan McD, dan masing-masing menyatakan bahwa sebagai individu
punya selera yang individual dan tidak satu pun yang mau mengalah. Keduanya
menginginkan pasangannya mengikuti seleranya, dan mau mengikuti kesukaannya
masing-masing.
Saat
mereka bertengkar sengit dan saling mempertahankan argumentasi masing-masing,
saya justru dapat memperhatikan bahwa walaupun mereka punya latar belakang
pendidikan yang cukup tinggi, tidak satu pun di antara mereka mau menggeser
pendapatnya dan mengikuti pilihan makanan yang disukai oleh pasangannya.
Hal lain
yang dapat saya simak adalah bahwa pada galibnya mereka sebenarnya bukan
memasalahkan perbedaan resep ayam goreng KFC atau McD sebagai isu penting,
melainkan dengan perbedaan selera tersebut, keduanya mendapatkan isu yang
lebih pantas dipertengkarkan daripada mengungkap rasa sakit hati oleh
perlakuan pasangannya yang selama ini mereka pendam. Jadi, ada isu di balik
pertengkaran mereka yang lebih esensial dan penting.
Kecuali
itu, ternyata saat itu saya juga berperan sebagai saksi dari pertengkaran
sengit antar dua orang yang sedang mengutarakan rasa sakit hati masing-masing
oleh isu lain yang lebih penting dari sekadar perbedaan bumbu ayam goreng.
Mengubah pasangan
Seperti
halnya pada umumnya pasangan suami-istri, misalnya, L dan M yang menginginkan
pasangannya berpikir, merasakan dan mengerti berbagai hal dengan cara yang
sama. Padahal setiap orang dalam hati kecilnya punya segi ”benar” yang
kemudian diyakini bahwa bila pasangan kita juga memiliki segi ”benar” yang
sama, berarti dunia yang diciptakan pasangan menjadi lebih baik. Namun, yang
juga perlu kita pertimbangkan adalah bahwa salah satu karakteristik dari
kematangan emosional seseorang adalah kemampuan mengenali validitas realitas
ganda dan memahami bahwa setiap orang berpikir, merasakan, dan bereaksi
dengan cara yang berbeda.
Pada
kenyataannya kita sering berpendapat bahwa kedekatan yang terjalin antar kita
dengan pasangan berarti kita adalah dua individu yang seyogianya ”sama”,
karena pasangan perkawinan dan anggota keluarganya cenderung dinilai sebagai
kelompok individu yang memiliki kesamaan dalam cara pikir dan cara merasakan
serta memiliki satu realitas dalam segala sesuatunya. Kesulitan yang sangat
ekstrem adalah belajar dengan kesungguhan hati dan kepala dingin bahwa kita
memiliki hak untuk segala sesuatu yang kita pikirkan dan rasakan, dan begitu
pula halnya dengan orang lain, walaupun orang lain tersebut adalah pasangan
hidup kita.
Tugas
kita sebenarnya adalah untuk menetapkan pikiran dan perasaan kita secara
jelas dan benar-benar sejalan dengan nilai-nilai dan keyakinan–keyakinan yang
kita anut. Jadi, bukan tugas kita untuk membuat orang lain memiliki cara
berpikir dan merasakan sesuatu seperti cara kita, apalagi menuntut orang lain
memiliki cara berpikir dan cara merasakan agar orang lain atau pasangan kita
bersikap seperti yang kita inginkan.
Mungkin
saja dengan cara-cara keras dan dominan kita bisa membuat perubahan sikap
orang lain, namun pasti akan menyertakan penderitaan emosional yang tidak
terkira intensitasnya dan akhirnya pun kita mendapatkan kenyataan bahwa orang
tersebut tidak pernah berubah.
Memang
tidak ada salahnya kita menginginkan orang lain berubah, masalahnya adalah
bahwa kita tidak akan berhasil, walau seterampil apa pun usaha tersebut kita
lakukan. Pertengkaran demi pertengkaran sehebat apa pun tidak akan efektif,
sehingga dalam hal ini yang terpenting adalah menghapuskan fantasi bahwa kita
memiliki kemampuan untuk mengubah dan mengendalikan orang lain termasuk
pasangan kita sendiri.
Ketahuilah bahwa hanya kekuatan, energi psikis, dan kekuasaan kita
dalam mengelola energi psikis diri kita sendirilah yang dapat digunakan
sebagai peran utama untuk justru mengubah cara menentukan aksi baru yang
berbeda dalam menyiasati perbedaan cara berpikir, cara pandang, dan cara merasakan
antara diri kita dan pasangan kita. Dengan harapan perubahan aksi kita akan
berpengaruh bagi perubahan reaksi pasangan kita, yang paling tidak mendekati
harapan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar