Minggu, 30 November 2014

Mengubah Sikap Pasangan

                                       Mengubah Sikap Pasangan

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS,  23 November 2014

                                                                                                                       


Hampir setiap pasangan perkawinan mempertengkarkan isu-isu palsu. Biasanya semakin mereka bertahan dalam pertengkaran tentang hal tertentu, kadar emosional yang menyertai pertengkaran mereka akan semakin tinggi.
Terus terang saya tidak akan pernah melupakan saat saya baru menjadi terapis pemula dalam masalah perkawinan. Datang sepasang suami-istri (suami, L dan istri, M) yang sejak duduk dalam ruang konsultasi, mereka langsung bertengkar keras memperdebatkan ke mana sebaiknya sore itu mereka makan malam, apakah ke KFC atau McD, sambil tanpa memperhatikan kehadiran saya di ruangan tersebut.

Terus terang saya benar-benar bingung, apa yang harus saya lakukan untuk melerai pertengkaran tersebut karena yang mereka pertengkarkan adalah perbedaan rasa bumbu ayam KFC dan McD, dan masing-masing menyatakan bahwa sebagai individu punya selera yang individual dan tidak satu pun yang mau mengalah. Keduanya menginginkan pasangannya mengikuti seleranya, dan mau mengikuti kesukaannya masing-masing.

Saat mereka bertengkar sengit dan saling mempertahankan argumentasi masing-masing, saya justru dapat memperhatikan bahwa walaupun mereka punya latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, tidak satu pun di antara mereka mau menggeser pendapatnya dan mengikuti pilihan makanan yang disukai oleh pasangannya.

Hal lain yang dapat saya simak adalah bahwa pada galibnya mereka sebenarnya bukan memasalahkan perbedaan resep ayam goreng KFC atau McD sebagai isu penting, melainkan dengan perbedaan selera tersebut, keduanya mendapatkan isu yang lebih pantas dipertengkarkan daripada mengungkap rasa sakit hati oleh perlakuan pasangannya yang selama ini mereka pendam. Jadi, ada isu di balik pertengkaran mereka yang lebih esensial dan penting.

Kecuali itu, ternyata saat itu saya juga berperan sebagai saksi dari pertengkaran sengit antar dua orang yang sedang mengutarakan rasa sakit hati masing-masing oleh isu lain yang lebih penting dari sekadar perbedaan bumbu ayam goreng.

Mengubah pasangan

Seperti halnya pada umumnya pasangan suami-istri, misalnya, L dan M yang menginginkan pasangannya berpikir, merasakan dan mengerti berbagai hal dengan cara yang sama. Padahal setiap orang dalam hati kecilnya punya segi ”benar” yang kemudian diyakini bahwa bila pasangan kita juga memiliki segi ”benar” yang sama, berarti dunia yang diciptakan pasangan menjadi lebih baik. Namun, yang juga perlu kita pertimbangkan adalah bahwa salah satu karakteristik dari kematangan emosional seseorang adalah kemampuan mengenali validitas realitas ganda dan memahami bahwa setiap orang berpikir, merasakan, dan bereaksi dengan cara yang berbeda.

Pada kenyataannya kita sering berpendapat bahwa kedekatan yang terjalin antar kita dengan pasangan berarti kita adalah dua individu yang seyogianya ”sama”, karena pasangan perkawinan dan anggota keluarganya cenderung dinilai sebagai kelompok individu yang memiliki kesamaan dalam cara pikir dan cara merasakan serta memiliki satu realitas dalam segala sesuatunya. Kesulitan yang sangat ekstrem adalah belajar dengan kesungguhan hati dan kepala dingin bahwa kita memiliki hak untuk segala sesuatu yang kita pikirkan dan rasakan, dan begitu pula halnya dengan orang lain, walaupun orang lain tersebut adalah pasangan hidup kita.

Tugas kita sebenarnya adalah untuk menetapkan pikiran dan perasaan kita secara jelas dan benar-benar sejalan dengan nilai-nilai dan keyakinan–keyakinan yang kita anut. Jadi, bukan tugas kita untuk membuat orang lain memiliki cara berpikir dan merasakan sesuatu seperti cara kita, apalagi menuntut orang lain memiliki cara berpikir dan cara merasakan agar orang lain atau pasangan kita bersikap seperti yang kita inginkan.

Mungkin saja dengan cara-cara keras dan dominan kita bisa membuat perubahan sikap orang lain, namun pasti akan menyertakan penderitaan emosional yang tidak terkira intensitasnya dan akhirnya pun kita mendapatkan kenyataan bahwa orang tersebut tidak pernah berubah.

Memang tidak ada salahnya kita menginginkan orang lain berubah, masalahnya adalah bahwa kita tidak akan berhasil, walau seterampil apa pun usaha tersebut kita lakukan. Pertengkaran demi pertengkaran sehebat apa pun tidak akan efektif, sehingga dalam hal ini yang terpenting adalah menghapuskan fantasi bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengubah dan mengendalikan orang lain termasuk pasangan kita sendiri.

Ketahuilah bahwa hanya kekuatan, energi psikis, dan kekuasaan kita dalam mengelola energi psikis diri kita sendirilah yang dapat digunakan sebagai peran utama untuk justru mengubah cara menentukan aksi baru yang berbeda dalam menyiasati perbedaan cara berpikir, cara pandang, dan cara merasakan antara diri kita dan pasangan kita. Dengan harapan perubahan aksi kita akan berpengaruh bagi perubahan reaksi pasangan kita, yang paling tidak mendekati harapan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar