Menatap 2015
Optimisme di Tengah Kegaduhan Politik
Rikard Bagun ; Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS,
28 November 2014
KEGADUHAN yang terus berlangsung di panggung politik Indonesia dapat
menjadi bola liar yang bisa saja bergerak tak terkendali jika tidak segera
dibereskan. Bukan saja harga dan taruhannya mahal, melainkan juga menjadi
kekonyolan. Berbagai kalangan menjadi gamang dan galau, lebih-lebih karena
sejumlah isu penting bangsa terdesak ke belakang oleh sensasi dan efek
demonstratif kegaduhan politik, yang minim makna dan praktis tidak menawarkan
apa-apa bagi kepentingan publik. Absurditas politik!
Para pelaku kegaduhan cenderung menganggap enteng dan positif atas
segala hiruk pikuk yang diciptakan dan sebagai dinamika politik, sementara
rakyat umumnya dengan sinis dan kecewa memandangnya sebagai sesuatu yang
mubazir dan menjemukan.
Harapan perbaikan kesejahteraan, yang melambung tinggi seiring
tampilnya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, terancam
meredup cepat dan oleng jika proses pembangunan kedodoran sebagai komplikasi
dari kegaduhan politik.
Semula muncul keyakinan, bangsa Indonesia akan mendapat momentum baru
dalam memacu kemajuan. Di luar dugaan, jalan menuju kaki langit yang lebih
baik dan lebih cerah tidak datar dan lurus, bahkan ada yang menilai penuh
tanjakan dan tikungan tajam dan licin.
Saling
mengunci
Sebelum mulai melangkah saja, pemerintah baru sudah direpotkan oleh
kegaduhan politik. Tanpa bermaksud mengurangi kepercayaan kepada kepemimpinan
JKW-JK, semakin banyak orang bergumam, mungkinkah upaya perbaikan nasib
rakyat dapat dilaksanakan dengan mulus di tengah konsentrasi yang terusik dan
terpecah oleh hiruk pikuk politik berlarut-larut.
Juga menjadi pertanyaan, apakah pemerintahan JKW-JK dapat melakukan
koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi secara efektif di lingkungan kabinet
maupun antara pusat dan daerah di era otonomi dan di tengah kegaduhan
politik.
Jauh lebih serius lagi, perilaku kaum elite yang cenderung menjalankan
politik saling mengunci dan menyandera dalam tarik-menarik kepentingan yang
berorientasi kelompok dan perkubuan. Kecenderungan itu tidak hanya menguras
perhatian dan energi, tetapi juga menelantarkan kepentingan rakyat banyak.
Kaum politisi terkesan saling membanting ke lantai, bertarung
habis-habisan untuk menggapai kepentingan masing-masing, bukan mengejar
tujuan bersama. Dari kejauhan terlihat kekacauan besar, ibarat perang oleh
semua melawan semua, bellum omnium contra
omnes. Seharusnya politisi bersatu dan kompak dalam menciptakan kebaikan
bersama.
Begitu kerasnya pertarungan kepentingan di kalangan elite, perpolitikan
Indonesia lebih banyak memproduksi kegaduhan, noise, ketimbang suara, voice,
yang jauh diperlukan untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat.
Sudah lama diwacanakan tentang bahaya perilaku elite Indonesia yang
lebih menekankan politik praktis ketimbang politik fundamental. Politik
praktis bersifat pragmatis, oportunistis, penuh kebohongan, obral janji, dan
konsensus transaksional.
Orientasi politik praktis serba jangka pendek, bahkan hidup dari
oportunis harian, carpe diem,
dengan menghalalkan segala cara. Tak peduli kepentingan hari besok, apalagi
jangka panjang bagi bangsa dan negara.
Pesimisme semakin besar karena belum tampak di horizon sosok kuat dan
tokoh yang bergulat dan memperjuangkan politik fundamental, yang menekankan
kejujuran, kebaikan bersama, dan mendorong konsensus secara bermartabat,
bukan sekadar akal-akalan.
Realitas sosial politik yang penuh centang-perenang dikhawatirkan
memasung peluang Indonesia menjadi negara maju. Namun, di sisi lain semakin
membesar pula optimisme tentang masa depan Indonesia yang lebih baik dan
semakin cerah. Apalagi akhir tahun 2015 akan berlaku Masyarakat Ekonomi ASEAN
yang membuka pasar bagi lebih dari 600 juta orang, 43 persen di antaranya ada
di Indonesia.
Indonesia memiliki banyak tantangan, tetapi juga sangat terbuka peluang
menjadi negara maju dan besar, yang dijadikan topik utama edisi khusus 100
halaman harian Kompas terbitan hari ini. Sangatlah diperlukan kemampuan
mengubah tantangan menjadi peluang, sekaligus melipatgandakan peluang.
Kesempatan Indonesia menjadi besar sangat terbuka, yang harus bertumpu
pada kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian dalam
kebudayaan sebagaimana dicanangkan Presiden Jokowi. Namun, tekad yang
bersumber pada gagasan Bung Karno itu akan kedodoran dalam level pelaksanaan
jika tidak ditopang komitmen kuat oleh seluruh elemen bangsa.
Peluang itu menjadi sia-sia jika tidak dikelola orang-orang mampu
dengan visi berjangkauan jauh ke depan. Problematik macam ini sering diangkat
Bung Hatta dengan mengutip penyair Jerman, Friedrich Schiller, yang
menyatakan, ”Zamannya zaman agung,
tetapi masa agung hanya dihuni orang-orang kerdil.”
Peluang agung yang datang menghampiri bangsa Indonesia perlu
dimanfaatkan sebesar-besarnya, bukan dikerdilkan dan dibiarkan terempas
karena salah urus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar