Ihwal
Revisi UU MD3
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat
Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
26 November 2014
SEBAGAI bagian
dari solusi mengakhiri pertengkaran antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi
Indonesia Hebat, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD akan segera direvisi secara terbatas. Seperti menjadi solusi yang tak terelakkan,
menurut rencana, revisi terbatas ini segera disetujui bersama dengan
pemerintah pada 2 Desember mendatang.
Membaca bidikan
perubahan, revisi terbatas UU No 17/2014 (UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD/MD3) tak
hanya dimaksudkan menjadi ”kebutuhan internal” DPR dalam mengakomodasi
kesepakatan damai antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia
Hebat (KIH), tetapi juga menyangkut hubungan antara DPR dan pemerintah.
Misalnya, kedua pihak sepakat menghapus ketentuan yang memungkinkan
terjadinya ekses rekomendasi DPR kepada pemerintah.
Dengan cakupan itu,
sekalipun hanya beberapa pasal, revisi UU MD3 tidak dapat dikatakan berada
dalam lingkup yang terbatas. Karena proses revisi bergerak dalam bingkai
fungsi legislasi, pemerintah bisa saja memiliki keinginan yang tidak persis
sama dengan arah revisi yang disepakati kedua koalisi. Situasi bisa bertambah
rumit karena revisi UU MD3 tidak mungkin mengabaikan keterlibatan DPD.
Kepentingan sesaat
Sejak semula, proses
legislasi pengaturan di sekitar lembaga perwakilan rakyat begitu terasa aroma
kepentingan politik kekuatan parpol di DPR. Paling tidak, aroma kepentingan
politik dapat dirasakan sejak proses perumusan UU MD3 yang digunakan pada
periode 2009-2014, yaitu UU No 27/2009. Kepentingan politik terasa kian
mengental ketika proses perubahan UU No 27/2009 menjadi UU No 17/2014.
Bahkan, pembelahan awal KMP dan KIH dapat dikatakan buah dari desain dalam UU
No 17/2014.
Sepanjang yang bisa
dilacak, aroma yang mengitari proses pergantian UU No 27/2009 menjadi UU No
17/2014 adalah pembelahan basis dukungan dalam pemilu presiden-wakil
presiden. Tak terbantahkan, perbedaan ini menjadi instrumen pendayung agenda
politik di DPR dalam perubahan UU MD3. Sebagaimana ditulis dalam ”Merampas
Kuasa Senayan” (Kompas, 17/7/2014), fokus utama perubahan adalah
mengubah sedemikian rupa tata cara pemilihan pimpinan DPR. Melihat relasi
antara partai politik dan anggota DPR selama ini, menguasai pimpinan jadi
jalan pintas untuk menguasai DPR.
Sadar atau tidak,
setelah melihat hasil pemilu presiden-wakil presiden, pilihan untuk menguasai
pimpinan DPR tak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai strategi membangun check and balance dengan
pemerintah, tetapi juga seperti hendak melembagakan pembelahan pola hubungan
kedua lembaga. Tak cukup berhenti di situ, langkah politik menguasai semua
pimpinan alat kelengkapan pada satu kelompok telah menghadirkan pembelahan di
internal DPR. Dengan pengelompokan yang tercipta setelah pilpres, terjadi
kebuntuan (deadlock) secara
permanen. Disfungsi DPR hampir dua bulan lebih sejak dilantik adalah buah
dari dominannya kepentingan politik sesaat dalam membahas UU MD3.
Tidak jauh berbeda
dengan peristiwa perubahan UU MD3, yaitu dari UU No 27/2009 menjadi UU No
17/2014, revisi terbatas ini dapat dikatakan sarat kepentingan politik sesaat
kekuatan politik di Senayan. Semua pihak tentu saja menyambut baik
kesepakatan damai antara KMP dan KIH sebagai satu-satunya jalan membuat DPR
melaksanakan semua fungsi konstitusional dalam UUD 1945. Meski demikian,
ketika upaya menghentikan pertikaian kedua kubu ini harus berujung pada
perubahan UU MD3, secara sederhana dapat dikatakan barisan pendukung KMP
tidak sepenuh hati menyelesaikan pembelahan di DPR.
Seharusnya, dengan
tercapainya ”kesepakatan damai” di antara kedua kubu, kekuatan politik yang
tergabung dalam KMP dengan sukarela juga memiliki kemauan politik untuk
berbagi pimpinan alat kelengkapan dengan kekuatan politik yang tergabung
dalam KIH. Artinya, apabila kerelaan itu terjadi, jalan damai yang ditempuh
kedua pihak tak perlu berujung pada revisi UU MD3.
Dengan memilih skenario
merevisi UU MD3 untuk mengakomodasi masuknya wakil KIH di alat kelengkapan
DPR, kian membuktikan bahwa revisi UU MD3 hanya menjadi jalan pintas untuk
meneguhkan kekuasaan kelompok mayoritas di DPR. Mestinya, dengan adanya
kesepakatan damai, KMP memberikan kesempatan adanya pimpinan alat kelengkapan
dari KIH tanpa perlu merevisi UU MD3. Karena itu, dalam batas penalaran yang
wajar, revisi terbatas ini dapat dikatakan kebablasan.
Dalam hal ini, rencana
revisi sejumlah pasal dalam UU MD3 sama sekali jauh dari sebuah keinginan
menciptakan lembaga perwakilan yang lebih efektif. Kalaupun akhirnya
masyarakat menerima revisi itu, semuanya tak lebih dari keinginan agar DPR
segera bekerja dan melaksanakan fungsi-fungsi konstitusional dalam UUD 1945.
Bahkan, bukan tak mungkin, pilihan melakukan revisi terbatas menjadi semacam
pil pahit yang harus ditelan masyarakat karena sudah muak melihat
pertengkaran di DPR.
Karena itu, untuk
sedikit menghilangkan kesan kebablasan, disepakati pula revisi atas ketentuan
yang terkait dengan tindak lanjut rekomendasi DPR pada lembaga lain. Terkait
hal ini, Pasal 74 UU MD3 menyatakan bahwa rekomendasi DPR wajib
ditindaklanjuti. Jika tak ditindaklanjuti, DPR dapat menggunakan hak
interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR
mengajukan pertanyaan. Bahkan, jika warga negara dan badan hukum tak
melaksanakan rekomendasi, DPR dapat meminta kepada instansi berwenang
memberikan sanksi.
Terlepas dari kelompok
yang mengusulkan ini, perubahan Pasal 74 dapat dikatakan sebagai skenario DPR
untuk memuluskan langkah perubahan ketentuan lain yang terkait kepentingan
internal DPR. Bagaimanapun, merujuk Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, sebagai salah
satu pihak yang memegang kuasa pembahasan rancangan UU, revisi terbatas tak
akan pernah terjadi apabila pemerintah menolak membahas dan menyetujui
bersama. Boleh jadi, dengan perubahan Pasal 74 UU MD3, pemerintah didorong
pula seolah-olah memiliki kepentingan politik yang sama dengan DPR.
Libatkan DPD
Persoalan lain, jika
pilihan melakukan revisi terbatas tak mungkin dielakkan, DPR harus tetap
melibatkan DPD. Ihwal ini, DPR tak pada tempatnya menggunakan basis
argumentasi untuk tak melibatkan DPD karena substansi revisi tak terkait
kewenangan kamar kedua lembaga legislatif ini. Sekalipun ketentuan yang
direvisi tak menyangkut DPD, sesuai Pasal 22D UUD 1945, lembaga ini tak bisa
ditinggalkan begitu saja dalam revisi UU MD3. Demi menjaga
makna Pasal 22D, DPD harus jadi bagian dalam revisi UU MD3. Bisa saja, dalam
pembahasan nantinya, DPR menyampaikan kepada DPD mengapa pasal-pasal tertentu
saja yang direvisi. Jika ini dilakukan, hasil revisi nanti tak perlu
menghadapi kemungkinan adanya cacat formal. Selain itu, pelibatan ini menjadi
keniscayaan karena pada saat perubahan UU No 27/2009 menjadi UU No 17/2014,
DPR pun meninggalkan DPD. Kini saatnya sedikit memulihkan luka DPD dalam
revisi UU MD3.
Terlepas dari semua
persoalan tersebut, secara substansi UU MD3 memang perlu direvisi. Misalnya,
salah satu alasan mengganti model pemilihan pimpinan adalah untuk memulihkan
daulat anggota dalam menentukan pimpinan DPR. Melihat pengalaman terakhir,
ternyata pengisian pimpinan dan alat kelengkapan hanya kian meneguhkan
supremasi elite parpol. Bahkan, upaya menciptakan lembaga perwakilan yang
lebih akuntabel sama sekali belum terakomodasi dalam UU No 17/2014.
Karena itu, setelah
pembelahan KMP dan KIH selesai, perlu dilakukan revisi total UU MD3. Meski
belum tentu akan diberlakukan pada DPR periode 2014-2019, paling tidak upaya
mengubah UU MD3 untuk Pemilu 2019 tidak lagi dilakukan setelah hasil pemilu
diketahui. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar