Interpelasi
Pil Pahit Jokowi
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI;
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia; Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN
SINDO, 24 November 2014
Seluruh
rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, harus menelan pil pahit yang diracik
dalam kemasan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pil
pahit itu mungkin mujarab memulihkan kekuatan APBN, tetapi pemulihan itu
menuntut pengorbanan rakyat. Karena itu, DPR berkewajiban mempertanyakan
kebijakan itu kepada Presiden Jokowi. Semua orang sepakat bahwa Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus produktif. APBN harus menjadi
motor penggerak pembangunan nasional. Namun, dalam proses memulihkan kekuatan
APBN itu, pemerintah tidak patut meminta atau menuntut terlalu banyak dari
rakyat.
Dalam
konteks BBM bersubsidi, negara cq pemerintah belum waktunya mencari untung.
Utamanya, karena jumlah warga miskin masih puluhan juta. Oleh karena itu,
setiap kebijakan pemerintah hendaknya tidak menjadi sumber masalah baru yang
menambah beban kehidupan warga miskin. Sebaliknya, setiap kebijakan justru sepatutnya
menjadi stimulus yang mengurangi beban kehidupan mereka, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Pengalaman
mengajarkan bahwa kenaikan harga BBM akan selalu diikuti dengan naiknya harga
barang dan jasa, utamanya harga komoditi kebutuhan pokok serta tarif jasa
angkutan penumpang pada semua moda transportasi. Dalam beberapa tahun
terakhir, kenaikan harga barang dan jasa itu sering berkelanjutan. Kalau
kenaikan harga barang dan jasa itu tidak direspons dengan kenaikan gaji atau
upah, akibat ikutannya adalah melemahnya daya beli sebagian besar rakyat.
Artinya,
kenaikan harga BBM bersubsidi tidak hanya menyengsarakan warga miskin.
Keluarga atau individu berpenghasilan pas-pasan pun akan menerima dampak
negatifnya. Ketika gaji atau penghasilan mereka tidak naik, otomatis daya
beli keluarga dalam kategori ini akan merosot. Perlahan, mereka bisa
terdorong masuk dalam kelompok warga hampir miskin.
Memang,
untuk melindungi warga miskin dari dampak negatif kenaikan harga BBM itu,
pemerintah baru pimpinan Jokowi coba menangkalnya dengan Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS). Pertanyaannya, setimpalkah daya KKS melawan arus kuat
kenaikan harga barang dan jasa yang biasanya berkelanjutan itu?
Pertanyaan
berikutnya adalah siapa yang akan menyelamatkan kelompok keluarga
berpenghasilan pas-pasan yang daya belinya merosot itu? Mereka ini adalah
pekerja informal, yang karena terdesak oleh keadaan, bersedia menerima upah
di bawah UMR. Kelompok masyarakat seperti ini bisa saja tidak terdata dalam
program KKS itu.
Dengan
demikian, opsi DPR menggunakan hak interpelasi menjadi relevan karena Kabinet
Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo praktis gagal mengamankan kebutuhan dasar
rakyat sebelum memutuskan kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga aneka komoditi
kebutuhan pokok rakyat bahkan telah melambung sebelum harga baru BBM
bersubsidi diberlakukan pada Selasa (18/11).
Kenaikan
tajam harga aneka kebutuhan pokok rakyat dalam beberapa pekan terakhir,
termasuk beras, menjadi bukti bahwa para menteri ekonomi dari Kabinet Kerja
gagal meredam dampak negatif isu naiknya harga BBM bersubsidi. Padahal, sejak
masa kampanye pemilihan presiden, Jokowi sudah begitu sering memastikan
kenaikan harga BBM bersubsidi.
Rupanya
kecenderungan ini tidak dicermati atau diantisipasi para menteri Kabinet
Kerja. Inilah bukti bahwa para menteri tidak sigap merespons rencana presiden
terpilih. Ketidakmampuan para menteri meredam dampak negatif itu akan semakin
menyengsarakan rakyat.
Bantuan
nontunai lewat KKS tidak akan mengurangi penderitaan warga miskin karena
lonjakan harga barang dan jasa biasanya jauh lebih tinggi. Inilah pil pahit
dari Presiden Jokowi yang harus ditelan seluruh rakyat Indonesia. Hampir
pasti bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi tahun 2014 ini akan memperbesar
jumlah warga miskin. Jadi, inilah ironi yang harus diterima.
Alih-alih
mempercepat pengentasan kemiskinan, pemerintah baru malah merancang kebijakan
yang akan berdampak pada bertambahnya jumlah warga miskin dalam dua-tiga
tahun ke depan. Rakyat hanya dihibur dengan janji akan terwujudnya swasembada
pangan, pembangunan waduk, pelabuhan hingga pembangunan jalur kereta api di
luar Jawa. Sayangnya, semua janji itu belum tentu terpenuhi.
Upeti Rakyat
Alasan
lain menggunakan hak interpelasi DPR adalah kenyataan bahwa kebijakan Jokowi
itu tidak berkeadilan karena memindahkan beban fiskal pemerintahan mereka ke
pundak rakyat. Ada penghematan lebih dari Rp100 triliun.
Jumlah
ini didapatkan berkat pengorbanan rakyat yang dipaksakan itu. Ekstremnya,
Rp100 triliun itu ibarat upeti dari rakyat untuk pemerintah baru. Dengan
demikian, sudah cukup alasan bagi DPR menggunakan Hak Interpelasi terhadap
Presiden Jokowi. Fraksi Partai Golkar (FPG) pun sudah menyatakan sikapnya
menolak keputusan Presiden Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi.
FPG
mengecam kebijakan harga baru BBM bersubsidi, karena Jokowi- JK
terang-terangan mengalihkan beban fiskal pemerintahannya ke pundak rakyat.
Dimotori Partai Golkar, Koalisi Merah Putih (KMP) sedang menggalang kekuatan
di DPR untuk memenuhi syarat penggunaan hak interpelasi DPR. KMP menargetkan
lebih dari 300 dukungan anggota DPR. Hak interpelasi bisa berlanjut dengan
pemanggilan Presiden Jokowi untuk dimintai keterangan.
Dan, bila
DPR tidak puas terhadap keterangan Presiden, opsi hak angket DPR hingga hak
menyatakan pendapat (HMP) bisa digunakan. Bagi Partai Golkar, kenaikan harga
BBM bersubsidi saat ini sama sekali tidak masuk akal, bahkan sulit diterima
akal sehat, sebab harga BBM bersubsidi dinaikkan ketika harga minyak di pasar
internasional turun, alias lebih rendah dari asumsi APBN tahun berjalan.
APBN-P 2014 mengasumsikan harga minyak USD105 per barel, sementara harga
minyak saat ini di bawah USD80 per barel.
Artinya,
tekanan beban fiskal bagi pemerintah baru relatif belum bertambah karena
turunnya harga minyak di pasar internasional itu. Maka kalau benar Jokowi
prorakyat, sebagai pemimpin seharusnya memiliki keberanian politik dan
menunjukkan iktikad baik dengan menurunkan harga BBM bersubsidi. Sebab dari
penurunan harga BBM bersubsidi itu, akan terbangun suasana nyaman dalam
kehidupan rakyat.
Kalaupun
tidak punya iktikad baik, Jokowi minimal mempertahankan harga pada level yang
berlaku sebelumnya. Namun, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dengan skala
kenaikan Rp2.000 per liter, sama artinya Jokowi-JK tidak punya iktikad baik
terhadap rakyat. Jokowi tetap saja memilih cara instan menaikkan harga BBM
bersubsidi untuk mengamankan APBN tahun berjalan.
Dengan
model kebijakan seperti ini, FPG menilai Jokowi telah memindahkan beban
fiskal pemerintahan mereka ke pundak rakyat. Ini jelas tidak adil. Pemerintah
baru yang belum mencatat prestasi apa pun tidak berhak menuntut pengorbanan
dari rakyat sekecil apa pun. Menaikkan harga BBM bersubsidi untuk memulihkan
kekuatan APBN adalah cermin pemerintahan Jokowi yang tidak kreatif dan malas.
Sebab,
di hadapan pemerintah, sesungguhnya masih tersedia sejumlah pilihan untuk
memperbesar ruang fiskal pada struktur APBN. Antara lain bersumber dari pajak
dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dengan ekstensifikasi dan penegakan
hukum, pemerintah masih berpeluang besar untuk meningkatkan penerimaan dari
sektor pajak.
Potensi penerimaan negara dari pos PNBP pun masih sangat besar jika
dikelola dengan efektif. Jika pemerintah mau bekerja lebih keras membenahi
dua pos penerimaan ini, rasanya pemerintahan Jokowi tak perlu menuntut
pengorbanan berlebih dari rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar