Kotoran
Eddi Elison ; Mantan Sekretaris Tim Pemberantasan Mafia
Perwasitan PSSI 1998
|
KORAN
TEMPO, 25 November 2014
Menanggapi
"sepak bola gajah" yang terjadi di Yogyakarta, 26 Oktober lalu,
pertandingan antara PSIS Semarang vs PSS Sleman dalam Kompetisi Divisi Utama
saat pertandingan delapan besar, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin
menyebutnya sebagai "kotoran". Karena itu, harus disapu bersih.
Meskipun
tidak menyebutkan jenis kotorannya, Komisi Disiplin (Komdis) pimpinan Hinca
Panjaitan langsung "menyapu bersih" dengan menjatuhkan vonis
terhadap klub PSIS dan PSS, meliputi manajer dan pelatih kedua klub, beberapa
pemain yang terlibat dan diprediksi terlibat, termasuk juga pemijat.
Keputusan ini tampaknya masih panjang, karena wasit yang memimpin
pertandingan pun ikut diincar. "Orang luar" yang disinyalir
bertindak sebagai "pawang" sepak bola gajah itu juga kini sedang
dicari.
Cukup
bersidang sekali, PSIS dan PSS ditendang dari pertarungan babak delapan
besar, sehingga mereka didenda dan tidak mungkin mendapat promosi ke tingkat
Liga Super Indonesia. Selain itu, kedua manajer dan pelatih masing-masing
klub serta beberapa pemain dihukum seumur hidup. Dalam sekali sidang, ada
pemain lainnya yang juga dijatuhi hukuman bervariasi.
Dengan
menghukum pelatih dan pemain seumur hidup secara dadakan, PSSI telah memutus
mata pencarian hidup mereka dan keluarga. Padahal mereka semua menggantungkan
kehidupannya di bidang sepak bola, sesuai dengan bakat dan pilihannya. Karena
itulah, kalau ada beberapa kalangan menyebutkan vonis tersebut sebagai
pembinasaan, bukan pembinaan, tentu bisa dimengerti.
Sejak
lahirnya PSSI, terutama pada era Galatama dalam kepengurusan Ali Sadikin pada
1980-an, terjadi sekian banyak atur-mengatur skor (nama "sepak bola
gajah" belum dikenal), yang melibatkan pemilik klub, pelatih, dan
pemain. Hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri bertujuan "agar
kapok/jera".
Hal yang
perlu dicatat tentang keputusan PSSI terkait dengan sepak bola gajah adalah
Komdis terkesan melupakan etika dalam menjatuhkan vonis. Para
"terdakwa" juga difungsikan sebagai saksi. Pemeriksaan terkesan
mengejar target "harus disapu bersih", tanpa ada pertimbangan
lainnya, seperti biografi terdakwa, sumbangsih mereka terhadap sepak bola,
tingkah polah selama ini, dan lain-lain.
Strategi
yang dipakai Hinca, yang merupakan putra Kisaran, Asahan, itu tampaknya
adalah pola EGP (emang gue pikirin),
karena dikejar target pemasukan dana besar ke kas PSSI melalui denda. Khusus
untuk kasus sepak bola gajah ini, Komdis menghasilkan Rp 3 miliar lebih.
Bayangkan,
selain memutus rantai kehidupan para terhukum, terjadi "perampasan"
harta dan uang mereka, sehingga bisa disetarakan dengan peribahasa
"sudah jatuh, tertimpa tangga pula".
Bagi mereka yang terhukum, masih ada jalan untuk membela diri, yakni
banding ke Komisi Banding, selain perlu melapor ke Komnas HAM, mengingat
vonis tersebut dapat dikategorikan sebagai melanggar HAM, yang berbunyi:
"Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya." Bahkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) menyebutkan,
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar