Setelah
Harga BBM Naik
Firmanzah ; Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 24 November 2014
Pilihan
sulit telah ditempuh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) atas
pengelolaan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Tepat pukul 00.00 WIB, 18
November 2014 lalu, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi masing-masing
untuk premium 30,7% dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 dan untuk solar 36,3% dari
Rp5.500 menjadi Rp7.500. Presiden Jokowi dalam pidatonya menyampaikan,
pemerintah telah memutuskan untuk melakukan pengalihan subsidi BBM dari
sektor konsumtif ke sektor-sektorproduktif, khususnya untuk membangun sektor
infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Per
akhir Oktober, realisasi penyaluran BBM bersubsidi telah mencapai 39,07 juta
kiloliter yang artinya masih tersisa 7 juta kiloliter dari kuota 46 juta
kiloliter yang ditetapkan dalam APBN 2014. Kenaikan harga BBM bersubsidi ini
tentunya memberi dampak pada beberapa indikator perekonomian seperti inflasi
dan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan
harga dasar BBM bersubsidi diperkirakan menyumbang inflasi di kisaran 2%
sehingga pada akhir 2014 inflasi tahunan akan berada di level 7,3%
(sebelumnya perkiraan 5,3% sebelum harga BBM dinaikkan). Dengan profil risiko
inflasi tersebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan melambat di
level 5,1% atau lebih rendah dari angka patokan APBN-P 2014 sebesar 5,5%.
Sepanjang
kuartal I-III tahun 2014, ekonomi nasional memang sedang mengalami
perlambatan. Tercatat pada kuartal III 2014, pertumbuhan ekonomi hanya
mencapai 5,01% atau menurun dibandingkan kuartal I dan II yang masingmasing
sebesar 5,21% dan 5,12%. Selepas kenaikan harga BBM bersubsidi, Bank
Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI Rate ) sebesar 25 basis poin ke
level 7,75%.
Hal ini
dilakukan sebagai bagian dari paket kebijakan moneter dalam memitigasi dampak
tekanan inflasi akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan suku bunga
acuan sebesar 25 basis poin ini menurut BI sebagai sinyal antisipasi terhadap
risiko-risiko seperti inflasi, defisit neraca berjalan, serta risiko fiskal.
Atau
dengan kata lain, kenaikan BI Rate digunakan untuk memberi keyakinan kepada
pasar atas pengendalian potensi risiko yang akan dihadapi dalam beberapa
waktu ke depan. Kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi tentunya akan
berimbas pada sejumlah sektor, khususnya sektor rumah tangga (miskin dan rentan
miskin) serta industri, terutama UMKM.
Untuk
mengantisipasi pelemahan daya beli masyarakat, khususnya kelompok masyarakat
miskin yang mencapai 28 juta orang dan 70 juta orang rentan miskin akibat
kenaikan harga BBM, pemerintah telah mempersiapkan Kartu Kesejahteraan
Sosial, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar. Pemerintahan
Jokowi-JK juga akan memberikan kompensasi Rp400.000 per rumah tangga untuk
bulan November dan Desember bagi 15,5 juta rumah tangga sasaran.
Program conditional cash transfer itu
diharapkan dapat menjadi bantalan dalam mengantisipasi dampak kenaikan harga
BBM bersubsidi pada sejumlah barang kebutuhan pokok masyarakat. Khusus untuk
sektor industri, terutama UMKM, pemerintah perlu melakukan sejumlah kebijakan
dalam menopang kesinambungan usaha.
Hal ini
mengingat UMKM merupakan sektor strategis dengan penyerapan tenaga kerja
terbesar mencapai 101 juta orang atau 97% dari total tenaga kerja nasional
dan terdapat 56,5 juta unit usaha atau 98,9% dari total unit usaha nasional.
Keberadaan UMKM yang strategis juga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap
produk domestik bruto (PDB) nasional yang mencapai 56%.
Kenaikan
harga BBM bersubsidi akan memberi dampak pada kenaikan sejumlah faktor
produksi UMKM, sementara di sisi lain daya beli masyarakat berpotensi
menurun. Beban biaya produksi mulai dari bahan baku, tenaga kerja, peralatan
hingga operasional tentunya akan mendorong peningkatan beban biaya secara
umum. Hal ini belum lagi mengikutkan penambahan biaya di lini distribusi
akibat kenaikan ongkos transportasi.
Untuk
itu pemerintah perlu menempuh sejumlah kebijakan, khususnya untuk menjaga
kesinambungan usaha sektor UMKM. Pertama, mengalokasikan bantuan modal kerja
bagi sektor UMKM dengan bunga murah (soft
loan) yang disalurkan langsung melalui perbankan. Ini akan membantu UMKM
di tengah kenaikan suku bunga acuan.
Bantuan
modal kerja ini diharapkan dapat memberi bantalan bagi kenaikan beban
produksi akibat kenaikan harga BBM. Kedua, memberikan insentif fiskal seperti
pengurangan pajak bagi sektor UMKM. Pemberian insentif ini tentunya akan
mengurangi struktur biaya produksi pada sektor UMKM.
Ketiga,
melakukan pendampingan dan bantuan teknis khususnya bagi UMKM yang
berorientasi ekspor, memproduksi barang-barang yang bernilai tambah tinggi,
dan yang menyerap tenaga kerja besar. Keempat, memfasilitasi program kemitraan
baik langsung maupun tidak langsung antara pelaku UMKM dan usaha besar dalam
konteks saling menguntungkan dan saling memperkuat.
Terakhir,
yang tak kalah penting, adalah memberi jaminan bagi kesinambungan usaha UMKM
agar dapat mengakses baik sektor keuangan maupun pasar yang lebih besar pada
tataran ASEAN, Asia, dan global.
Dengan sejumlah upaya tersebut, kita berharap sektor UMKM dapat terus
tumbuh sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional di tengah tekanan
inflasi setelah kenaikan harga BBM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar