Tantangan Birokrasi
Pemerintahan Jokowi-JK
Eko Prasojo ; Guru Besar Administrasi Negara FISIP UI; Ketua
Umum IAPA
|
KOMPAS,
25 November 2014
SETELAH
hiruk pemilihan presiden, kabinet pemerintahan baru akhirnya terbentuk.
Disebut Kabinet Kerja, kabinet ini mencerminkan keinginan Presiden Joko
Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla secepat-cepatnya bekerja mengatasi berbagai persoalan pembangunan,
pemerintahan, dan pelayanan kepada publik.
Tulisan
ini tak hendak memberi komentar terhadap menteri yang telah ditunjuk menjadi
nakhoda kementerian, tetapi menyoroti
persoalan dan tantangan utama yang dihadapi kabinet secara keseluruhan
dalam mewujudkan program Nawa Cita.
Sumbatan mesin birokrasi
Sudah
diakui baik di tingkat internasional maupun pemerintah lokal bahwa birokrasi
memainkan peran sangat vital dalam pembangunan. Kemajuan beberapa negara di
Asia--Jepang, Tiongkok, Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan--sangat
ditentukan kemampuannya merombak total kultur dan struktur birokrasi. Harus
dicatat, melakukan perubahan birokrasi bukanlah jalan mudah dan singkat,
malah sering menghadapi masalah keberlanjutan.
Persoalan
birokrasi di Indonesia sangatlah kompleks, terbentang dari masalah mengubah
kultur birokrasi yang tidak berintegritas, tumpang tindih peraturan
perundang-undangan, struktur organisasi yang gemuk dan boros, proses bisnis
pemerintahan yang lamban dan tidak efisien, sumber daya manusia yang tak
kompeten dan tak profesional, penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme, hingga
persoalan pelayanan kepada publik yang tak responsif dan tak akuntabel. Semua
ini dapat dibuktikan melalui beberapa indikator global.
Menurut
survei Political Economic Risk
Consultancy pada 2012, Indeks Efisiensi Pemerintahan di Indonesia adalah
8,37 (dari skor 1 terbaik dan 10 terburuk), Indeks Keefektifan Pemerintahan
di Indonesia pada 2013 menurut Forum Ekonomi Dunia adalah 42 (dari skala 1
terburuk hingga 100 terbaik), Indeks Persepsi Korupsi menurut IT pada 2013
adalah 32 (dari skala 1 terburuk dan hingga 100 terbaik), sementara untuk
kemudahan berbisnis pada 2014 menurut Bank Dunia berada pada peringkat
ke-120.
Masalah
utama implementasi program pembangunan di Indonesia adalah birokrasi yang
tidak memiliki kapabilitas yang meliputi keahlian dan kapasitas, budaya yang
masih tidak berbasis meritokrasi, dan kebijakan publik yang tidak berbasis
pada pengetahuan dan bukti data. Orientasi penganggaran yang saat ini masih
bersifat tahunan telah membelenggu kementerian, lembaga, pemerintah daerah
untuk berpikir jangka panjang.
Kondisi
ini diperparah oleh ketidakmampuan birokrasi merumuskan anggaran berbasis
kinerja. Sebagian besar perencanaan dan anggaran birokrasi masih beorientasi
pada input dan output, bukan pada pencapaian outcome dan impact bagi
masyarakat. Karena itu, peningkatan besarnya APBN/APBD setiap tahun tak
berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat.
Jalan keluarnya: menetapkan Indikator Kinerja Utama untuk setiap
kementerian, lembaga, pemda sesuai dengan visi presiden dan diturunkan di
level unit organisasi hingga ke level individu sebagai basis pengukuran
kinerja dan pemberian kompensasi.
Sumbatan
pembangunan di birokrasi juga terjadi karena buruknya koordinasi dan penjajaran
program dan kegiatan pembangunan antarsektor. Berbagai urusan pemerintahan
sering kali terfragmentasi di beberapa
kementerian dan lembaga, yang satu dengan lainnya tidak memiliki
ketersambungan indikator kinerja dengan sasaran strategis pembangunan yang
akan dicapai. Kesulitan ini terletak pada struktur organisasi kementerian
atau lembaga yang sangat terfragmentasi, tumpang tindih tugas pokok dan
fungsi, buruknya proses bisnis pemerintahan, serta peraturan
perundang-undangan sektoral yang tidak harmonis.
Selain
menyebabkan inefisiensi belanja negara, hal ini juga menyebabkan sulitnya
pencapaian keefektifan pemerintahan. Tantangan utama pemerintah baru adalah
bagaimana mengurangi keperluan koordinasi antarkementerian atau antarlembaga
dengan menata ulang dan, jika perlu, menghapus sejumlah unit organisasi yang
tidak dibutuhkan. Desain struktur organisasi harus diubah dari struktur
terpecah-belah ke struktur terkonsolidasi.
Selain itu, program proyek multisektor harus diperkuat untuk
mengurangi fragmentasi dan ego sektoral.
Persoalan
birokrasi yang perlu dapat perhatian serius dari pemerintah adalah membangun
kepemimpinan perubahan. Komposisi SDM birokrasi saat ini, baik secara budaya,
kualitas, kuantitas, maupun distribusi sangat sulit diharapkan jadi penggerak
perubahan dan pembangunan. Budaya birokrasi di Indonesia secara umum masih
ditandai ketidakmampuan berinovasi dan menerobos, masih berorientasi pada
jabatan struktural--bukan fungsional, lebih mengedepankan aspek peraturan
perundang-undangan, bukan kinerja.
Sebagai
akibatnya, birokrasi Indonesia terkesan sangat lamban dan tak memiliki
sensitivitas terhadap perubahan lingkungan dan tuntutan masyarakat, bahkan
secara umum masih dapat dikatakan doing
business as usual. Birokrasi
Indonesia juga mengalami gejala overstaff dan understaff; jumlah pegawai
sangat banyak, tetapi tak punya keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan.
Meskipun harus juga diakui masih banyak pegawai yang memiliki kompetensi,
jumlahnya tidak signifikan menggerakkan perubahan. Pemerintah baru harus
melanjutkan seleksi dan promosi terbuka pegawai aparatur sipil negara (ASN)
secara benar dan objektif berbasis kompetensi dan integritas.
Fragmentasi pusat-daerah
Tantangan
utama lain Kabinet Kerja adalah fragmentasi pemerintah secara vertikal antara
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Mengelola pemerintahan yang bercorak
desentralistis saat ini tak mudah, apalagi dengan konfigurasi politik di
pemerintahan daerah yang sangat heterogen. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah lima tahun dan Rencana Kerja
Pemerintah tahunan tidaklah berada dalam ruang hampa di kementerian dan
lembaga, tetapi harus tersambung sampai di dinas, badan, kantor di provinsi
dan kabupaten/kota.
Bagaimanapun
baiknya rencana strategis dan program kerja pemerintah pusat di setiap
sektor, hal itu tak mudah dilaksanakan di kabupaten/kota. Otonomi daerah yang
sangat besar telah melahirkan dampak munculnya egoisme daerah dan
independensi pemerintahan yang sangat kuat. Harus diakui saat ini hanya ada
tiga kekuasaan utama pengontrol pusat terhadap daerah: pembagian keuangan
(DAU, DAK, bagi hasil, dan transfer lain), pemberian formasi jabatan pegawai
ASN, wewenang pemerintahan umum (pembatalan perda, pelantikan kepala daerah,
dan lain-lain).
Kesulitan
melakukan koordinasi pemerintahan dan pembangunan antara pusat dan daerah
akan semakin sulit dengan pemerintahan yang terbagi saat ini. Blokade
pemerintahan bukan saja akan terjadi di tingkat pusat antara DPR dan Kabinet
Kerja dalam proses legislasi, persetujuan dan penetapan anggaran, melainkan
juga dalam pengawasan kerja pemerintahan. Blokade pemerintahan juga akan
terjadi di pemerintahan daerah sebagai akibat pemerintahan yang terbagi
setelah Pilpres 2014. Konfigurasi politik yang heterogen antara Koalisi
Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih juga akan mengalir sampai di
pemerintahan daerah.
Pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu I dan II, upaya
penguatan koordinasi pusat daerah dilakukan Presiden SBY dengan membentuk
sistem pemantauan pembangunan yang dikendalikan UKP4. Dengan pengalamannya
sebagai wali kota Solo dan gubernur DKI, Presiden Jokowi tentu paham betul
bagaimana memperkuat koordinasi dan hubungan antara pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus berperan
efektif melakukan fungsi koordinasi, supervisi, pembinaan, dan pengendalian pembangunan
di daerah masing-masing. Program Nawa
Cita akan diwujudkan dengan baik jika presiden berkomitmen mempercepat
reformasi birokrasi serta memperbaiki hubungan antara pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota. Strategi blusukan Kabinet Kerja harus disertai dengan upaya
membangun dan mereformasi sistem birokrasi serta hubungan antara pusat dan
daerah. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar