BBM,
Pangan, dan Urbanisasi
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara; Pendiri dan Direktur Center for
National Food Security Research (Tenfoser)
|
KORAN
SINDO, 26 November 2014
Pemerintahan
Jokowi-JK sudah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan harga BBM
di satu sisi akan mengatrol laju inflasi dan mengancam pemulihan ekonomi
sebab mendorong kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok.
Namun,
di sisi lain ia akan mengurangi beban subsidi pada APBN. Pemerintah memang
menghadapi persoalan dilematis yang sulit dipecahkan. BBM adalah kebutuhan
pokok masyarakat, sama halnya bahan pangan seperti beras, gula, kedelai,
jagung dan daging, serta bahan sembako lainnya. Kebutuhan pokok ini menjadi
komo-ditas politik, sedikit saja terpe-ngaruh stok dan harga bisa menuai pro
dan kontra di tengah warga.
Pembangunan Pertanian
Salah
satu rencana pemerintah terkait pengalihan subsidi BBM adalah perbaikan dan
pembuatan irigasi baru untuk percepatan pembangunan pertanian. Dalam waktu
tiga tahun ke depan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat harus
tercapai seperti janji Jokowi-JK saat kampanye pilpres.
Namun, pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimana upaya pemerintah
mengatasi laju urbanisasi yang jumlahnya setiap tahun terus bertambah. Mereka
petani dan buruh tani dari desa yang mencoba keberuntungan di kota. Fenomena
kian kencangnya arus urbanisasi akhir-akhir ini selain disebabkan masalah
sosial kependudukan yang makin kompleks, juga dipicu persoalan ekonomi. Penduduk desa terdorong pindah ke
kota sebab sektor pertanian sulit diandalkan untuk sandaran hidup. Kota menjanjikan
kehidupan lebih manis dan menggiurkan karena pembangunan yang menumpuk di
sana menjadi magnet kuat menarik kaum urban. Mereka masih beranggapan
sepahit- pahitnya hidup di kota masih lebih manis ketimbang hidup di desa.
Penyelesaian
urbanisasi yang menjadi masalah klasik tahunan untuk kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, dan Medan belum menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya
yakni kemiskinan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan besarnya
kesenjangan tingkat pendapatan antara warga desa dan kota membuat arus
urbanisasi semakin sulit terbendung dan jumlah kaum urban bertambah secara
bermakna setiap tahun.
Jumlah warga
miskin dan berpotensi untuk miskin di Indonesia masih tetap tinggi meski
pemerintah acap menyebut angka kemiskinan menurun setiap tahun. Sekadar
menyebut contoh pada 2012 angka kemiskinan menurun menjadi 11,66% dari 12,36%
pada 2011. Dari segi jumlah, penduduk yang kategori miskin berkurang dari
29,89 juta (2011) menjadi 28,59 juta dengan garis kemiskinan (pengeluaran per
orang per bulan) sebesar Rp259.520 untuk 2012.
Kinerja
pemerintahan sebelumnya dalam memerangi kemiskinan memang tergolong kurang
dahsyat. Mereka belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.
Pada 2004 angka kemiskinan nasional bertengger pada posisi 16,00%. Artinya
dalam waktu sekitar sepuluh tahun pemerintahan SBY, angka kemiskinan hanya
turun 4,34%. Padahal kemampuan anggaran negara sangat jauh lebih besar
dibanding pada masa-masa sebelumnya.
Rapor merah
Pemerintah Indonesia dalam mengurangi jumlah kemiskinan dan mengatrol tingkat
pendapatan masyarakat desa semakin terang benderang jika disandingkan dengan
prestasi negara lain. China sebagai serpihan contoh, pemerintahnya mempunyai
rekam jejak yang baik dalam penurunan angka kemiskinan. Data Bank Dunia
(2005) menunjukkan penduduk China dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari
sebesar 36,3%.
Di Indonesia,
yang memulai pembangunan ekonomi lebih awal, ternyata pada 2009 jumlah
penduduk dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari masih 50,9%. Lantas
pertanyaannya, pelajaran apa yang patut dipetik dari keberhasilan Pemerintah
China mengurangi laju kemiskinan penduduknya? Jurus jitu pemerintah Negeri
Tirai Bambu ini dalam memerangi kemiskinan adalah menggenjot percepatan
pembangunan pertanian pangan yang melibatkan penduduk miskin di perdesaan.
Kembali ke Pertanian
Seiring
kenaikan harga BBM, pemerintahan Jokowi- JK dengan kabinet kerjanya harus
segera melakukan koreksi kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan lewat jurus
baru revolusi mental untuk membangkitkan pertanian pangan yang berpusat di
perdesaan. Dengan dana yang tersedia dari pengalihan subsidi konsumtif ke
sektor produktif, pemerintah bisa melakukan percepatan pembangunan pertanian.
Prasarana
mulai dari transportasi, bibit unggul, pupuk, dan jaminan harga harus segera
ditata kembali guna meningkatkan kesejahteraan petani. Data terkini dari BPS
menyebutkan bahwa kontribusi makanan terhadap garis kemiskinan masih amat
besar. Sekitar tiga perempat pengeluaran orang miskin masih dialokasikan
untuk pembelian makanan.
Implikasinya,
jika masyarakat miskin dan petani bisa memproduksi sendiri kebutuhan pangan
keluarga, sudah pasti mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun,
jika harus membeli, apalagi sumbernya dari impor, mereka akan mengalami
proses pemiskinan yang lebih buruk di tengah inflasi tinggi yang didorong
kian mahalnya harga makanan. Puncak inflasi tahun ini kemungkinan akan
terjadi pada Desember 2014.
Dari data
yang ada, inflasi tertinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi
saat kenaikan harga BBM dan diikuti laju kenaikan harga bahan makanan. Dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir, inflasi bahan makanan relatif sangat
tinggi. Warga miskin, meski hampir 65% tinggal di desa, sebagian besar mereka
adalah buruh tani yang memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan membeli.
Bermukim di
sentra-sentra pertanian, namun untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka harus
mengulurkan uang dari saku alias membeli. Pertanyaannya, mengapa kebijakan
pembangunan pertanian tetap memiskinkan petani?
Meski
pemerintah telah berganti beberapa kali setelah reformasi 1998, masih gagal
menyejahterakan petani. Mereka harus bereksodus ke kota untuk mengais rezeki.
Dalam periode sepuluh tahun belakangan ini, jumlah petani gurem berkurang
sebanyak 4,77 juta rumah tangga (BPS, 2013). Mereka keluar dari sektor pertanian
karena terpaksa mengingat pertanian tak lagi menjanjikan perbaikan
penghidupan. Petani kecil di desa termarginalisasi digilas roda pembangunan
hedonis kapitalistik.
Keterpurukan
ini membawa konsekuensi logis yakni ketahanan pangan yang berdaulat dan
mandiri makin rapuh. Di tengah kian miskinnya petani, Indonesia dibanjiri
pangan impor mulai dari buah, beras, daging, bawang, dan pangan lain. Kita
terjebak dalam ruang dan sistem pangan impor yang amat mahal. Hampir 75% dari
kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor. Devisa negara
terkuras sekitar Rp125 triliun setiap tahun untuk membeli pangan impor.
Suatu jumlah
yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun bendungan dan sarana
irigasi untuk percepatan pembangunan kedaulatan pangan. Karena itu, ”Gerakan
Kembali ke Pertanian ” patut menjadi kampanye nasional untuk lima tahun ke
depan guna mendorong percepatan pembangunan desa berbasis pertanian. Gerakan
ini harus terus disuarakan oleh pemerintah pusat ke seluruh provinsi dan kabu-paten/
kota sebagai model pembangunan berbasis kerakyatan yang dapat mengerem laju
urbanisasi. Untuk berhasil guna, gerakan ini harus diiringi sinergi kebijakan
yang diformat secara komprehensif dan terintegrasi dari semua pemangku
kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar