Baku
Tembak TNI-Polri
Jaleswari Pramodhawardani ; Peneliti Puslit Kemasyarakatan
dan Kebudayaan (PMB) LIPI dan The Indonesian Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 24 November 2014
Profesionalisme
TNI-POLRI digugat. Apa yang terjadi jika baku tembak kedua institusi keamanan
ini kembali membongkar aib serupa di tahun-tahun sebelumnya, dengan disertai
makna membingungkan?
Bahkan
hasil kajian Kontras menunjukkan dalam kurun waktu 2005-2012 telah terjadi 26
kali bentrokan dan enam baku tembak parah yang merenggut jiwa. Banyakpihak
percaya dengan alasan yang sama bahwa kesejahteraan prajurit, pembinaan
personel, jiwa korsa, ataupun faktor kepemimpinan menjadi pemicu bentrok,
tanpa diikuti penjelasan lebih lanjut yang memadai. Bahkan jika kita ingin
memperpanjang daftar itu, perseteruan TNIPolri dimulai dengan perebutan
sumber daya ekonomi, politik, bahkan simbol-simbol kekuasaan.
Selain
persaingan lahan bisnis ilegal para oknum aktor keamanan ini, seragam loreng
yang menjadi simbol militer yang 'direbut' Polri sebagai seragam Brimob
dianggap ikut memicu daftar ketegangan yang sudah lama terjadi di antara
kedua institusi keamanan itu. Kebuntuan komunikasi yang ditandai dengan
alasan klasik perseteruan lama TNIPolri menjadi kendala utama untuk
memunculkan solusi permanen bagi keduanya.
Kalaupun
ada, solusi yang diajukan cenderung reaktif, orientasi jangka pendek dan
parsial sehingga dalam jangka panjang tidak menemukan basis penyelesaiannya.
Tulisan ini mencoba untuk merunut
perseteruan laten kedua institusi tersebut melalui perebutan lahan
ekonomi, yang salah satunya melalui dugaan praktik bisnisnya yang dianggap
menjadi dasar alasan bentrok oknum TNI-Polri sejak lama.
Pertanyaan
yang akan diajukan ialah mengapa bentrokan dan perseteruan mereka ini selalu
berulang kendati beberapa upaya telah dilakukan? Bagaimana perubahan struktur
dan kultur yang telah dilakukan selama ini?
Perubahan struktur minus kultur
Ketika
pemisahan TNI dan Polri dilakukan pada 2000, yang tercantum dalam semangat
saat itu ialah baru pada tahap political intention tetapi belum sampai pada
tahap clarity of political
implementation. Kecuali mengenai regulasi kebijakan, perubahan organisasi,
doktrin, fungsi, dan lain-lain,perubahan itu belum menyentuh perubahan kultur
yang masih harus diperjelas tentang apakah konsekuensi dan implementasinya
bagi kedua institusi keamanan tersebut.
Dan
bagaimana mekanisme perubahan itu diciptakan? Dalam perubahan struktur pun
kendati mengalami perubahan yang pesat masih memerlukan kejelasan juga untuk
berbagai terminologi yang muncul dalam penataan aturan main bagi keduanya.
Sebagai contoh, konsep keamanan nasional yang masih menuai prokontra hingga
hari ini.
Apa yang
dimaksud dengan perubahan kultur? Wacana yang diedarkan selama ini telah
menempatkan kultur militer sebagai salah satu yang dianggap sulit dilakukan
dan diubah ketimbang perubahan struktur. Jika merujuk apa yang dikatakan
James Burk tentang kultur militer, ia menegaskan kepada empat elemen, yaitu
disiplin, etos profesional, tata cara gelar upacara, serta kohesi dan jiwa
korsa. Burk melihat budaya militer yang berkaitan dengan tiga unsur;
disiplin, tata cara gelar upacara serta kohesi dan jiwa korsa di bawah unsur
yang lebih inklusif, yaitu etos profesional dan hubungan antara angkatan
bersenjata dan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan hubungan
sipil-militer.
Menurutnya,
tiga dari empat elemen tersebut ditentukan kekuatan etos militer profesional
dan kekuatan hubungan militer dengan masyarakat sipil. Penjelasan Burk
tersebut bisa memaparkan situasi kita hari ini bahwa tolok ukur perubahan
kultur bisa dilihat dari tingkat profesionalisme TNI (dan juga Polri) dengan
tiga elemen lain yang dimilikinya dalam kaitannya dengan hubungan sipil
militer suatu negara. Artinya, sebagai negara yang baru terbebas dari
otoriterisme, mengeluarkan tentara dan Polri dari ranah politik dan ekonomi
(secara kultural) merupakan dua syarat fundamental bagi kelangsungan hidup
demokrasi.
Upaya-upaya
konkret untuk mengeluarkan tentara dan
polisi dari ranah politik sudah menunjukkan kemajuan yang luar biasa melalui
beberapa regulasi dan penataan kebijakan yang dilakukan. Akan tetapi,
keterlibatan tentara dan polisi dalam bisnis ilegal masih sulit diatasi
kendati upaya ke arah penataan telah ditemukan dalam format yang jelas dalam
pasal 76 UU TNI No. 34/2004. Hal itu menguatkan pendapat bahwa perubahan
struktur tidak lantas mengubah kultur tentara dan polisi dalam ritual
bisnisnya yang berjalan berpuluh tahun.
Kebutuhan
untuk membicarakan penyelesaian di antara kedua institusi itu menjadi sesuatu
yang tidak terelakkan. Sebuah penyelesaian yang tidak sekadar untuk
memadamkan kebakaran saja, tetapi upaya permanen jangka panjang. Hal ini
penting dilakukan mengingat perbedaan kultur antara dunia militer dan dunia
bisnis sedemikian kontrasnya. Militer memiliki kultur hubungan yang dibangun
di atas kesetiaan (pada negara) dan sistem hierarki komando, sedangkan dunia
ekonomi memiliki kultur hubungan yang fungsional-kontraktual. Kedua kultur
hubungan itu tidak bisa diperdamaikan dengan mudahnya.
Karena
itu, intervensi salah satu kultur hubungan ke dalam kultur hubungan lainnya--
militer ke ekonomi atau sebaliknya ekonomi ke dalam militer--akan berakibat
buruk bagi salah satunya. Setidaknya hal tersebut tecermin dari kekerasan
bersenjata ataupun baku tembak yang terjadi antara TNI dan Polri, ataupun
kedua institusi tersebut dengan masyarakat sipil yang selama ini kerap
berkaitan dengan perebutan 'lahan hidup'. Keterlibatan kedua institusi
keamanan itu ke dalam dunia ekonomi bisa dipastikan akan mendistorsi secara
serius bekerjanya mekanisme ekonomi karena inkompatibilitas kultur hubungan
di antara keduanya.
Demi
menyehatkan dan meningkatkan profesionalisme kedua institusi itu, sangat
penting untuk menjauhkan mereka dari kehidupan ekonomi. Demikian pula, kultur
militerpolisi tidak memungkinkannya menjalankan fungsi akumulasi modal dan
menjalankan aktivitas komersial.
Perubahan kultur
Dari
sudut pertimbangan politik dan pemerintahan, perubahan kultur yang memperkuat
TNI-Polri yang profesional merupakan kebutuhan sistem politik demokratis.
Sistem yang bekerja ini mensyaratkan adanya kontrol demokratis sekaligus
pengawasan oleh pemerintahan sipil atas badan yang diberi monopoli untuk
menggunakan kekerasan secara sah, yakni militer dan polisi. Dalam konteks ini
diterima adagium bahwa keseluruhan pembiayaan yang menyangkut kepentingan
tentara (pertahanan) harus dipenuhi sepenuhnya melalui anggaran pendapatan
dan belanja negara yang ditentukan melalui mekanisme perdebatan di parlemen.
Kesejahteraan
prajurit, karenanya, perlu dipenuhi negara seperti yang tercantum dalam Pasal
49 UU TNI No 34/2004. Hal itu dimaksudkan, antara lain, untuk mencegah
terbentuknya otonomi tentara dan polisi sebagai akibat dari adanya otonomi
dalam bidang pembiayaan. Kita sudah terlalu lama mengetahui ranah
keterlibatan militer dan polisi melalui peninggalan rezim masa lalu dalam
aktivitas bisnis sedemikian luasnya, termasuk juga di dalamnya komersialisasi
aset dan komersialisasi jasa pengamanan yang menjadi core business dari tentara
dan polisi.
Dari
sudut fungsi pemerintahan, keamanan merupakan public goods yang menjadi hak
setiap warga masyarakat untuk mendapatkannya, dan sebaliknya, menjadi
kewajiban negara untuk menyediakannya.
Beberapa
hal yang perlu dilakukan ialah; pertama, melalui langkah hukum dengan
menindak secara tegas setiap oknum TNI dan Polri yang melakukan tindakan
indisipliner yang bertentangan dengan peran, fungsi, dan tugas mereka sebagai
penjaga keamanan nasional dan aparat keamanan yang profesional. TNI memiliki
UU No 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer dan perangkat hukum lain untuk
menjadi rujukan TNI dalam pelaksanaan tugas di lapangan, termasuk di dalamnya
Sapta Marga, Sumpah Prajurit, delapan wajib TNI, dan Kode Etik Keprajuritan.
Demikian
pula dengan Polri. Persoalan pembinaan yang menjadi tanggung jawab Panglima
TNI dan Kapolri dan Kepala Staf Angkatan hingga kepemimpinan level paling
bawah menjadi faktor penting untuk menegakkan peraturan ini. Kedua, sebagai
langkah konkret di bidang politik, diperlukan penegasan kembali komitmen
Presiden dan seluruh jajaran kementerian terkait untuk menyelesaikan masalah
perseteruan TNI-Polri yang menjadi indikator tingkat profesionalisme kedua
institusi keamanan itu yang akan berimbas terhadap hubungan mereka dengan
masyarakat sipil dan kehidupan publik yang mereka lindungi.
Ketiga, hal ini perlu diikuti pendelegasian atau otorisasi kewenangan
Presiden kepada menteri terkait untuk mengeksekusi hukum dan peraturan yang
berlaku. Mobilisasi dukungan politik juga diperlukan dari DPR dan masyarakat
sipil. Mekanisme pengawasan berlapis dapat dilakukan internal TNI, eksekutif,
DPR, dan masyarakat sipil.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar