Kamis, 27 November 2014

Baku Tembak TNI-Polri

                                           Baku Tembak TNI-Polri

Jaleswari Pramodhawardani  ;   Peneliti Puslit Kemasyarakatan
dan Kebudayaan (PMB) LIPI dan The Indonesian Institute
MEDIA INDONESIA,  24 November 2014

                                                                                                                       


Profesionalisme TNI-POLRI digugat. Apa yang terjadi jika baku tembak kedua institusi keamanan ini kembali membongkar aib serupa di tahun-tahun sebelumnya, dengan disertai makna membingungkan?

Bahkan hasil kajian Kontras menunjukkan dalam kurun waktu 2005-2012 telah terjadi 26 kali bentrokan dan enam baku tembak parah yang merenggut jiwa. Banyakpihak percaya dengan alasan yang sama bahwa kesejahteraan prajurit, pembinaan personel, jiwa korsa, ataupun faktor kepemimpinan menjadi pemicu bentrok, tanpa diikuti penjelasan lebih lanjut yang memadai. Bahkan jika kita ingin memperpanjang daftar itu, perseteruan TNIPolri dimulai dengan perebutan sumber daya ekonomi, politik, bahkan simbol-simbol kekuasaan.

Selain persaingan lahan bisnis ilegal para oknum aktor keamanan ini, seragam loreng yang menjadi simbol militer yang 'direbut' Polri sebagai seragam Brimob dianggap ikut memicu daftar ketegangan yang sudah lama terjadi di antara kedua institusi keamanan itu. Kebuntuan komunikasi yang ditandai dengan alasan klasik perseteruan lama TNIPolri menjadi kendala utama untuk memunculkan solusi permanen bagi keduanya.

Kalaupun ada, solusi yang diajukan cenderung reaktif, orientasi jangka pendek dan parsial sehingga dalam jangka panjang tidak menemukan basis penyelesaiannya. Tulisan ini mencoba untuk merunut  perseteruan laten kedua institusi tersebut melalui perebutan lahan ekonomi, yang salah satunya melalui dugaan praktik bisnisnya yang dianggap menjadi dasar alasan bentrok oknum TNI-Polri sejak lama.

Pertanyaan yang akan diajukan ialah mengapa bentrokan dan perseteruan mereka ini selalu berulang kendati beberapa upaya telah dilakukan? Bagaimana perubahan struktur dan kultur yang telah dilakukan selama ini?


Perubahan struktur minus kultur

Ketika pemisahan TNI dan Polri dilakukan pada 2000, yang tercantum dalam semangat saat itu ialah baru pada tahap political intention tetapi belum sampai pada tahap clarity of political implementation. Kecuali mengenai regulasi kebijakan, perubahan organisasi, doktrin, fungsi, dan lain-lain,perubahan itu belum menyentuh perubahan kultur yang masih harus diperjelas tentang apakah konsekuensi dan implementasinya bagi kedua institusi keamanan tersebut.

Dan bagaimana mekanisme perubahan itu diciptakan? Dalam perubahan struktur pun kendati mengalami perubahan yang pesat masih memerlukan kejelasan juga untuk berbagai terminologi yang muncul dalam penataan aturan main bagi keduanya. Sebagai contoh, konsep keamanan nasional yang masih menuai prokontra hingga hari ini.

Apa yang dimaksud dengan perubahan kultur? Wacana yang diedarkan selama ini telah menempatkan kultur militer sebagai salah satu yang dianggap sulit dilakukan dan diubah ketimbang perubahan struktur. Jika merujuk apa yang dikatakan James Burk tentang kultur militer, ia menegaskan kepada empat elemen, yaitu disiplin, etos profesional, tata cara gelar upacara, serta kohesi dan jiwa korsa. Burk melihat budaya militer yang berkaitan dengan tiga unsur; disiplin, tata cara gelar upacara serta kohesi dan jiwa korsa di bawah unsur yang lebih inklusif, yaitu etos profesional dan hubungan antara angkatan bersenjata dan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan hubungan sipil-militer.

Menurutnya, tiga dari empat elemen tersebut ditentukan kekuatan etos militer profesional dan kekuatan hubungan militer dengan masyarakat sipil. Penjelasan Burk tersebut bisa memaparkan situasi kita hari ini bahwa tolok ukur perubahan kultur bisa dilihat dari tingkat profesionalisme TNI (dan juga Polri) dengan tiga elemen lain yang dimilikinya dalam kaitannya dengan hubungan sipil militer suatu negara. Artinya, sebagai negara yang baru terbebas dari otoriterisme, mengeluarkan tentara dan Polri dari ranah politik dan ekonomi (secara kultural) merupakan dua syarat fundamental bagi kelangsungan hidup demokrasi.

Upaya-upaya konkret untuk  mengeluarkan tentara dan polisi dari ranah politik sudah menunjukkan kemajuan yang luar biasa melalui beberapa regulasi dan penataan kebijakan yang dilakukan. Akan tetapi, keterlibatan tentara dan polisi dalam bisnis ilegal masih sulit diatasi kendati upaya ke arah penataan telah ditemukan dalam format yang jelas dalam pasal 76 UU TNI No. 34/2004. Hal itu menguatkan pendapat bahwa perubahan struktur tidak lantas mengubah kultur tentara dan polisi dalam ritual bisnisnya yang berjalan berpuluh tahun.

Kebutuhan untuk membicarakan penyelesaian di antara kedua institusi itu menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Sebuah penyelesaian yang tidak sekadar untuk memadamkan kebakaran saja, tetapi upaya permanen jangka panjang. Hal ini penting dilakukan mengingat perbedaan kultur antara dunia militer dan dunia bisnis sedemikian kontrasnya. Militer memiliki kultur hubungan yang dibangun di atas kesetiaan (pada negara) dan sistem hierarki komando, sedangkan dunia ekonomi memiliki kultur hubungan yang fungsional-kontraktual. Kedua kultur hubungan itu tidak bisa diperdamaikan dengan mudahnya.

Karena itu, intervensi salah satu kultur hubungan ke dalam kultur hubungan lainnya-- militer ke ekonomi atau sebaliknya ekonomi ke dalam militer--akan berakibat buruk bagi salah satunya. Setidaknya hal tersebut tecermin dari kekerasan bersenjata ataupun baku tembak yang terjadi antara TNI dan Polri, ataupun kedua institusi tersebut dengan masyarakat sipil yang selama ini kerap berkaitan dengan perebutan 'lahan hidup'. Keterlibatan kedua institusi keamanan itu ke dalam dunia ekonomi bisa dipastikan akan mendistorsi secara serius bekerjanya mekanisme ekonomi karena inkompatibilitas kultur hubungan di antara keduanya.

Demi menyehatkan dan meningkatkan profesionalisme kedua institusi itu, sangat penting untuk menjauhkan mereka dari kehidupan ekonomi. Demikian pula, kultur militerpolisi tidak memungkinkannya menjalankan fungsi akumulasi modal dan menjalankan aktivitas komersial.

Perubahan kultur

Dari sudut pertimbangan politik dan pemerintahan, perubahan kultur yang memperkuat TNI-Polri yang profesional merupakan kebutuhan sistem politik demokratis. Sistem yang bekerja ini mensyaratkan adanya kontrol demokratis sekaligus pengawasan oleh pemerintahan sipil atas badan yang diberi monopoli untuk menggunakan kekerasan secara sah, yakni militer dan polisi. Dalam konteks ini diterima adagium bahwa keseluruhan pembiayaan yang menyangkut kepentingan tentara (pertahanan) harus dipenuhi sepenuhnya melalui anggaran pendapatan dan belanja negara yang ditentukan melalui mekanisme perdebatan di parlemen.

Kesejahteraan prajurit, karenanya, perlu dipenuhi negara seperti yang tercantum dalam Pasal 49 UU TNI No 34/2004. Hal itu dimaksudkan, antara lain, untuk mencegah terbentuknya otonomi tentara dan polisi sebagai akibat dari adanya otonomi dalam bidang pembiayaan. Kita sudah terlalu lama mengetahui ranah keterlibatan militer dan polisi melalui peninggalan rezim masa lalu dalam aktivitas bisnis sedemikian luasnya, termasuk juga di dalamnya komersialisasi aset dan komersialisasi jasa pengamanan yang menjadi core business dari tentara dan polisi.

Dari sudut fungsi pemerintahan, keamanan merupakan public goods yang menjadi hak setiap warga masyarakat untuk mendapatkannya, dan sebaliknya, menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya.

Beberapa hal yang perlu dilakukan ialah; pertama, melalui langkah hukum dengan menindak secara tegas setiap oknum TNI dan Polri yang melakukan tindakan indisipliner yang bertentangan dengan peran, fungsi, dan tugas mereka sebagai penjaga keamanan nasional dan aparat keamanan yang profesional. TNI memiliki UU No 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer dan perangkat hukum lain untuk menjadi rujukan TNI dalam pelaksanaan tugas di lapangan, termasuk di dalamnya Sapta Marga, Sumpah Prajurit, delapan wajib TNI, dan Kode Etik Keprajuritan.

Demikian pula dengan Polri. Persoalan pembinaan yang menjadi tanggung jawab Panglima TNI dan Kapolri dan Kepala Staf Angkatan hingga kepemimpinan level paling bawah menjadi faktor penting untuk menegakkan peraturan ini. Kedua, sebagai langkah konkret di bidang politik, diperlukan penegasan kembali komitmen Presiden dan seluruh jajaran kementerian terkait untuk menyelesaikan masalah perseteruan TNI-Polri yang menjadi indikator tingkat profesionalisme kedua institusi keamanan itu yang akan berimbas terhadap hubungan mereka dengan masyarakat sipil dan kehidupan publik yang mereka lindungi.

Ketiga, hal ini perlu diikuti pendelegasian atau otorisasi kewenangan Presiden kepada menteri terkait untuk mengeksekusi hukum dan peraturan yang berlaku. Mobilisasi dukungan politik juga diperlukan dari DPR dan masyarakat sipil. Mekanisme pengawasan berlapis dapat dilakukan internal TNI, eksekutif, DPR, dan masyarakat sipil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar