Matinya
Rasa Malu
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan
Utara;
Redaktur Majalah Peradian Agama
|
KOMPAS,
25 November 2014
MALU itu bagian dari adab.
Manusia yang punya rasa malu tentu lebih tinggi kualitas adab dan harga
dirinya ketimbang tak punya malu. Begitu pentingnya malu hingga Islam
menyebutnya bagian dari akhlak.
Malu memiliki titik singgung
dengan dimensi kejiwaan manusia. Struktur mentalitas manusia secara naluriah
merasa malu dan bersalah jika melanggar norma kepantasan, abai terhadap peran
dan tanggung jawab, dan memakan hak orang lain.
Pada skala lebih luas, rasa malu
bisa jadi tipologi kebudayaan masyarakat. Kajian antropologi Ruth Benedict
(1989) menyebutkan, komunitas yang menjunjung tinggi moralitas sebagai inti
dari kebudayaan cenderung lebih kental adab rasa malunya. Maka, ketika
terjadi pelanggaran sosial yang menyimpangi kepantasan umum, rasa malu jadi
sanksi menjerakan. Bagaimana dengan kita?
Defisit rasa malu
Bangsa kita tampaknya mulai
meninggalkan budaya malu. Pelanggaran norma kepantasan berlangsung dalam
keseharian. Perbuatan amoral, seperti pemerkosaan, pembunuhan, kekerasan
terhadap anak, dan aksi anarkistis ormas tertentu, menjadi corak kebudayaan
mutakhir.
Celakanya, defisit rasa malu
juga menyergap kelompok elite. Di panggung kehormatan, di hadapan rakyat,
dagelan politik dipertontonkan.
Demi menyalurkan syahwat kuasa,
terjadi drama gontok-gontokan. Ironisnya, narasi politik pembagian kue
kekuasaan di parlemen sangat kental sehingga mendelegitimasi daulat rakyat.
Benar almarhum Nurcholish Madjid, bahwa rakyat yang penyabar selalu dibuai
janji-janji palsu belaka.
Tak hanya di pusat kekuasaan,
resonansi hilangnya rasa malu juga merambat ke daerah. Belum lekang dari
ingatan soal anggota Dewan ramai-ramai gadaikan SK, fenomena makan gaji buta
juga merebak.
Di beberapa daerah, banyak
anggota DPRD seusai dilantik belum bekerja sudah terima gaji. Alasannya,
belum ada tata tertib sebagai pedoman penyusunan alat-alat kelengkapan DPRD.
Miliaran rupiah uang negara terkuras untuk membayar upah ”kerja tanpa
keringat” itu.
Padahal, di negara-negara
seperti Australia, budaya malu terus dijunjung tinggi. Seorang anggota Dewan
di Australia, misalnya, pernah mengembalikan seluruh uang yang digunakan
mengunjungi konstituen karena di sela-sela kunjungan ia juga menjenguk
orangtuanya yang sedang sakit. Media menyorotnya karena dianggap menggunakan
fasilitas negara untuk keperluan pribadi.
Belum lagi bicara soal
kapabilitas dalam menjalankan fungsi legislasi.
Sepanjang tahun politik 2014,
anggota Dewan yang mencalonkan kembali lebih banyak menghabiskan waktu untuk
membangun massa pemilih ketimbang membahas RUU sebagai program legislasi
nasional.
Jikapun menghasilkan aturan,
produknya melenceng sehingga harus diuji ke Mahkamah Konstitusi. Perlu
penataan struktur kelembagaan dan mekanisme kerja DPR agar produktivitas
legislasi meningkat.
Kita perlu belajar kepada Jepang
soal tanggung jawab, yang lebih mengutamakan peran dan tanggung jawab
ketimbang status. Seseorang boleh tinggi status dan jabatannya, tapi jika
tidak mampu menjalankan tugas dengan baik, ia akan malu dan memilih mundur
sebagai jalan terhormat.
Korupsi
Praktik korupsi juga menjadi
faktor penegas matinya rasa malu. Para penjahat berdasi yang mendapat amanat
justru menjarah uang rakyat. Tak tersirat wajah penyesalan meski tertangkap
tangan dan yang lainnya juga tidak jera.
Padahal, data yang dihimpun
Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Yogyakarta menunjukkan, selama semester
pertama 2014 tercatat 86 pelaku korupsi dan 27 orang di antaranya pegawai
daerah. ICW mengalkulasi kerugian negara selama semester pertama mencapai Rp
3,7 triliun.
Maka, negara harus segera
memperbaiki sistem dan pola perekrutan pejabat agar koruptor tidak mengambil
peran dalam pemerintahan. Sepak terjang, integritas, dan kapabilitas adalah
syarat utama.
Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam penelusurannya menyebutkan bahwa dari
560 anggota DPR terdapat 242 anggota Dewan dengan rekam jejak buruk. Di
antaranya pernah berurusan dengan penegak hukum dalam kasus korupsi (Kompas, 15/10). Karena itu, langkah
pemerintah tidak melantik 48 anggota legislatif terpilih periode 2014-2019
karena tersangkut korupsi sungguh tepat.
Koruptor di Indonesia memang
banyak akalnya, jadi jangan pernah kalah akal. Jika kaum elite sudah
kehilangan malu, rakyat harus kompak membuatnya malu. Pejabat korupsi harus
diberikan stimulus kejiwaan melalui kerja sosial, misalnya.
Baru-baru ini, mantan Ketua DPR
Australia (House of Representatives)
Peter Slipper, yang terbukti menyelewengkan tunjangan taksi bagi anggota
parlemen untuk mengunjungi perkebunan anggur di luar Canberra, harus
menjalani hukuman kerja sosial selama 300 jam dan denda 954 dollar Australia
(Rp 9,5 juta). Hukuman semacam ini perlu juga dipertimbangkan di Indonesia.
Revitalisasi keluarga
Budaya malu bisa ditanamkan
sejak dini. Eric Ericson dalam penelitiannya menyebutkan bahwa psikososial
individu berkembang secara gradual dan 50 persen tahap perkembangannya
terjadi pada usia 2-3 tahun. Pada masa itu budaya malu yang berkelindan
dengan harkat, nama baik, dan reputasi bisa ditanamkan dalam keluarga.
Entitas
keluarga penting direvitalisasi karena menjadi hulu diajarkannya perilaku
baik. Ajaran rasa malu yang ditanamkan dalam keluarga nantinya akan
menumbuhkan karakter individu yang berkomitmen pada tanggungjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar