Malpraktik
Pendidikan Tinggi
Saifur Rohman ; Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan
di Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS,
26 November 2014
SEBUAH perguruan tinggi negeri
di Bandung menyatakan tetap menggunakan otoritasnya dalam menentukan
mekanisme pelaksanaan pendidikan tinggi (18/9/14). Kendati Permendikbud No
49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi telah diteken sejak Juni
lalu, para pengelola memilih berpegang pada best practice yang telah diterapkan.
Sikap tersebut menunjukkan
rendahnya relevansi penerbitan Permendikbud tentang Standar Nasional
Pendidikan tinggi. Setelah tahun lalu pemerintah merombak mekanisme
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah melalui Kurikulum 2013,
berhasilkah rencana pembenahan pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia?
Bagaimana relevansinya dalam pengembangan ilmu dan masyarakat ilmuwan?
Permendikbud No 49/2014 tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi bisa dikatakan sebagai lanjutan dari
program pemerintah mewujudkan standardisasi pelaksanaan pendidikan di
Indonesia.
Hal itu dimulai sejak tahun 2012
ketika pemerintah mendesain kualifikasi keahlian sebagaimana terbaca dalam
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI). Desain itu kemudian diwujudkan dalam penyusunan Kurikulum
2013 untuk pendidikan dasar dan menengah dilanjutkan dengan desain standar
pendidikan tinggi.
Pembakuan pendidikan
Kerangka pikir dalam standar
nasional pendidikan tinggi tidak jauh berbeda dengan standar nasional
pendidikan dasar dan menengah. Permendikbud No 49/2014 Pasal 4 menyebutkan
ada delapan standar, yakni standar kompetensi lulusan, isi pembelajaran,
proses pembelajaran, penilaian, dosen dan tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Pengaturan standar nasional
pendidikan tinggi memiliki semangat memperbaiki kinerja ilmuwan di Indonesia.
Setidaknya hal itu dapat dilihat
sebagai upaya mewujudkan cita-cita membangun ”manusia paripurna” sebagaimana
ditulis dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kendati
demikian, pengembangan itu kurang tecermin dalam Permendikbud. Ada empat
alasan paling mendasar.
Pertama, Pasal 17 (Ayat 3) itu
memuat durasi masa studi pendidikan tinggi yang tidak proporsional. Masa
studi diploma satu adalah satu sampai dua tahun, diploma dua dari dua sampai
tiga tahun, diploma tiga dari tiga sampai empat tahun, diploma empat dan
sarjana dari empat sampai lima tahun.
Masa studi satu sampai dua tahun
untuk program profesi, satu setengah hingga empat tahun untuk program
spesialis atau program magister. Untuk program doktor, spesialis dua, dan
doktor terapan tidak memiliki batas waktu maksimal. Program doktor hanya punya
batas waktu minimal tiga tahun.
Capaian studi pada tingkat
sarjana hingga doktor mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Mereka dituntut mampu mempraktikkan ilmu pengetahuan yang diperoleh,
memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah ilmiah dan sosial, hingga
menghasilkan inovasi bagi kemanusiaan.
Persoalannya, masa studi tingkat
sarjana dibatasi empat hingga lima tahun, tetapi masa studi tingkat doktor
tidak ada batasan maksimal.
Ketiga, kontradiksi logis dalam
perancangan peraturan. Peraturan ini memiliki kemajuan dengan mencantumkan
batasan minimal kuliah doktor, yakni tiga tahun. Peraturan ini tidak berlaku
surut sehingga sejumlah tokoh masyarakat dan pejabat tetap bisa menyandang
gelar doktor kendati diperoleh dalam waktu satu hingga dua tahun. Namun,
kekurangannya terletak pada ketiadaan batasan masa studi untuk kuliah doktor
sehingga bisa berlangsung hingga akhir hayat. Hal itu tidak masuk akal
mengingat program pendidikan memiliki rancangan yang rasional dan terukur.
Keempat, pemerintah tidak
menempatkan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang diberi
wewenang untuk mengembangkan diri secara otonom. Delapan standar yang
dicantumkan dalam peraturan akan jatuh pada formalitas administratif
sebagaimana terjadi dalam program akreditasi perguruan tinggi yang telah
berlaku selama ini.
Iklim keilmuan
Berdasarkan kenyataan tersebut,
pemerintah semestinya membangun iklim pendidikan tinggi yang berbasis pada
pengembangan ilmu secara esensial. Selama ini, penyelenggaraan pendidikan
tinggi dibelenggu oleh daftar isian dalam formulir akreditasi perguruan
tinggi. Pengelola sibuk dengan kinerja administratif.
Ironisnya, program penghargaan
terhadap ilmuwan, misalnya, justru diberikan oleh lembaga-lembaga swasta yang
memiliki kepedulian terhadap ilmu. Contoh, lepas dari penolakan sejumlah
ilmuwan, Bakrie Awards adalah lembaga yang memberikan penghargaan terhadap
ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Ary Suta Awards juga setiap tahun
memberikan penghargaan terhadap ilmuwan yang memiliki dedikasi terhadap
bidang ilmu yang ditekuni selama ini. Bahkan, Ary Suta menerbitkan jurnal
ilmiah secara periodik dan menyelenggarakan penghargaan penulisan paper bagi
ilmuwan dari 2008 hingga sekarang.
Sejumlah lembaga swasta lain
juga bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan tanpa bantuan pemerintah.
Tindakan masyarakat itu menunjukkan betapa pemerintah tidak peka dan tidak
memiliki visi jelas dalam pengembangan pendidikan tinggi.
Idealnya, pendidikan tinggi
berfungsi sebagai sebuah agen pemikiran-pemikiran reflektif yang memberikan
arah bagi kemanusiaan. Perguruan tinggi adalah sumber cara baru memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Pemerintah memberikan kewenangan yang
memadai untuk menghasilkan inovasi dan masyarakat akan menggunakan.
Faktanya,
pengembangan yang dilakukan pemerintah cukup dilakukan melalui standar baku
dan visi hanya dilihat dalam formalitas akreditasi. Jadilah pengembangan ilmu
berada di bawah ancaman pemerintah untuk menjadi baku, padahal kata pembakuan
sangat dekat dengan pembekuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar