Hegemoni
Satu Jalan Satu Sabuk
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
30 November 2014
Diam-diam
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menandatangani Memorandum of Understanding on Establishing the Asian Infrastructure
Investment Bank Among Prospective Founding Members, Selasa (25/11), di
Jakarta, dan disaksikan Dubes Tiongkok untuk Indonesia Xie Feng. Tidak ada
media massa lokal memberitakan ini, hanya media massa Tiongkok, termasuk
Renmin Ribao (harian Rakyat), yang memberitakannya pada Rabu (26/11) dengan
judul ”Yinni Qianshu Choujian Ya Touxing Beiwanglu” (Indonesia Menandatangani
Nota Kesepahaman Membangun Bank Investasi Asia).
Ada yang
janggal dalam keputusan pemerintahan Presiden Joko Widodo menandatangani MOU
pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Bahkan, Kementerian
Luar Negeri tidak dilibatkan dalam penandatanganan MOU AIIB ini yang
dilanjutkan dengan pertemuan negosiasi pertama AIIB di Kunming, Provinsi
Yunnan, Jumat (28/11).
Pemerintahan
Indonesia terkesan menghindari publikasi penandatanganan MOU AIIB yang
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pendiri di antara 22 negara
Asia lainnya. Ada dua perspektif muncul dari upaya diam-diam Pemerintah RI.
Pertama, menghindari pertanyaan DPR yang berada dalam kemelut politik antara
partai-partai pro dan anti pemerintah.
Kedua,
Indonesia seperti tak mau ketinggalan kereta dalam upaya Tiongkok membangun
strategi infrastruktur Asia baru yang disebutnya yi lu yi dai (satu jalan satu sabuk) yang mengacu pada
pembangunan infrastuktur di jalur yang disebut sebagai Sabuk Ekonomi Jalan
Sutra dan Jalan Sutra Maritim, dan terkesan sangat mengandalkan dana keuangan
Tiongkok untuk membangun visi poros maritim Presiden Jokowi.
Transformasi kawasan
Awalnya,
kita melihat upaya Tiongkok membentuk AIIB sebagai bagian dari strategi jalur
sutra daratan dan lautan sebagai kesempatan bagi Indonesia menghadirkan
kebijakan luar negeri Indonesia mentransformasikan kondisi kondusif bagi
pembangunan dan pertumbuhan kawasan Asia Tenggara.
Itu
sebabnya ketika bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing,
Jokowi mengajukan usul, kalau keterlibatan Indonesia dalam AIIB dengan
kondisi lokasi AIIB berada di Jakarta dan Tiongkok perlu mempercepat
realisasi perundingan tata berperilaku (code
of conduct) di laut Asia Tenggara yang berlangsung terlalu lambat
mengelola klaim tumpang tindih kedaulatan di kawasan laut ini.
Kita
memahami itikad Tiongkok dalam strategi jalur sutra daratan dan lautan
melalui pembentukan AIIB dari sisi pengejawantahan lingkup pengaruh soft power (kekuatan lunak) Tiongkok
di kawasan, tetapi sekaligus juga memberikan indikasi keinginan
mentransformasikan kawasan konflik Laut Asia Tenggara menjadi kawasan damai
dan stabil bagi pembangunan kesejahteraan bersama.
Namun,
ketika membaca MOU AIIB secara saksama, pentingnya upaya kerja sama regional
bagi pertumbuhan berkelanjutan, memiliki tujuan yang lebih banyak
menguntungkan RRT seperti menentukan hak suara berdasarkan saham yang
dimiliki. Tiongkok sudah menyatakan, setengah dari dana yang dibutuhkan AIIB
sebesar 100 miliar dollar AS disediakan Tiongkok karena kapasitas keuangannya
yang memang masif.
Dalam
MOU ini juga disebutkan, jika Tiongkok akan mengendalikan apa yang disebut
sebagai Sekretariat Interim Multilateral yang akan menghasilkan rancangan
pembentukan Articles of Agreement
(AOA) tentang tata cara bank ini beroperasi. Keseluruhan isi MOU AIIB ini
memang memiliki semangat kebersamaan yang kuat, termasuk penekanan perlunya
ketahanan regional menghadapi krisis keuangan dan gangguan dalam konteks
globalisasi.
Menghadapi
strategi baru Tiongkok menjadi negara adidaya setara AS, ada dua kondisi yang
harus dipahami tentang keberhasilan model investasi infrastruktur yang
dijalankan Tiongkok selama ini. Pertama, RRT memiliki aset sangat besar,
khususnya lahan tanah, sehingga investasi infrastruktur ini menghadirkan
sebagian besar pendapatan pemerintah melalui transformasi sosial. Kedua,
Pemerintah RRT memiliki manajemen yang efektif, walaupun ada kebocoran
seperti korupsi, sehingga manfaat sosial utama bagi pemerintah bisa tercapai.
Keikutsertaan
Indonesia dalam AIIB harus menyadari kondisi ini. Transformasi regional dalam
mekanisme kerja sama ini harus dipastikan jika kemauan politik dalam rangka
luas kerja sama investasi keuangan harus didukung seluruh komponen dalam
negeri.
Kita tidak ingin satu dekade ke depan berhadapan di mana strategi ”satu
jalan satu sabuk” menjadi platform hegemoni Tiongkok dan investasi
infrastruktur harus tetap kembali ke RRT karena keseluruhan strategi Jalur
Sutra Tiongkok ini bisa mencapai 21 triliun dollar AS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar