Kontroversi Subsidi
BBM dan Energi Terbarukan
Ivan A Hadar ; Pengamat Masalah Ekonomi Politik,
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
|
KORAN
SINDO, 29 November 2014
Selasa
(18/11), pemerintahan Jokowi-JK menaikkan harga BBM. Hal ini menyebabkan
pro-kontra dalam masyarakat. Di ujung kekuasaannya Presiden SBY mencantumkan
subsidi BBM di RAPBN 2015 sebesar Rp363,5 triliun.
Angka
inilah yang dilansir membahayakan APBN, bahkan bisa menyandera pemerintahan
Jokowi-JK. Namun, ketika Jokowi menyatakan siap menaikkan harga BBM, sejumlah
politikus PDIP sebagai partai pendukung pemerintah malah meminta Jokowi tidak
memaksakan rencana tersebut.
Mereka
mengingatkan Jokowi agar kembali ke “Buku Putih PDIP” bahwa masalah BBM
adalah masalah wong cilik. Sebagai partai yang mengklaim diri sebagai partai
wong cilik, PDIP yang selama 10 tahun menjadi oposisi memilih sikap kenaikan
harga BBM hanya akan semakin menyengsarakan wong cilik. Betapa tidak? Ongkos
produksi dan biaya transportasi, misalnya, dipastikan meningkat.
Begitu
pula harga-harga bahan pokok, sementara penghasilan rakyat tidak ikut
meningkat. Pihak yang menentang, termasuk beberapa pentolan PDIP, mensinyalir
para penganut mazhab ekonomi (neo) liberal telah menggiring opini yang tidak
tepat, bahwa subsidi BBM hanya dinikmati oleh orang kaya.
Jokowi-terutama
Wapres Jusuf Kalla yang dianggap sangat “bernafsu” menaikkan harga BBM-jangan
tergesa-gesa mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi, karena masih
banyak cara yang patut dicoba untuk menghindari pengurangan subsidi yang akan
menyebabkan harga BBM naik.
Misalnya
melakukan subsidi silang, menaikkan cukai rokok, minuman bersoda dan
beralkohol, sambil menekan perjalanan dinas di semua kementerian dan lembaga,
atau bahkan menjual pesawat kepresidenan. (Ivan Hadar, Prisma, 9/10/2014)
Rizal Ramli, Menteri Perekonomian era Gus Dur, menyampaikan “selamat” kepada
Presiden Jokowi atas keputusannya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)
justru ketika harga minyak mentah dunia cenderung turun.
Harga minyak mentah dunia, dalam beberapa bulan terakhir terus turun. Di
bursa New York Marcantile Exchange (NYMEX), harga minyak hari ini (17/11)
diperdagangkan pada kisaran US$74,98/barel. Menurut Rizal, dalam soal BBM
pemerintah kita, dari rezim ke rezim, selalu saja sibuk dengan urusan hilir,
yaitu harga. Begitu ada tekanan terhadap APBN, langkah yang diambil selalu
menaikkan harga BBM.
Ini langkah pemerintah yang malas dan tidak kreatif. Akibatnya rakyat
yang selalu menjadi korban. Survei terakhir dari Lingkar Survei Indonesia
(LSI) juga mengindikasikan mayoritas (73%) rakyat tidak setuju kenaikan harga
BBM. Suara-suara yang terdengar kencang mendukung rencana kenaikan BBM
berasal dari kalangan pengusaha.
Meski demikian, kecenderungan prioritas menyangkut alokasi pengalihan
subsidi sangat berbeda. Bagi Jokowi, subsidi BBM terutama untuk mewujudkan
berbagai program pengamanan sosial seperti program kartu sehat, pintar, dan
kartu sejahtera. Sedangkan pengusaha berharap subsidi BBM ditujukan untuk
infrastruktur yang saat ini masih buruk.
Alasan para pengusaha terkesan cukup logis, infrastruktur yang baik
tentu bisa mendorong kelancaran perekonomian dan meningkatkan efisiensi. Di
sisi lain, buruknya infrastruktur juga tidak terlepas dari sumber kebocoran
anggaran akibat kolusi para pengusaha dengan para pejabat, terutama di
daerah. Angka kebocoran setidaknya 35%, telah menjadi rahasia umum.
Wajar jika kemudian ada kecurigaan, dorongan para pengusaha untuk
menaikkan harga BBM hanya untuk mengejar rente dari semakin besarnya anggaran
infrastruktur. Namun, semua perdebatan yang bersifat jangka pendek ini
diharapkan tidak menyampingkan hal yang selama ini terlupakan, yaitu
memanfaatkan potensi alam Indonesia terkait energi terbarukan, hal yang
sebenarnya mendesak setelah terjadi perubahan status kita sebagai salah satu
pengekspor minyak terbesar menjadi negara pengimpor.
Energi
Terbarukan
Kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor
5/2006 menempatkan penggunaan energi baru dan energi terbarukan pada
prioritas keempat setelah batu bara, gas, dan BBM. Energi baru yang dimaksud
adalah energi yang dihasilkan teknologi baru, termasuk nuklir.
Adapun energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan sumber
daya energi yang secara alamiah tidak akan habis seperti aliran sungai di
Desa Batang Uru, Mamasa, panas bumi, biofuel, panas surya, angin, biomassa,
biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut. Saat ini energi sinar matahari
yang dipancarkan ke planet bumi, misalnya, 15.000 kali lebih besar
dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu
bara, gas, dan minyak bumi.
Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10 hingga 20%
pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara teoretis, untuk
mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya
memerlukan kurang dari 1% permukaan bumi. Sebuah besaran yang jauh lebih
kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik.
Sayangnya,
meski Indonesia memiliki energi matahari berlimpah ruah berikut seabrek
kelebihannya, toh pemanfaatannya saat ini masih sangat minim. Ironisnya,
negara-negara di belahan utara yang relatif miskin matahari lebih banyak
memanfaatkan sumber energi terbarui, ramah lingkungan, dan aman ini,
dibandingkan kita di kawasan tropis.
Kelebihan
energi matahari yang sering diungkapkan adalah pembakarannya tidak
menghasilkan CO2, SO2 dan gas racun lainnya. Dua pembangkit energi dari sinar
matahari, yaitu solar thermal dan photogalvanic, tidak membutuhkan areal yang
luas bagi peralatannya. Prinsipnya pun sederhana.
Sinar
matahari diperkuat oleh cermin yang mengalihkannya ke alat penyerap berisi
cairan. Cairan ini memanas dan menghasilkan uap yang membangkitkan generator
turbo pembangkit tenaga listrik. Di California, AS, alat ini telah mampu
menghasilkan 354 Megawatt listrik. Dengan memproduksinya secara massal, harga
satuan energi matahari ini di AS sekitar Rp100 per kwh, lebih murah
dibandingkan energi nuklir dan sama dengan energi dari tenaga pembangkit
dengan bahan baku energi fosil.
Sementara
itu, pengembangan pembangkit listrik photogalvanic berkembang cepat sejak dua
dasawarsa terakhir. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan
teknologi, padahal kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali
tidak mendukung. Subsidi besar-besaran hanyalah untuk pembangkit tenaga
listrik dengan sumber energi fosil dan nuklir.
Energi photo
electric pertama kali diungkapkan Edmond Bacquerel pada 1839. Penggunaannya
yang terbaru menggunakan sel-sel photogalvanic. Akibat sengatan sinar
matahari, sel-sel tersebut melepaskan elektron yang dipaksa berputar dengan
dampak terjadinya aliran listrik. Sel-sel tersebut dikemas dan dijual dalam
bentuk modul yang dapat digunakan pada teknologi tegangan tinggi.
Awal70-an,
hargapermodul masih sangat mahal, yaitu USD300.000. Kini, harganya sekitar
USD5.000. Masih relatif mahal memang, tapi melihat pesatnya perkembangan
pasar, harganya akan terus menukik turun. Salah satu pasar potensial adalah
mobil bertenaga listrik yang diramal bakal menjadi mobil massal di abad
mendatang.
Kemauan Politik
Menilik
berbagai kelebihan energi terbarui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah
cara menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga
sinkron dengan kebijakan energi nasional. Pertama, harus ada diversifikasi
penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini,
sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut.
Di
negara-negara industri, hanya sekitar 5% dana penelitian yang diperuntukkan
bagi sektor energi. Darinya, sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut lebih
memprihatinkan. Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi
energi terbarukan ini bisa bersaing dengan harga energi fosil.
Namun, tentu
saja, untuk memproduksi energi matahari dengan “solar thermal technic“ dan
“PV Technic“ dalam kategori massal, diperlukan kemauan politik. Ketika
Indonesia masih menjadi produsen dan eksportir minyak dan di dalam negeri
harga jualnya masih sepenuhnya disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis
untuk mendudukkan energi terbarui pada posisi penting. Kini keadaan sudah
sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak mengantisipasinya. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar