Minggu, 30 November 2014

Kontroversi Subsidi BBM dan Energi Terbarukan

     Kontroversi Subsidi BBM dan Energi Terbarukan

Ivan A Hadar  ;   Pengamat Masalah Ekonomi Politik,
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
KORAN SINDO,  29 November 2014

                                                                                                                       


Selasa (18/11), pemerintahan Jokowi-JK menaikkan harga BBM. Hal ini menyebabkan pro-kontra dalam masyarakat. Di ujung kekuasaannya Presiden SBY mencantumkan subsidi BBM di RAPBN 2015 sebesar Rp363,5 triliun.

Angka inilah yang dilansir membahayakan APBN, bahkan bisa menyandera pemerintahan Jokowi-JK. Namun, ketika Jokowi menyatakan siap menaikkan harga BBM, sejumlah politikus PDIP sebagai partai pendukung pemerintah malah meminta Jokowi tidak memaksakan rencana tersebut.

Mereka mengingatkan Jokowi agar kembali ke “Buku Putih PDIP” bahwa masalah BBM adalah masalah wong cilik. Sebagai partai yang mengklaim diri sebagai partai wong cilik, PDIP yang selama 10 tahun menjadi oposisi memilih sikap kenaikan harga BBM hanya akan semakin menyengsarakan wong cilik. Betapa tidak? Ongkos produksi dan biaya transportasi, misalnya, dipastikan meningkat.

Begitu pula harga-harga bahan pokok, sementara penghasilan rakyat tidak ikut meningkat. Pihak yang menentang, termasuk beberapa pentolan PDIP, mensinyalir para penganut mazhab ekonomi (neo) liberal telah menggiring opini yang tidak tepat, bahwa subsidi BBM hanya dinikmati oleh orang kaya.

Jokowi-terutama Wapres Jusuf Kalla yang dianggap sangat “bernafsu” menaikkan harga BBM-jangan tergesa-gesa mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi, karena masih banyak cara yang patut dicoba untuk menghindari pengurangan subsidi yang akan menyebabkan harga BBM naik.

Misalnya melakukan subsidi silang, menaikkan cukai rokok, minuman bersoda dan beralkohol, sambil menekan perjalanan dinas di semua kementerian dan lembaga, atau bahkan menjual pesawat kepresidenan. (Ivan Hadar, Prisma, 9/10/2014) Rizal Ramli, Menteri Perekonomian era Gus Dur, menyampaikan “selamat” kepada Presiden Jokowi atas keputusannya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) justru ketika harga minyak mentah dunia cenderung turun.

Harga minyak mentah dunia, dalam beberapa bulan terakhir terus turun. Di bursa New York Marcantile Exchange (NYMEX), harga minyak hari ini (17/11) diperdagangkan pada kisaran US$74,98/barel. Menurut Rizal, dalam soal BBM pemerintah kita, dari rezim ke rezim, selalu saja sibuk dengan urusan hilir, yaitu harga. Begitu ada tekanan terhadap APBN, langkah yang diambil selalu menaikkan harga BBM.

Ini langkah pemerintah yang malas dan tidak kreatif. Akibatnya rakyat yang selalu menjadi korban. Survei terakhir dari Lingkar Survei Indonesia (LSI) juga mengindikasikan mayoritas (73%) rakyat tidak setuju kenaikan harga BBM. Suara-suara yang terdengar kencang mendukung rencana kenaikan BBM berasal dari kalangan pengusaha.

Meski demikian, kecenderungan prioritas menyangkut alokasi pengalihan subsidi sangat berbeda. Bagi Jokowi, subsidi BBM terutama untuk mewujudkan berbagai program pengamanan sosial seperti program kartu sehat, pintar, dan kartu sejahtera. Sedangkan pengusaha berharap subsidi BBM ditujukan untuk infrastruktur yang saat ini masih buruk.

Alasan para pengusaha terkesan cukup logis, infrastruktur yang baik tentu bisa mendorong kelancaran perekonomian dan meningkatkan efisiensi. Di sisi lain, buruknya infrastruktur juga tidak terlepas dari sumber kebocoran anggaran akibat kolusi para pengusaha dengan para pejabat, terutama di daerah. Angka kebocoran setidaknya 35%, telah menjadi rahasia umum.

Wajar jika kemudian ada kecurigaan, dorongan para pengusaha untuk menaikkan harga BBM hanya untuk mengejar rente dari semakin besarnya anggaran infrastruktur. Namun, semua perdebatan yang bersifat jangka pendek ini diharapkan tidak menyampingkan hal yang selama ini terlupakan, yaitu memanfaatkan potensi alam Indonesia terkait energi terbarukan, hal yang sebenarnya mendesak setelah terjadi perubahan status kita sebagai salah satu pengekspor minyak terbesar menjadi negara pengimpor.

Energi Terbarukan

Kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5/2006 menempatkan penggunaan energi baru dan energi terbarukan pada prioritas keempat setelah batu bara, gas, dan BBM. Energi baru yang dimaksud adalah energi yang dihasilkan teknologi baru, termasuk nuklir.

Adapun energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis seperti aliran sungai di Desa Batang Uru, Mamasa, panas bumi, biofuel, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut. Saat ini energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet bumi, misalnya, 15.000 kali lebih besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu bara, gas, dan minyak bumi.

Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10 hingga 20% pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara teoretis, untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya memerlukan kurang dari 1% permukaan bumi. Sebuah besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik.  

Sayangnya, meski Indonesia memiliki energi matahari berlimpah ruah berikut seabrek kelebihannya, toh pemanfaatannya saat ini masih sangat minim. Ironisnya, negara-negara di belahan utara yang relatif miskin matahari lebih banyak memanfaatkan sumber energi terbarui, ramah lingkungan, dan aman ini, dibandingkan kita di kawasan tropis.

Kelebihan energi matahari yang sering diungkapkan adalah pembakarannya tidak menghasilkan CO2, SO2 dan gas racun lainnya. Dua pembangkit energi dari sinar matahari, yaitu solar thermal dan photogalvanic, tidak membutuhkan areal yang luas bagi peralatannya. Prinsipnya pun sederhana.

Sinar matahari diperkuat oleh cermin yang mengalihkannya ke alat penyerap berisi cairan. Cairan ini memanas dan menghasilkan uap yang membangkitkan generator turbo pembangkit tenaga listrik. Di California, AS, alat ini telah mampu menghasilkan 354 Megawatt listrik. Dengan memproduksinya secara massal, harga satuan energi matahari ini di AS sekitar Rp100 per kwh, lebih murah dibandingkan energi nuklir dan sama dengan energi dari tenaga pembangkit dengan bahan baku energi fosil.

Sementara itu, pengembangan pembangkit listrik photogalvanic berkembang cepat sejak dua dasawarsa terakhir. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Subsidi besar-besaran hanyalah untuk pembangkit tenaga listrik dengan sumber energi fosil dan nuklir.

Energi photo electric pertama kali diungkapkan Edmond Bacquerel pada 1839. Penggunaannya yang terbaru menggunakan sel-sel photogalvanic. Akibat sengatan sinar matahari, sel-sel tersebut melepaskan elektron yang dipaksa berputar dengan dampak terjadinya aliran listrik. Sel-sel tersebut dikemas dan dijual dalam bentuk modul yang dapat digunakan pada teknologi tegangan tinggi.

Awal70-an, hargapermodul masih sangat mahal, yaitu USD300.000. Kini, harganya sekitar USD5.000. Masih relatif mahal memang, tapi melihat pesatnya perkembangan pasar, harganya akan terus menukik turun. Salah satu pasar potensial adalah mobil bertenaga listrik yang diramal bakal menjadi mobil massal di abad mendatang.

Kemauan Politik

Menilik berbagai kelebihan energi terbarui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan kebijakan energi nasional. Pertama, harus ada diversifikasi penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini, sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut.

Di negara-negara industri, hanya sekitar 5% dana penelitian yang diperuntukkan bagi sektor energi. Darinya, sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut lebih memprihatinkan. Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi energi terbarukan ini bisa bersaing dengan harga energi fosil.

Namun, tentu saja, untuk memproduksi energi matahari dengan “solar thermal technic“ dan “PV Technic“ dalam kategori massal, diperlukan kemauan politik. Ketika Indonesia masih menjadi produsen dan eksportir minyak dan di dalam negeri harga jualnya masih sepenuhnya disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis untuk mendudukkan energi terbarui pada posisi penting. Kini keadaan sudah sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak mengantisipasinya. Semoga!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar