Alih
Fungsi Jadi Lahan Korupsi
Budiman Rusli ; Guru Besar Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Padjadjaran, Bandung
|
KOMPAS,
27 November 2014
GUBERNUR Kepulauan Riau Anas
Maamun tertangkap tangan operasi Komisi Pemberantasan Korupsi terkait
penyalahgunaan wewenang alih fungsi lahan di Kepulauan Riau. Alih fungsi
lahan memang menjadi lahan empuk para kepala daerah untuk mengeruk keuntungan
melalui penerbitan izin-izin. Sebelumnya, Bupati Bogor Rachmat Yasin juga
ditangkap KPK. Kasus ini menyeret nama mantan Menteri Kehutanan Zulkifli
Hasan karena KPK berpegang pada ketentuan bahwa kewenangan pengalihfungsian
hutan lindung berada di Kementerian Kehutanan.
Keterangan orang pertama di
Kementerian Kehutanan ini diharapkan dapat menguak tabir terjadinya proses
penyimpangan dalam pemberian izin alih fungsi lahan.
Masalah serupa sebenarnya sudah
banyak terjadi dan selalu melibatkan orang nomor satu di jajaran pemerintahan
daerah, seperti di Kabupaten Buol yang menyeret sang bupati dan pengusaha
nasional papan atas beberapa tahun lalu.
Kasus-kasus penyimpangan dalam
pemberian izin alih fungsi lahan menurut para pengamat berawal dari belum
tertatanya payung hukum di daerah-daerah untuk mengatur rencana tata ruang
wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR) yang menjadi rujukan
pemberian izin penggunaan lahan.
Banyak daerah di Indonesia saat
ini tidak memiliki peraturan daerah yang mengatur RTRW dan RDTR sehingga
memicu terjadinya penerbitan izin penggunaan lahan yang serampangan.
Sering kali pemberian izin
berdasarkan pada permintaan pemohon, biasanya para pengusaha bermodal besar
dan memiliki hubungan kedekatan dengan penguasa. Pada umumnya, para pengusaha
mencari lahan strategis yang menjanjikan keuntungan besar, yang umumnya
melanggar peruntukan penggunaan lahan.
Di lain pihak pemerintah daerah
sebagai pemegang otoritas pemerintahan dan penguasa wilayah menjadikan
perizinan sebagai aset untuk mendulang keuntungan besar. Hanya dengan
membubuhkan tanda tangan, miliaran rupiah akan mengalir ke kantong
pribadinya.
Praktik alih fungsi lahan ini
sudah berlangsung lama dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi
negara. Tidak hanya kerugian materi, tetapi lebih dari itu kerugian yang
tidak dapat dinilai dengan uang berupa kesemrawutan dalam tatanan hidup
masyarakat yang selanjutnya menyebabkan buruknya kualitas lingkungan hidup
masyarakat.
Bahaya banjir senantiasa
menghantui dan sebaliknya timbul bahaya kebakaran pada musim kemarau karena
pembakaran lahan.
Selain itu, bahaya tanah longsor
juga senantiasa mengancam warga karena penggundulan hutan untuk membuka area
permukiman baru.
Belakangan para pengamat
menyadari bahwa kemacetan lalu lintas jalan raya pun secara langsung ataupun
tidak langsung merupakan imbas dari alih fungsi lahan yang tidak tepat karena area-area baru
menjadi kawasan permukiman yang berkontribusi terhadap arus kendaraan dengan
volume terus meningkat.
Oleh karena itu, pemberian izin
alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan peruntukannya dan menimbulkan
dampak buruk terhadap kualitas hidup masyarakat merupakan tindak pidana
korupsi.
Walaupun beberapa pemerintah
daerah telah berhasil mengatur RTRW dan RDTW dengan perda, dalam praktiknya
pengaturan tata ruang sering kali dilanggar dan terkesan ada proses
pembiaran. Akibatnya, upaya menata proses pemberian izin alih fungsi lahan
sering menghadapi kendala.
Menurut data dari KPK, di
seluruh wilayah Indonesia terdapat sekitar 150 juta hektar lahan.
Dari jumlah itu hanya 11 persen
yang memiliki kejelasan peruntukan karena telah diatur dalam sebuah perda,
selebihnya masih merupakan lahan yang potensial untuk menjadi obyek
perkeliruan. Kerugian negara akibat pajak yang tidak tertagihkan dari pembebasan
lahan dan pembalakan secara liar selama ini mencapai Rp 22 triliun.
Di era otonomi daerah, pemberian
izin alih fungsi lahan berlangsung melalui dua tahapan yang saling
melengkapi, yaitu dari tingkat pusat di Kementerian Kehutanan dan dilanjutkan
secara operasional di daerah.
Izin yang diperoleh departemen
belum berlaku jika pemerintah daerah belum memberikan perizinan teknis. Jadi,
pada dasarnya izin alih fungsi lahan dari pemerintah daerah memiliki peran
yang menentukan untuk eksekusi alih fungsi lahan.
Sebagai konsekuensinya, setiap
kepala daerah memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan transaksi
pemberian izin demi meraup dana segar dari para pengusaha.
Dari seluruh wilayah Indonesia,
kawasan yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dalam hal izin alih fungsi
lahan adalah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Namun, kasus-kasus
yang terjadi masih sulit diungkap karena rapinya permainan di antara
pihak-pihak terkait, baik aparatur pemerintah maupun pengusaha, dan tidak
menutup kemungkinan ada keterlibatan parpol.
Sebagai
imbas dari sulitnya pembuktian kasus alih fungsi lahan, tindakan tangkap
tangan menjadi operasi andalan KPK dan sekaligus membuktikan bahwa proses
perizinan alih fungsi selama ini memang menjadi lahan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar