Refleksi
Hari Guru 2014
Mohammad Nuh ; Dosen Jurusan Teknik Elektro ITS
|
JAWA
POS, 26 November 2014
TIDAK
ada satu pun di antara kita yang tidak pernah mendapatkan sentuhan kemuliaan
dari guru sehingga menjadi kita seperti sekarang ini, apa pun profesi dan
status sosial kita. Itulah realitas sosial sepanjang sejarah peradaban umat
manusia. Pendek kata, peran guru dalam kehidupan tidak bisa dimungkiri. Oleh
karena itu, tidak berlebihan kalau salah satu peran guru adalah sebagai mesin
pembuat dan transmisi ilmu, perilaku, dan peradaban yang menjaga
kesinambungan antargenerasi. Guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi lebih
jauh dari itu ikut menghantarkan proses menjadikan manusia yang mampu
memanusiakan manusia (humanizing the
human being).
Bahkan,
dalam tradisi sufistik, orisinalitas dan keabsahan sang guru (mursyid) sangat
ditentukan kepada siapa dia berguru. Hal ini semata-mata untuk memastikan
kemurnian dan kesahihan amaliah yang diajarkannya.
Secara
etimologi, guru yang berasal dari bahasa Sanskerta terdiri atas dua kata,
yaitu gu (darkness) dan ru (to push away). Oleh karena itu, peran
substansi guru adalah kemampuannya dalam memberikan pencerahan untuk
mentransformasikan dari keadaan yang terkungkung ”kegelapan” (jahiliah)
menuju keadaan yang tercerahkan. Jahiliah di sini bukan hanya ketidaktahuan
dari aspek pengetahuan, tetapi juga termasuk kelamnya perilaku dan peradaban.
Mengingat peran penting dan mulianya seorang guru, menjadi guru itu juga
penting dan mulia. Bahkan, dalam tradisi pesantren, menghormati guru sama
pentingnya dengan menghormati ilmu sebagai syarat agar bisa mendapatkan ilmu
yang bermanfaat (Syech Az-Zamuji dalam Ta’alim
Muta’alim).
Di balik
penting dan mulianya menjadi guru, banyak ragam yang melatar belakanginya.
Ada yang disebabkan tuntutan pekerjaan, panggilan jiwa, profesi, dan profesi
yang didasari panggilan jiwa. Latar belakang inilah yang ikut menentukan
karakter dan tingkat kemuliaan (maqom)
sebagai guru.
Sesuai
dengan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ada
empat kompetensi yang harus dipenuhi guru, yaitu kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, dan kompetensi sosial. Pertanyaannya adalah apakah
guru-guru kita yang jumlahnya sekitar 3 juta telah memenuhi UU tersebut?
Inilah pertanyaan yang jawabannya bukan sekadar sudah atau belum, tetapi
lebih jauh dari itu bagaimana menjadikan guru-guru kita memiliki empat
kompetensi tersebut secara memadai.
Guru sebagai Pekerjaan
Realitasnya,
tidak jarang kita jumpai menjadi guru sebagai pilihan terakhir setelah ke
sana kemari tidak mendapatkan pekerjaan. Daripada menganggur, akhirnya
berlabuh menjadi guru. Sehingga guru diposisikan sebagai pemenuhan pekerjaan
dan pilihan terakhir.
Untuk
guru pada tipe ini, yang menjadi ukuran utamanya adalah bagaimana dia bisa
menunaikan tugas formal semata tanpa disertai rasa tanggung jawab terhadap
capaian kompetensi murid. Yang penting mengajar yang berfokus pada
pengetahuan, belum mendidik dan hasilnya murid yang bertanggung jawab.
Suasana pembelajaran sangat kering karena tidak ada ikatan emosional antara
guru dan murid.
Guru sebagai Panggilan Jiwa
Kedahsyatan
panggilan jiwa bisa melampaui sekat-sekat yang menjadi hambatan untuk menjadi
guru. Dia memahami betul esensi menjadi guru adalah membantu dan
menghantarkan murid menjadi manusia sejati yang berbasis pada perilaku, budi
pekerti, dan karakter atau dalam K-13 kompetensi sikap. Dalam bahasa KH
Hasyim Asy’ari: semua amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan
maupun perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai perilaku serta budi
pekerti yang terpuji (Adabul ’Alim wal
Muta’allim). Dia mengandalkan pentingnya guru sebagai sumber keteladanan
dan inspirasi sehingga guru harus berusaha menampilkan diri sebagai sosok
yang penuh kemuliaan.
Dia juga
menyadari, pada akhirnya ilmu bisa usang karena perkembangan zaman, tetapi
perilaku haruslah tetap tersisa sepanjang hayat. Begitulah kata Einstein
(fisikawan) dan Skinner (psikolog), dua ilmuwan terbaik pada zamannya.
Suasana
pembelajarannya sangat hidup, pendekatannya penuh kasih sayang, karena ada
ikatan emosional yang kuat. Hubungan guru-murid tidak sebatas terjalin di
wilayah sekolah, tetapi diperluas sampai wilayah spiritual-transendental. Dia
lebih fokus terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya, tidak terlalu peduli
terhadap haknya.
Guru sebagai Profesi
Sejak
diundang-undangkannya UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru sebagai profesi
membawa dampak yang luar biasa dalam dunia ”per-guru-an” kita. Menjadi guru
tidak cukup hanya karena ijazah dan kemampuannya untuk bekerja atau karena
keinginan yang kuat sebagai panggilan jiwa. Akan tetapi, semua kriteria untuk
menjadi guru yang jelas dan terukur harus dipenuhi sebagaimana lazimnya
profesi yang lain.
Tahun
2005 hingga 2015 merupakan masa transisi guru sebagai profesi. Oleh karena
itu, ada pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi bagi guru yang sudah
”telanjur” mengajar. Sejak dua tahun terakhir sudah dirintis secara khusus pendidikan
untuk menjadi guru dengan model berasrama dan berbeasiswa. Melalui model ini,
diharapkan empat ranah kompetensi guru bisa dipenuhi.
Dengan
guru sebagai profesi, ada keseimbangan antara hak dan kewajiban serta ada
standar yang harus dipenuhi. Konsekuensinya, negara harus menyediakan
anggaran untuk gaji dan tunjangan yang jumlahnya tidaklah kecil, sekitar Rp
230 triliun (2015). Anggaran sebesar itu apakah sebanding dengan perbaikan
kinerja dunia pendidikan? Para guru tentu yang menjawabnya melalui pembuktian.
Guru sebagai Profesi dan Panggilan
Jiwa
Apakah
sudah cukup menjadi guru sebagai profesi yang profesional? Sudah cukup, namun
belum sempurna. Panggilan jiwa yang akan menyempurnakannya. Keempat
kompetensi yang dimilikinya, yang dilandasi panggilan jiwa, sebagaimana ibu
yang mengasuh sang anak, akan menyempurnakannya. Profesionalitasnya tidak
dikaitkan dengan hak yang dimilikinya, tetapi dengan kewajiban yang harus
dipenuhinya. Wilayah pembelajarannya melintasi batas wilayah kehidupan yang
diikat dengan nilai spiritual-transendental.
Dirgahayu
guruku. Selamat Hari Guru 2014, harinya orang-orang mulia. Dan hanya orang
mulia yang bisa memuliakan orang mulia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar