Sabtu, 29 November 2014

Konflik TNI-Polri

                                                    Konflik TNI-Polri

Al Araf  ;   Direktur Program Imparsial
KOMPAS,  29 November 2014

                                                                                                                       


PENYERANGAN markas Brimob oleh oknum anggota TNI kesatuan Batalyon Infanteri 134/Tuah Sakti di Batam kembali menambah rentetan panjang kasus konflik TNI-Polri. Konflik TNI-Polri seakan tidak ada hentinya pada era reformasi ini. Lebih kurang di tahun 2014 saja terdapat lima kasus bentrok TNI-Polri.

Konflik yang berulang kali terjadi antara oknum anggota TNI dan Polri tidak dapat dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Konflik oleh aparatur negara itu telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan dalam beberapa kasus menggunakan senjata sebagaimana terjadi di Batam, Kepulauan Riau.

Peristiwa demi peristiwa bentrokan di antara kedua institusi itu tidak hanya membuat masyarakat takut, tetapi juga membuat masyarakat khawatir dan bertanya-tanya akankah konflik itu berakhir?

Peristiwa penyerangan markas Brimob oleh oknum Batalyon Infanteri 134 di Batam merupakan bentuk kejadian yang sangat memprihatinkan. Selama berjam-jam para oknum anggota TNI menyalahgunakan senjatanya dengan menembakkan senjata mereka ke markas Brimob, Batam. Sebelum melakukan penyerangan ke markas Brimob, para oknum anggota TNI itu melakukan pembongkaran gudang senjata dan melakukan insubordinasi sebagaimana diungkapkan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno.

Dalam hukum militer, ketakpatuhan anggota atas perintah atasannya (insubordinasi) merupakan bentuk pelanggaran yang serius. Wajar saja jika Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dalam menyikapi peristiwa Batam menyatakan bahwa prajurit TNI yang tidak disiplin dan tidak mematuhi perintah atasan sama saja dengan gerombolan bersenjata. Berdasarkan sikap KSAD itu, sepantasnya sanksi hukuman yang maksimal diberikan kepada oknum anggota TNI yang melanggar dan melakukan tindakan insubordinasi.

Tindakan insubordinasi sebagaimana terjadi di Batam merupakan tindakan yang tidak pantas dicontoh prajurit TNI di mana pun. Dalam organisasi TNI, kesatuan TNI terikat dalam satu rantai komando dan anggota TNI harus tunduk serta patuh pada perintah atasan sepanjang perintah itu tidak melawan hukum.

Rantai komando dalam TNI itu sepenuhnya ditujukan untuk menjalankan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara yang memiliki tugas pokok menjaga kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang TNI). Dengan demikian, tindakan penyerangan oleh oknum anggota TNI di Batam jelas-jelas menyimpang dari fungsi dan tugas pokok TNI.

Namun, tindakan anggota TNI di Batam yang mengabaikan perintah atasannya tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor kepemimpinan komandan. Dalam organisasi TNI, leadership yang baik akan memengaruhi ketaatan anak buah kepada atasannya. Sebaliknya, leadership yang buruk akan berakibat pada ketidaktaatan anak buah kepada atasannya. Dalam konteks itu, menjadi penting bagi pimpinan TNI untuk tidak hanya menghukum anggota TNI yang melakukan insubordinasi, tetapi juga mengevaluasi kinerja komandan batalyon hingga komandan wilayahnya. Dalam peristiwa di Batam, para komandan dapat dianggap tidak mampu melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap pasukan.

Pengungkapan peristiwa konflik TNI-Polri di Batam secara transparan dan akuntabel sangat dinantikan publik. Apalagi konflik itu mengakibatkan jatuh korban dari warga sipil dan militer. Siapa pun yang melanggar, baik itu dari anggota TNI maupun dari anggota Polri, perlu diproses secara hukum dan diberikan sanksi hukuman. Untuk tujuan itu, menjadi sangat baik jika Presiden Joko Widodo memerintahkan Menko Polhukam membentuk tim investigasi yang tidak hanya terdiri dari unsur TNI-Polri, tetapi juga terdiri dari Komnas HAM, Kompolnas, dan ahli forensik independen.

Pembentukan tim investigasi dengan melibatkan elemen lain di luar TNI-Polri bertujuan menciptakan akuntabilitas dan transparansi dalam mengusut peristiwa penyerangan yang telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Selama ini, kerja tim investigasi gabungan TNI-Polri dalam mengusut kasus-kasus bentrokan di antara anggota kedua institusi tersebut dinilai kurang transparan dan akuntabel.

Solusi                           

Konflik TNI-Polri yang terjadi selama ini disebabkan oleh berbagai macam faktor. Faktor tersebut antara lain semangat  esprit de corps (jiwa korsa) yang keliru, budaya penghormatan terhadap hukum yang rendah, arogansi, faktor kesejahteraan yang rendah, disiplin dan kendali komandan yang lemah, dugaan keterlibatan di dalam bisnis ilegal, minimnya komunikasi antara anggota TNI dan Polri, serta sanksi hukum yang tidak maksimal terhadap anggota yang melanggar hukum.

Untuk mencegah terulang kembali konflik antara TNI dan Polri, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah perbaikan di dalam kedua institusi tersebut. Langkah itu di antarnya memperbaiki kesejahteraan anggota TNI-Polri, memperkuat kendali pasukan dan kontrol senjata oleh para komandan, meluruskan kembali pemahaman esprit de corps (jiwa korsa) yang keliru, memperbaiki proses perekrutan dan pendidikan, menindak anggota-anggota yang terlibat dalam kegiatan bisnis ilegal, dan membangun komunikasi yang konstruktif antara anggota TNI dan Polri.

Langkah penting lainnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengevaluasi secara kritis terhadap keberadaan struktur komando teritorial dan melakukan agenda reformasi peradilan militer melalui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 demi terciptanya akuntabilitas hukum yang baik di lingkungan TNI. Di sisi lain, peran Kompolnas perlu dimaksimalkan agar dapat efektif mengawasi kepolisian.

Konflik TNI-Polri bukanlah sebuah prestasi, melainkan peristiwa yang memprihatinkan dan menyedihkan. Karena itu, sangat diharapkan oleh publik agar semua anggota TNI-Polri dapat menjalankan fungsi dan tugasnya untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat, bukan malah terlibat dalam konflik yang  meresahkan serta menimbulkan rasa ketidakamanan dalam masyarakat itu sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar