Rabu, 26 November 2014

Diplomasi Sawit Jokowi

                                            Diplomasi Sawit Jokowi

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  26 November 2014

                                                                                                                       


Di dalam minggu ini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) akan mengadakan konferensi tahunan yang ke-10 di Bandung, Jawa Barat.
Tahun lalu, di masa berakhirnya pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyempatkan hadir setelah absen dalam konferensi-konferensi sebelumnya. Pada saat itu, Presiden SBY banyak memberikan komitmen atau janji untuk melindungi dan mendorong kemajuan industri kelapa sawit. Namun sayangnya janji itu dinyatakan pada saat terakhir masa kekuasaannya.

Para pengusaha dan pelaku industri kelapa sawit yang hadir dalam konferensi itu berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat melakukan hal yang berbeda. Presiden Jokowi dapat menghadiri konferensi itu di awal pemerintahan dan bukannya di akhir. Semoga dengan demikian, para pengusaha dan pelaku dalam industri kelapa sawit dapat bertukar pikiran untuk mendorong kemajuan industri tersebut.

Presiden Jokowi sebenarnya berkepentingan untuk hadir dalam konferensi itu untuk menjelaskan upaya diplomasi yang telah ia lakukan ketika hadir dalam forum internasional seperti di KTT APEC, KTT ASEAN, dan G-20 atau ketika menerima kunjungan kepala-kepala negara lain dalam satu bulan kekuasaannya.

Contohnya saat bertemu pertama kalinya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama dalam KTT APEC di Beijing China, Presiden Jokowi telah mengatakan agar AS membuka pasar yang seluasluasnya untuk produk-produk Indonesia, salah satunya kelapa sawit. Alasan yang disampaikan kepada Obama adalah sumbangan industri kelapa sawit kepada masyarakat yang tinggal di perdesaan. 

Pesan serupa juga disampaikan ketika Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden Dewan Uni Eropa di Istana Merdeka minggu lalu. Ia meminta agar Uni Eropa membantu produk kelapa sawit masuk ke negara-negara Uni Eropa. Presiden Jokowi menyampaikan adanya hambatan-hambatan yang dialami produk- produk kelapa sawit.

Ia menekankan bahwa permintaan tersebut didorong fakta bahwa 45% dari perkebunan kelapa sawit adalah milik rakyat, jadi tidak hanya perusahaan-perusahaan besar yang akan diuntungkan dari kerja sama dengan industri sawit di Indonesia. Pesan yang sama juga disampaikan kepada Perdana Menteri Renzi dari Italia.

Selain mendorong kerja sama dalam industri kreatif, Presiden Jokowi juga menekankan sekali lagi perlunya memperluas akses pasar kelapa sawit Indonesia ke Eropa. Seandainya Presiden Jokowi hadir dalam Konferensi Gapki, pesan-pesan tersebut tentu akan ia tekankan sebagai bukti komitmen yang sudah ia lakukan untuk industri kelapa sawit.

Namun, selain menyampaikan pesan dan permintaan kepada negara sahabat, tahapan yang lebih penting adalah sejauh mana para kepala negara sahabat tersebut memberikan tanggapan atas keluhan yang telah disampaikan Presiden Jokowi. Sejauh yang saya amati, termasuk dari press release dan berita yang dipublikasikan di media massa, keluhan Indonesia tentang sulitnya produk kelapa sawit masuk ke Eropa atau AS belum menjadi perhatian pemerintah dan publik di sana.

Dalam press release yang disampaikan Presiden Uni Eropa Herman Van Rompuy, pertemuan dengan Presiden Jokowi lebih menekankan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kerja sama di bidang infrastruktur, ketahanan pangan, kehutanan, kerja sama di bidang manajemen kehutanan untuk mengatasi pembalakan liar, dan perluasan pasar kayu dari Indonesia.

Demikian pula pertemuan dengan Obama. Tidak ada tanggapan yang datang dari Pemerintah AS atas keluhan Jokowi tentang kelapa sawit. Kalangan kedutaan AS lebih tertarik merespons undangan Pemerintah Indonesia untuk berinvestasi di sektor kelautan. Media massa internasional lebih menekankan suksesnya demokrasi di Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dan kerja sama yang lebih erat di masa datang.

Tidak ada media yang mengangkat masalah kelapa sawit kecuali media di Indonesia. Fakta itu patut disayangkan dan perlu menjadi masukan pentingbagi para diplomat yang mendampingi Presiden Jokowi. Dalam forum internasional seperti KTT APEC, ASEAN, dan G-20, kita harus dapat memanfaatkan waktu yang terbatas untuk dapat menyuarakan kepentingan kita seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.

Apa yang kita sampaikan dan kepada siapa kita bertemu adalah pesan penting yang akan diterjemahkan negaranegara lain. Pesan itu terutama menyangkut prioritas hubungan luar negeri kita, terutama di bidang ekonomi. Contoh dalam pertemuan KTT G-20 yang lalu, Presiden Jokowi semestinya mengusahakan untuk melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri India di hari pertama ia menginjakkan kaki di Australia untuk menunjukkan arti penting India bagi produk-produk agrikultur Indonesia, terutama kelapa sawit.

China dan India adalah pasar ekspor terbesar produk-produk kelapa sawit Indonesia. Secara umum, konsumsi masyarakat India akan minyak nabati selalu meningkat setiap tahun sementara pasokannya sangat terbatas. India sendiri lebih banyak memproduksi rapeseed oil, soybean oil, cotton seed oil, rice bran oil, dan groundnut oil.

Mereka membutuhkan minyak nabati dari kelapa sawit, tetapi juga tidak ingin mengganggu pasokan dari petani-petani mereka. Beberapa waktu lalu, India mengenakan tambahan pajak impor kelapa sawit 2,5% dan refine oil 7,5%. Tambahan pajak itu sebetulnya reaksi atas ketetapan pajak 0% CPO yang dilakukan Malaysia, tetapi dampaknya juga dirasakan Indonesia.

India juga sempat melakukan protes atas biaya keluar CPO yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan hilirisasi industri sawit dalam negeri Indonesia. Meskipun membutuhkan CPO yang murah untuk membangkitkan industri pengolahan kelapa sawit di sana, India tak ingin produsen lokal terancam. Akibat dari kebijakan biaya keluar kita, India melakukan safeguard terhadap produk fatty alcohols asal Indonesia.

Indonesia masih harus bernegosiasi menghadapi keputusan India tersebut sekaligus mempersiapkan argumentasi dan data untuk menjawab tuduhan India tersebut di WTO. Masalah-masalah khusus semacam itu tentu akan lebih baik bila dapat diselesaikan secara bilateral daripada diangkat ke forum internasional. 

Contoh yang baik adalah kerja sama preferential trade agreement (PTA) antara Indonesia dan Pakistan pada 2013. Dalam perjanjian terbatas tersebut, Indonesia setuju untuk membuka pintu impor bagi produk jeruk kino dari Pakistan dan Pakistan akan membuka pasar untuk produk kelapa sawit Indonesia.

Melalui perjanjian ini, ekspor CPO asal Indonesia ke Pakistan melonjak 150% di tahun 2013 dan nilainya masih surplus dibandingkan dengan impor jeruk kino Pakistan. Diskusi model imbal-balik macam itu tentu jauh lebih bermanfaat apabila memang strategi baru Presiden Jokowi dalam diplomasi adalah untuk bicara blak-blakan dan to-the point.

Presiden juga perlu menempatkan pesan dan tekanan kepada negara lain sesuai dengan tingkat pertemuannya. Semakin tinggi tingkat pertemuannya akan semakin keras gaungnya kepada dunia dan akan semakin diingat.

Dalam pertemuan privat antarkepala negara dapatlah ditegaskan komitmen dari pihak Indonesia bila kepentingan kita di akomodasi, sementara itu tim negosiasi yang berasal dari Kementerian Luar Negeri atau yang dikawal oleh Kementerian Luar Negeri harus bergerilya menyuarakan keinginan dan menampung masukan dari Indonesia dalam sesi-sesi informal dalam forum internasional maupun dalam kegiatan rutin.

Presiden Jokowi harus bekerja sama dengan kementerian terkait, termasuk dengan civil society, para asosiasi yang terkait dengan industri kelapa sawit, dan lembaga penelitian untuk menggerakkan keahlian masing-masing mendukung agenda pemerintah. Dengan kerja sama yang konstruktif dari tiap pihak, gerak Presiden yang cepat dapat diikuti dengan implementasi yang tepat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar