Minggu, 30 November 2014

Berbahan Murah, tetapi Tidak Murahan…

                Berbahan Murah, tetapi Tidak Murahan…

Aryo Wisanggeni G  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  30 November 2014

                                                                                                                       


PASAR Seni ITB sudah ”membajak” Minggu untuk kesebelas kalinya di Bandung. Ratusan warga, mahasiswa, dan wisatawan tumpah ruah ke tiap sudut kampus. Selama 42 tahun, pasar seni itu masih tetap ramah dan terus membumikan seni rupa. Minggu (23/11) pukul 08.35, Pasar Seni ITB belum resmi dibuka. Namun, para ”penyusup” berhasil masuk ke ”galeri” dadakan yang digelar di lapangan basket kampus Institut Teknologi Bandung.

Di salah satu ”lapak” pameran, enam patung serial ”Anjing Geladak” karya pematung kenamaan Nyoman Nuarta mencuri mata. Sang penjaga, Resi Sofanti (38), semringah melihat antusiasme para ”penyusup” memadati lorong-lorong lapak yang menjual karya para perupa kondang Bandung. ”Sudah ada empat orang yang membeli karya Pak Nyoman Nuarta,” ujar Resi tersenyum.

Enam patung anjing berbahan resin itu diolah sedemikian rupa sehingga terkesan berbahan tembaga dan tiap- tiapnya dicetak hanya 15 kali. Garapannya memang khas, segera mengingatkan publik kepada karya-karya monumental Nyoman Nuarta. Harganya sungguh menggoda. Dengan merogoh uang Rp 10 juta, publik sudah bisa membawa pulang patung anjing tersebut lengkap dengan sertifikat yang menerangkan keaslian karya Nyoman Nuarta itu.

Para ”penyusup” rela menerobos puluhan ribu peserta car free day di Jalan Juanda, Bandung, tergopoh-gopoh mencari lapak para perupa. ”Pasar Seni ITB selalu spesial, baik bagi Pak Nyoman yang menyiapkan karya khusus bagi pasar seni ini maupun bagi pengunjungnya,” ujar Resi.

Di pasar seni empat tahunan itu, ”serangan fajar” memang menentukan hasil akhir perburuan. Reinaldi Tamin (36) merasakan sendiri risiko ”kalah pagi”. Arsitek alumnus ITB yang bermukim di Bandung itu sudah memulai perburuannya ketika lapak Serambi Pirous pelukis AD Pirous dan Erna Pirous yang masih ditutupi bentangan kain putih, tetapi lukisan yang paling ia sukai justru dilabeli tanda booked.

”Ini yang booked jadi membeli tidak ya?” Reinaldi bertanya kepada penjaga sambil menunjuk sebuah lukisan kecil berjudul ”Pemandangan”. Sebagai karya AD Pirous, lukisan itu sangat khas, menghadirkan komposisi warna-warna cerah yang abstrak, lalu diimbuhi secarik garis keperakan yang serupa huruf pertama aksara Arab, ”Alif”. ”Kalau yang booked batal, saya yang ambil lukisan ini ya?” rayu Reinaldi.

Sejak lama Reinaldi mengoleksi repro karya AD Pirous dan mengoleksi sejumlah grafis karya sang perupa. ”Sejak lama saya mengagumi lukisan kaligrafi karya AD Pirous, tetapi belum pernah memiliki lukisannya,” kata Reinaldi tertawa.

Membumi

Sejak digelar pertama kali tahun 1972, Pasar Seni ITB memang istimewa, baik bagi para perupa, kolektor, maupun ”orang biasa” seperti Reinaldi. Riwayat Pasar Seni ITB berawal dari Rochester, singgah di Paris, lalu mendarat di Bandung. AD Pirous, sang perintis, masih mengingat musim gugur tahun 1970 ketika ia berkuliah di Rochester Institute of Technology, New York, Amerika Serikat.

Ketika itu, ia bahkan tidak tahu apa itu ”pasar seni”. ”Saya diajak kawan, datang dengan membawa karya yang saya lukis di studio, empat buah tongkat dan beberapa utas tali. Saya terkejut, karya saya dibeli orang. Saya segera tahu, saya harus bikin pasar seni serupa di Indonesia,” kata Pirous.

Tahun 1971, ia merampungkan studinya, lalu singgah ke Paris untuk menjemput istrinya, Erna Pirous, yang bersekolah di sana. Di ibu kota Perancis itu, ia keluar masuk galeri para maestro seni rupa, termasuk mengunjungi galeri perupa Sonia Delaunay.

”Di jalanan saya terpana melihat gadis Paris memakai syal bermotif lukisan karya Sonia Delaunay. Saya tersadar, di Paris karya seni berkualitas abadi dalam museum diterjemahkan dalam desain produk menjadi komoditas ekonomi. Tahun 1971 saya kembali ke ITB dan tahun 1972 saya menggelar Pasar Seni ITB di pinggir Jalan Ganeca, Bandung. Seperti di Rochester, pasar seni ini bukan tempat menjual karya seni dengan harga mahal, melainkan membumikan seni rupa ke kehidupan rakyatnya,” katanya.

Biarpun menawarkan ”harga kelas dua”, Pasar Seni ITB tidak lantas menawarkan ”karya kelas dua”. Karya-karya para perupa memiliki mutu estetika tinggi, tetapi ”dibangun” dengan beragam materi ”murah” tanpa menjadi murahan.

Tisna Sanjaya yang biasanya menghadirkan karya instalatif yang dibangun lewat performance art kini menghadirkan 42 drawing dalam lapaknya. Bagi Tisna, Pasar Seni ITB adalah interupsi terhadap art fair lain yang selalu dipenuhi para galeri dan kolektor.

”Pasar Seni ITB itu tak ubahnya pasar tradisional kita, pasar yang mempertemukan manusia dengan manusia. Ada mahasiswi datang, mengapresiasi karya, tetapi tanpa cukup uang. Saya persilakan ia membeli semampunya karena saya tahu ia mengapresiasi karya saya,” kata Tisna.

Evy Syaifullah, dosen grafis Universitas Padjadjaran, Bandung, menjadikan Pasar Seni ITB interupsi bagi diri sendiri. ”Saya hanya menjual satu karya, poster suasana Pasar Seni ITB yang hanya dicetak 100 buah dengan teknik digital printing. Antara mencari uang dan bereuni dengan banyak kawan sama-sama jadi motif ke pasar seni,” ujar alumnus jurusan grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB angkatan 1987 itu.

Reuni bahkan menjadi tujuan utama para seniman Kandura. Studio keramik itu didirikan Fauzy, Nuri, Ghia, dan Tisa di Bandung pada 2005. ”Kami alumni ITB dan sejak 2006 ikut setiap Pasar Seni ITB. Di situ kami menghadirkan beragam produk keramik dengan potongan harga 20 persen dan melihat respons pengunjung,” kata Fauzy tertawa.

Selama 42 tahun, lewat sebelas kali penyelenggaraan, Pasar Seni ITB telah berkembang menyerupai sebuah festival seni. Tak hanya mempertemukan para perupa dengan warga, pasar ini sudah menjadi perhelatan yang lengkap dengan beragam seni pertunjukan, diramaikan puluhan anjungan kuliner lezat, juga puluhan stan kerajinan.

Tak kurang dari AD Pirous sendiri berkelakar. ”Pasar Seni ITB kali ini gagal karena terlalu sukses. Terlalu banyak orang datang,” kata Pirous bangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar