Selasa, 25 November 2014

Agama KTP

                                                             Agama KTP

Dedi Mulyadi  ;   Bupati Purwakarta
KORAN SINDO,  24 November 2014

                                                                                                                       


Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa religius, memiliki sistem keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sudah berlangsung sejak seluruh pelataran Nusantara dihuni oleh nenek moyang kita.

Penamaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki keragaman yang didasarkan pada dialektika bahasa, ada yang menyebutnya Sang Hyang Widiwase, ada yang menyebutnya Sang Hyang Tunggal , ada pula yang menyebutnya Sunan Ambu, Hyang Murbeng Alam, Pangeran Nu Maha Kawasa, dan dalam sistem keyakinan agama Islam menyebutnya dengan Asma Allah Subhanahu WataAllah Subhanahu Wataala.

Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor geografis Arab sebagai tempat diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Keyakinan terhadap asma Sang Mahakuasa melahirkan dua kutub yang berbeda. Ada yang beranggapan bahwa asma bagi Tuhan di luar asma yang diajarkan dalam kitabnya adalah bukan Tuhan, tetapi ada juga yang beranggapan bahwa seluruh nama-nama itu lambang dari esensi Kemahakuasaan dan Kemahatunggalan yang memiliki kekuasaan di luar jangkauan manusia.

Prinsip yang dianut dalam berketuhanan bukan hanya didasarkan pada nama, tetapi yang lebih tinggi derajatnya dari itu adalah sistem keyakinan yang bernama agama. Orang Sunda menganggap agama adalah ageman /cecekelan hirup (pegangan/pedoman hidup) yang ada dalam hati dan pikiran setiap manusia untuk menata hidup agar memiliki keteraturan yang sejalan dengan kehendak Yang Maha Mengatur.

Sistem pengajaran agama mengatur dua hal, mana yang semestinya dilakukan oleh manusia dan mana yang semestinya ditinggalkan oleh manusia, yang dalam bahasa sederhananya agama mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk.

Keragaman pemahaman terhadap sistem keyakinan atau agama lebih banyak pada aspek yang bersifat tata cara manusia untuk menyembah Tuhannya secara langsung atau yang disebut dengan sistem ritual. Bukan hanya antaragama, melainkan juga dalam satu sistem agama sekalipun telah melahirkan keragaman pemahaman.

Keragaman tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan para ahli keagamaan sejak wafatnya Nabi yang menjadi pemegang otoritas wahyu orisinal. Setelah meninggalnya Nabi, tumbuhlah para pemegang otoritas kebenaran agama yang mulai beragam. Keberagaman tersebut sangat dipengaruhi oleh domisili, budaya, tingkat kecerdasan masyarakat, bahkan kekuasaan yang berkembang pada saat itu.

Jadi kalau kita berbeda, tidak perlu berselisih. Kita tidak perlu pula merasa paling tahu atau paling benar, karena kita tidak mengalami sendiri keadaan jaman itu, karena semuanya adalah ”katanya” yang diilmiahkan.

Agama itu kekuatannya pada keyakinan. Yang membuat kita dekat dengan Tuhan adalah keyakinan kita dan keyakinan sangatlah individual. Kini perkara individual itu berubah menjadi perkara yang bersifat karena sistem keyakinan itu mewarnai peranti kenegaraan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Sebagai contoh, dalam ajaran Islam, sistem perkawinan masyarakat yang menganut agama Islam diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan. Nah, dalam urusan kawin ini saya bingung. Perkawinan itu peristiwa ritual atau peristiwa administrasi kependudukan? Kalau memang ritual, kenapa dicatat? Kalau memang peristiwa administrasi kependudukan, kenapa dicatatnya oleh KUA, bukan oleh Disdukcapil?

Karena saudara saya yang nonmuslim, perkawinannya dicatat oleh Disdukcapil. Kan sama-sama mencatat perkawinan, kan sama-sama bangsa Indonesia, kenapa dibedakan? Ditambah lagi banyak daerah yang menggratiskan Sistem Pencatatan Pernikahan yang dilayani oleh Disdukcapil, sedangkan yang dicatat oleh KUA masih bayar.

Ini adalah diskriminasi pencatatan perkawinan yang harus dibahas secara serius oleh para aktivis HAM, karena yang lebih serius lagi adalah loba dulur kuring (banyak saudara saya) yang kawinnya tidak dicatatkan, karena tidak punya uang untuk bayar. Akibatnya anak-anaknya kesulitan memiliki akta kelahiran. Sangat diskriminatif. Ini betul-betul perkara serius. Urusan pencatatan perkawinan bukan hanya urusan bayar saja, tetapi juga urusan jumlah pencatat yang terbatas, sedangkan kawin teh musim-musiman.

Pada waktu musim kawin, calon pengantin harus nunggu lama karena jumlah yang dikawinkan sangat banyak. Bayangkan, bedak yang dari subuh dipakai, kepanasan sampai meleleh. Baju pengantin yang harum, basah dengan keringat menunggu datangnya sang pencatat perkawinan. Rombongan pengantar pedih menahan lapar, karena berangkat dari rumahnya subuh mengantar raja sehari.

Selesai musim panen dan perkawinan, nanti akan tiba musim paceklik dan perceraian. Entah di daerah mana itu, saya tidak tahu. Dampaknya, lahirlah para janda yang kemudian berurbanisasi ke pusat-pusat kota dan pusat-pusat keramaian yang mengisi tempat-tempat hiburan malam.

Duh , menyedihkan... Siapa yang harus bertanggung jawab? Masih masalah urusan beragama, ternyata ketika kita beragama kita masuk pada sistem pemahaman yang merujuk pada satu pandangan paham keagamaan yang diyakini kebenarannya oleh kita sebagai pengikut. Paham keagamaan tersebut dikelola menjadi kelembagaan keagamaan. Secara umum, saat ini dikelompokkan menjadi organisasi agama.

Kita mengetahui sangat banyak jumlah organisasi keagamaan di negara kita, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar dalam sistem tata administrasi negara kita. Jadi, kalau kita ngomong kolom agama dalam KTP maka kita berbicara pada dua hal, apakah kolom agama itu adalah keyakinan individual yang ada dalam setiap hati dan pikiran manusia atau kolom agama itu adalah paham keagamaan yang bersifat administrasi organisasi?

Kalau kata saya, kan yang namanya keyakinan itu nggak bisa dibaca dengan bahasa tulisan dan tidak bisa diidentitaskan, sebab adanya di dalam hati dan pikiran. Yang hafalnya pun tentu yang menguasai hati dan pikiran, bukan petugas Dinas Kependudukan. Sistem keyakinan itu akan terlihat dalam perilaku sosial beragama dalam kehidupan keseharian, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Nah, bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa dia itu beragama? Kan tidak ada pencatat ucapan, pencatat amal perbuatan, hayooo... sedangkan pencatat kebaikan dalam sistem keyakinan, secara umum ajaran agama menyebutnya malaikat. Kumaha tah menta laporanana? (Gimana tuh minta laporannya?) Kan sulit mengidentifikasinya, karena kita tidak mungkin bertanya pada malaikat.

Yang paling logis, kalau kita ingin bertanya perilaku beragama seseorang, maka kita harus bertanya pada lingkungan terdekatnya baik di keluarga maupun masyarakat, baru bisa dilaporkan ke Dinas Kependudukan bahwa dia dalam kesehariannya beragama. Masalah yang berikutnya, jujur atau nggak laporannya?

Karena tidak mungkin seorang istri menjelekkan suaminya, atau bapak menjelekkan anaknya atau ketua RT menjelekkan warganya. Tah, lamun kitu mah agama urang salila ieu teh agama KTP. (Nah , kata teman saya di kampung, agama kita ini agama KTP, sebab kita beragama hanya dalam KTP).

Jadi, menurut saya, orang kampung bau lisung jauh ka bedug anggang ka dulag , kita harus jujur, bahwa beragama kita ini adalah berpaham keagamaan yang berafiliasi pada satu golongan paham yang sudah teradministrasi dalam bentuk organisasi keagamaan.

Tak ada salahnya biar kita jujur pada diri kita, kolom di KTP yang dicantumkan adalah paham atau organisasi keagamaan kita sehingga tidak terjadi perdebatan yang terus menerus karena ingin menciptakan satu paham agar diterima oleh semua. Nanti kita tidak mengalami lagi ada lebaran dua hari, atau ada lebaran dimusyawarahkan bahkan divoting, kan bukan pemilihan alat kelengkapan dewan (AKD).

Tetapi nanti kita bisa ikut paham kita masing-masing tanpa harus ngurusin paham orang lain. Yang Paham A, lebarannya hari Jumat, yang Paham B lebarannya hari Sabtu, kan tidak capek, daripada malam takbiran harus menunggu pengumuman, padahal di rumah sudah bikin opor. Jangan sampai lebaran ditunda sehari, bisa bikin marah ibu-ibu sabab angeun cabena haseum (sebab sayur cabenya basi).

Tapi yang pusing yang beragamanya tidak punya paham atau sailu-iluna (ikut ke sana kemari), giliran puasa ikut sama yang belakangan puasanya, giliran lebaran ikut sama yang duluan lebarannya, setiap paham diambil yang nyenangin saja, nah, yang begitu mah dimasukkan ke KTP, paham sangeunah karepna .... (paham seenaknya).

Saatnya kita bermimpi, tak ada lagi penghancuran tempat ibadah dan pengusiran sebuah golongan karena dianggap mencemari atau mencederai sebuah keyakinan agama, karena kita sudah memahami paham dan rujukan kita masing-masing. Mimpi kita ini memang tidak mungkin diwujudkan dalam waktu dekat, karena perlu perubahan undang-undang yang mengatur tentang kebebasan beragama di Indonesia, yang di dalamnya mengakui seluruh paham dan keyakinan yang ada di seluruh Persada Bumi Nusantara, sehingga kolom agama dalam KTP tidak perlu dikosongkan.

Mau agama apa pun, mau paham apa pun, saatnya mengisi kolom agama dalam KTP. Silakan yang punya paham kejawen ditulis paham kejawennya, Sunda wiwitan ditulis Sunda wiwitannya. Pengikut Dayak Benoa ditulis paham keyakinannya. Kelompok Dayak Segandu berhak menjadi penduduk Indonesia.

Termasuk kalau yang merasa tidak bertuhan atau ateis, silakan mencantumkan keyakinannya. Sok we ari wani mah... meh sarerea apal. (silakan saja kalau berani... biar semua orang tahu). Itu pun kalau ada yang berani mencabut Tap MPR-nya. Saya tunggu nyalinya !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar