Agama
KTP
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 24 November 2014
Bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius, memiliki sistem keyakinan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa yang sudah berlangsung sejak seluruh pelataran Nusantara
dihuni oleh nenek moyang kita.
Penamaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki keragaman yang didasarkan pada
dialektika bahasa, ada yang menyebutnya Sang Hyang Widiwase, ada yang
menyebutnya Sang Hyang Tunggal , ada pula yang menyebutnya Sunan Ambu, Hyang
Murbeng Alam, Pangeran Nu Maha Kawasa, dan dalam sistem keyakinan agama Islam
menyebutnya dengan Asma Allah Subhanahu
WataAllah Subhanahu Wataala.
Hal
tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor geografis Arab sebagai tempat
diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Keyakinan terhadap asma Sang
Mahakuasa melahirkan dua kutub yang berbeda. Ada yang beranggapan bahwa asma
bagi Tuhan di luar asma yang diajarkan dalam kitabnya adalah bukan Tuhan,
tetapi ada juga yang beranggapan bahwa seluruh nama-nama itu lambang dari
esensi Kemahakuasaan dan Kemahatunggalan yang memiliki kekuasaan di luar
jangkauan manusia.
Prinsip
yang dianut dalam berketuhanan bukan hanya didasarkan pada nama, tetapi yang
lebih tinggi derajatnya dari itu adalah sistem keyakinan yang bernama agama.
Orang Sunda menganggap agama adalah ageman /cecekelan hirup (pegangan/pedoman
hidup) yang ada dalam hati dan pikiran setiap manusia untuk menata hidup agar
memiliki keteraturan yang sejalan dengan kehendak Yang Maha Mengatur.
Sistem
pengajaran agama mengatur dua hal, mana yang semestinya dilakukan oleh
manusia dan mana yang semestinya ditinggalkan oleh manusia, yang dalam bahasa
sederhananya agama mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Keragaman
pemahaman terhadap sistem keyakinan atau agama lebih banyak pada aspek yang
bersifat tata cara manusia untuk menyembah Tuhannya secara langsung atau yang
disebut dengan sistem ritual. Bukan hanya antaragama, melainkan juga dalam
satu sistem agama sekalipun telah melahirkan keragaman pemahaman.
Keragaman
tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan para ahli keagamaan sejak wafatnya
Nabi yang menjadi pemegang otoritas wahyu orisinal. Setelah meninggalnya
Nabi, tumbuhlah para pemegang otoritas kebenaran agama yang mulai beragam.
Keberagaman tersebut sangat dipengaruhi oleh domisili, budaya, tingkat
kecerdasan masyarakat, bahkan kekuasaan yang berkembang pada saat itu.
Jadi
kalau kita berbeda, tidak perlu berselisih. Kita tidak perlu pula merasa
paling tahu atau paling benar, karena kita tidak mengalami sendiri keadaan
jaman itu, karena semuanya adalah ”katanya” yang diilmiahkan.
Agama
itu kekuatannya pada keyakinan. Yang membuat kita dekat dengan Tuhan adalah
keyakinan kita dan keyakinan sangatlah individual. Kini perkara individual
itu berubah menjadi perkara yang bersifat karena sistem keyakinan itu
mewarnai peranti kenegaraan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Sebagai
contoh, dalam ajaran Islam, sistem perkawinan masyarakat yang menganut agama
Islam diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan. Nah, dalam urusan kawin
ini saya bingung. Perkawinan itu peristiwa ritual atau peristiwa administrasi
kependudukan? Kalau memang ritual, kenapa dicatat? Kalau memang peristiwa
administrasi kependudukan, kenapa dicatatnya oleh KUA, bukan oleh
Disdukcapil?
Karena
saudara saya yang nonmuslim, perkawinannya dicatat oleh Disdukcapil. Kan
sama-sama mencatat perkawinan, kan sama-sama bangsa Indonesia, kenapa
dibedakan? Ditambah lagi banyak daerah yang menggratiskan Sistem Pencatatan
Pernikahan yang dilayani oleh Disdukcapil, sedangkan yang dicatat oleh KUA
masih bayar.
Ini
adalah diskriminasi pencatatan perkawinan yang harus dibahas secara serius
oleh para aktivis HAM, karena yang lebih serius lagi adalah loba dulur kuring
(banyak saudara saya) yang kawinnya tidak dicatatkan, karena tidak punya uang
untuk bayar. Akibatnya anak-anaknya kesulitan memiliki akta kelahiran. Sangat
diskriminatif. Ini betul-betul perkara serius. Urusan pencatatan perkawinan
bukan hanya urusan bayar saja, tetapi juga urusan jumlah pencatat yang
terbatas, sedangkan kawin teh musim-musiman.
Pada
waktu musim kawin, calon pengantin harus nunggu lama karena jumlah yang
dikawinkan sangat banyak. Bayangkan, bedak yang dari subuh dipakai, kepanasan
sampai meleleh. Baju pengantin yang harum, basah dengan keringat menunggu
datangnya sang pencatat perkawinan. Rombongan pengantar pedih menahan lapar,
karena berangkat dari rumahnya subuh mengantar raja sehari.
Selesai
musim panen dan perkawinan, nanti akan tiba musim paceklik dan perceraian.
Entah di daerah mana itu, saya tidak tahu. Dampaknya, lahirlah para janda yang
kemudian berurbanisasi ke pusat-pusat kota dan pusat-pusat keramaian yang
mengisi tempat-tempat hiburan malam.
Duh ,
menyedihkan... Siapa yang harus bertanggung jawab? Masih masalah urusan
beragama, ternyata ketika kita beragama kita masuk pada sistem pemahaman yang
merujuk pada satu pandangan paham keagamaan yang diyakini kebenarannya oleh
kita sebagai pengikut. Paham keagamaan tersebut dikelola menjadi kelembagaan
keagamaan. Secara umum, saat ini dikelompokkan menjadi organisasi agama.
Kita
mengetahui sangat banyak jumlah organisasi keagamaan di negara kita, baik
yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar dalam sistem tata administrasi
negara kita. Jadi, kalau kita ngomong kolom agama dalam KTP maka kita
berbicara pada dua hal, apakah kolom agama itu adalah keyakinan individual
yang ada dalam setiap hati dan pikiran manusia atau kolom agama itu adalah
paham keagamaan yang bersifat administrasi organisasi?
Kalau
kata saya, kan yang namanya keyakinan itu nggak bisa dibaca dengan bahasa
tulisan dan tidak bisa diidentitaskan, sebab adanya di dalam hati dan
pikiran. Yang hafalnya pun tentu yang menguasai hati dan pikiran, bukan
petugas Dinas Kependudukan. Sistem keyakinan itu akan terlihat dalam perilaku
sosial beragama dalam kehidupan keseharian, baik dalam ucapan maupun
perbuatan.
Nah,
bagaimana kita bisa menyimpulkan bahwa dia itu beragama? Kan tidak ada
pencatat ucapan, pencatat amal perbuatan, hayooo... sedangkan pencatat
kebaikan dalam sistem keyakinan, secara umum ajaran agama menyebutnya
malaikat. Kumaha tah menta laporanana? (Gimana tuh minta laporannya?) Kan
sulit mengidentifikasinya, karena kita tidak mungkin bertanya pada malaikat.
Yang
paling logis, kalau kita ingin bertanya perilaku beragama seseorang, maka
kita harus bertanya pada lingkungan terdekatnya baik di keluarga maupun
masyarakat, baru bisa dilaporkan ke Dinas Kependudukan bahwa dia dalam kesehariannya
beragama. Masalah yang berikutnya, jujur atau nggak laporannya?
Karena
tidak mungkin seorang istri menjelekkan suaminya, atau bapak menjelekkan
anaknya atau ketua RT menjelekkan warganya. Tah, lamun kitu mah agama urang
salila ieu teh agama KTP. (Nah , kata teman saya di kampung, agama kita ini
agama KTP, sebab kita beragama hanya dalam KTP).
Jadi,
menurut saya, orang kampung bau lisung jauh ka bedug anggang ka dulag , kita
harus jujur, bahwa beragama kita ini adalah berpaham keagamaan yang berafiliasi
pada satu golongan paham yang sudah teradministrasi dalam bentuk organisasi
keagamaan.
Tak ada
salahnya biar kita jujur pada diri kita, kolom di KTP yang dicantumkan adalah
paham atau organisasi keagamaan kita sehingga tidak terjadi perdebatan yang
terus menerus karena ingin menciptakan satu paham agar diterima oleh semua.
Nanti kita tidak mengalami lagi ada lebaran dua hari, atau ada lebaran
dimusyawarahkan bahkan divoting, kan bukan pemilihan alat kelengkapan dewan
(AKD).
Tetapi
nanti kita bisa ikut paham kita masing-masing tanpa harus ngurusin paham
orang lain. Yang Paham A, lebarannya hari Jumat, yang Paham B lebarannya hari
Sabtu, kan tidak capek, daripada malam takbiran harus menunggu pengumuman,
padahal di rumah sudah bikin opor. Jangan sampai lebaran ditunda sehari, bisa
bikin marah ibu-ibu sabab angeun cabena haseum (sebab sayur cabenya basi).
Tapi
yang pusing yang beragamanya tidak punya paham atau sailu-iluna (ikut ke sana
kemari), giliran puasa ikut sama yang belakangan puasanya, giliran lebaran
ikut sama yang duluan lebarannya, setiap paham diambil yang nyenangin saja,
nah, yang begitu mah dimasukkan ke KTP, paham sangeunah karepna .... (paham
seenaknya).
Saatnya
kita bermimpi, tak ada lagi penghancuran tempat ibadah dan pengusiran sebuah
golongan karena dianggap mencemari atau mencederai sebuah keyakinan agama,
karena kita sudah memahami paham dan rujukan kita masing-masing. Mimpi kita
ini memang tidak mungkin diwujudkan dalam waktu dekat, karena perlu perubahan
undang-undang yang mengatur tentang kebebasan beragama di Indonesia, yang di
dalamnya mengakui seluruh paham dan keyakinan yang ada di seluruh Persada
Bumi Nusantara, sehingga kolom agama dalam KTP tidak perlu dikosongkan.
Mau
agama apa pun, mau paham apa pun, saatnya mengisi kolom agama dalam KTP.
Silakan yang punya paham kejawen ditulis paham kejawennya, Sunda wiwitan
ditulis Sunda wiwitannya. Pengikut Dayak Benoa ditulis paham keyakinannya.
Kelompok Dayak Segandu berhak menjadi penduduk Indonesia.
Termasuk kalau yang merasa tidak bertuhan atau ateis, silakan
mencantumkan keyakinannya. Sok we ari
wani mah... meh sarerea apal. (silakan saja kalau berani... biar semua
orang tahu). Itu pun kalau ada yang berani mencabut Tap MPR-nya. Saya tunggu
nyalinya !!! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar