RUU
Perlindungan Umat Beragama
Rumadi Ahmad ; Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Peneliti Senior The Wahid Institute dan Komisioner Komisi
Informasi Pusat
|
KOMPAS,
26 November 2014
MENTERI
Agama Lukman Hakim Saifuddin, sebagaimana dilansir sejumlah media,
menyatakan, Kementerian Agama sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Umat Beragama. Menurut dia, RUU PUB merupakan hasil forum group discussion
yang dilakukan Kementerian Agama dengan melibatkan tokoh-tokoh dari beberapa
agama (28/10/2014). Keinginan Kementerian Agama untuk menginisiasi lahirnya
UU seperti ini sudah ada sejak lama meski dengan nama berbeda. Tahun 2010,
dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri disepakati percepatan pembahasan RUU Kerukunan Umat Beragama (RUU
KUB). Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 9 dan 8
Tahun 2006 tentang Tempat Ibadah juga disepakati dinaikkan statusnya menjadi
UU.
Gagasan
membuat RUU KUB muncul seiring banyaknya kasus kekerasan bermotif agama,
termasuk penusukan terhadap pendeta gereja HKBP Ciketing, Bekasi. Jauh
sebelum itu, tahun 2003 sudah beredar RUU KUB yang diduga dikeluarkan Litbang
Departemen Agama (sebelum jadi Kemenag) meskipun itu tidak diakui. Pada
Agustus 2011, beredar dokumen naskah akademik dan draf RUU KUB dari Baleg DPR
yang isinya ada kemiripan dengan RUU KUB Litbang Kemenag 2003.
Melindungi
Pertanyaannya,
apakah substansi RUU yang hendak diusulkan Kemenag sekarang ini merupakan
kelanjutan belaka dari perkembangan di atas, atau ada substansi yang berubah.
Pertanyaan ini tentu belum bisa dijawab karena RUU PUB hingga sekarang belum
ada naskah akademik dan draf RUU-nya. Apakah hanya mengubah nama dari RUU KUB
menjadi RUU PUB, ataukah ada perubahan paradigmatik yang lebih mendasar.
Lukman
Hakim mengungkapkan, gagasan pokok dari RUU PUB adalah memastikan
perlindungan umat beragama, terutama dalam dua hal: kemerdekaan memeluk agama
di satu pihak dan kemerdekaan menjalankan agama sesuai keyakinan yang
dipeluk. Jaminan ini sebenarnya sudah ditemukan dalam konstitusi UUD 45.
Namun, belum ada UU turunan yang mengimplementasikan jaminan konstitusi.
Lukman
menyebutkan, RUU PUB ini diharapkan bisa memberikan perlindungan bagi
masyarakat yang menganut agama di luar Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu. ”Kami rasakan saat ini ada perilaku diskriminatif
terhadap masyarakat di luar keenam agama itu,” ujarnya. Pernyataan ini mengindikasikan adanya
spirit berbeda dengan RUU KUB yang sama sekali tidak mempersoalkan posisi
agama dan keyakinan di luar enam agama yang diakui negara. Hal ini
mengindikasikan ada paradigma melindungi dan menghormati, bukan mengatur dan
mengontrol.
Paradigma
mengatur dan mengontrol lebih dominan dalam perbincangan RUU KUB yang
diproyeksikan sebagai alat mengintegrasi dan perekayasa sosial. Dengan
demikian, RUU KUB memang diproyeksikan untuk mengintegrasikan, mengontrol,
dan merekayasa masyarakat. Hal itu tak bisa dilepaskan dari kepentingan orang
atau kelompok yang memegang kekuasaan. Dari perspektif ini jelas paradigma
yang digunakan adalah menempatkan masyarakat sebagai ”obyek” yang perlu
diintegrasikan, dikontrol, dan direkayasa.
Negara
dan kelompok mayoritas adalah ”subyek” yang mengontrol, mengintegrasikan, dan
merekayasa. Hal ini dilakukan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan
negara dan juga mayoritas. Dengan demikian, kepentingan-kepentingan rakyat,
terutama minoritas, tetap harus disubordinasikan dalam kepentingan negara dan
mayoritas.
Dengan
demikian, RUU PUB yang digagas Lukman Hakim akan punya arti penting jika ada
spirit sungguh-sungguh untuk melindungi dan memfasilitasi warga negara agar
dapat menjalankan agama dan keyakinannya dan tak dihantui diskriminasi. Ini
penting ditegaskan karena dalam praktiknya, istilah melindungi sering
dibelokkan jadi membelenggu dan membatasi. RUU PUB juga harus dipastikan bisa
menghilangkan diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan. Harus diakui,
sekarang ini masih ada perlakuan diskriminatif terhadap pemeluk keyakinan
keagamaan di luar enam agama yang dianggap sah. Hal ini sudah berjalan
puluhan tahun dan tak ada terobosan hukum untuk menghilangkan. RUU PUB harus
mampu menerobos hal ini.
Hal ini
bisa dilakukan jika definisi agama diperluas sehingga bisa mencakup semua
jenis kepercayaan keagamaan, termasuk agama lokal yang banyak hidup di
seluruh Nusantara. Bukan pembuat UU yang mendefinisikan sebuah kepercayaan
atau tidak, tetapi pemeluknya sendiri. Jika hal ini gagal dilakukan, bukan
tak mungkin, meski RUU-nya ”perlindungan”, justru berisi represi dan
legalisasi diskriminasi.
Bukan obat mujarab
Meskipun
demikian, harus disadari sejak awal, UU tidak bisa jadi obat mujarab untuk
menyelesaikan persoalan kehidupan beragama. Dalam visi-misi Presiden Joko
Widodo disebutkan, salah satu problem pokok bangsa adalah merebaknya
intoleransi. Apakah RUU PUB upaya untuk menjawab problem itu? Kalau RUU PUB
dimaksudkan untuk menjawab ini, saya bisa pastikan ini bukan jawaban yang
tepat. Intoleransi terjadi di mana-mana bukan karena kekosongan hukum,
melainkan lebih akibat lemahnya penegakan hukum dan kepemimpinan.
Bukan
berarti penulis alergi dengan perumusan aturan kehidupan beragama. Regulasi
kehidupan keagamaan pada tingkat tertentu dibutuhkan, tetapi harus
mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, regulasi keagamaan melalui perumusan
pasal-pasal dalam UU tak berarti bisa menyelesaikan semua problem kehidupan
beragama. Adalah keliru jika ada yang beranggapan bahwa problem kehidupan
beragama karena ketiadaan aturan perundang-undangan. Pasal-pasal UU tak ada
artinya jika relasi sosial keagamaan di Indonesia tak cukup sehat, aparat
pemerintah dan penegak hukum tak punya kapasitas melakukan penegakan hukum, atau
budaya hukum tak mendukung. Karena itu, hal yang jauh lebih penting adalah
membangun sistem kehidupan keagamaan yang sehat, terbuka, dan adil. Tanpa
itu, aturan sebagus dan sedetail apa pun tidak akan banyak gunanya, bahkan
bisa menjadi sumber konflik baru.
Kedua,
menggunakan paradigma yang benar: dari mengatur menjadi melayani; dari
mengontrol menjadi melindungi. Perubahan paradigma ini harus diikuti sense of minority, sebuah sikap
sensitif terhadap kebutuhan kelompok minoritas. Sense of minority inilah yang selama ini absen dalam pembahasan
kehidupan keagamaan. Dalam soal tempat ibadah, misalnya, mengatur tempat
ibadah bagi Muslim di Jawa tak bisa disamakan dengan Muslim di Papua atau
Manado. Begitu juga mengatur tempat ibadah umat Hindu di Bali tak bisa
disamakan dengan Hindu di Jawa dan seterusnya. Ketiadaan sense of minority ini kemudian melahirkan aturan-aturan yang
justru menyulitkan kalangan minoritas. Alih-alih sense of minority, yang dikedepankan justru sikap dan cara
berpikir untuk melindungi kepentingan mayoritas dari ancaman minoritas.
Ketiga, harus dipastikan, RUU PUB bisa menghilangkan diskriminasi
berdasar agama dan keyakinan, tidak justru melanggengkan diskriminasi. Jika
hal itu dilakukan, RUU PUB akan membawa perubahan besar dalam kehidupan
berbangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar