Nawa
Cita dan Negara Pemberdaya
Abdul Hakim Garuda Nusantara ; Advokat/Arbiter;
Ketua Komnas HAM Periode 2002-2007
|
KOMPAS,
29 November 2014
JOKO
Widodo sebagai presiden baru bakal menghadapi masalah ekonomi mahaberat yang
tak sempat diselesaikan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagaimana
telah disiarkan sejumlah media, termasuk Kompas, masalah ekonomi yang
menantang itu berderet. Antara lain subsidi bahan bakar minyak yang mendekati
4 persen produk domestik bruto (PDB) serta mendominasi dan memeras anggaran
negara, defisit infrastruktur berat yang menyengsarakan rakyat miskin kota
dan desa yang bergantung pada jalan dan irigasi bagi produktivitas dan
pemasaran hasil pertanian, pengangguran terbuka ataupun terselubung yang
setiap tahun terus meningkat, birokrasi layanan publik yang korup dan tak
efisien, serta meningkatnya ketimpangan pendapatan yang mengancam kohesi
sosial dan membuat masyarakat bangsa rentan terhadap retorika populis yang
berbahaya (Hall Hill http://www.insideindonesia. org).
Masalah
lain berkaitan dengan pangan, energi, dan air bersih. Tentu saja masalah
ekonomi mahaberat itu akan menjadi prioritas Jokowi untuk mengatasinya. Nawa
Cita merupakan visi dan misi Jokowi, menggambarkan tak sekadar daftar
keinginan, tetapi juga komitmen mendayagunakan negara bagi terwujudnya
keamanan, keadilan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan budaya.
Nawa
Cita ingin menghadirkan negara sebagai aktor utama untuk memfasilitasi dan
memproteksi berbagai usaha guna mengangkat harkat dan martabat rakyat yang
dibelenggu kemiskinan dan keterbelakangan menuju ke tingkat yang setara atau
mendekati kesejahteraan rakyat negara maju.
Memosisikan
negara sebagai aktor utama untuk mengatasi masalah ekonomi, politik, sosial,
hukum, dan budaya bukanlah sesuatu yang baru. Hal itu sudah sejak dulu
merupakan amanah konstitusi. Masalahnya, dari era Soeharto sampai ke masa
SBY, dan nanti zaman Jokowi, kemampuan negara selalu terbatas sehingga tak
terhindarkan bahwa pemerintah harus mengundang partisipasi perusahaan swasta
dalam membangun infrastruktur layanan publik, seperti, jalan tol, bandara,
pelabuhan, pengadaan air, layanan kesehatan, pendidikan, listrik, dan
telekomunikasi.
Neoliberal
Pada
titik ketika pemerintah membuka pintu bagi partisipasi swasta di bidang
layanan publik ini, kita menyaksikan sebagian masyarakat sipil kita menggugat
kebijakan pemerintah tersebut sebagai neoliberal, merugikan rakyat, dan
melanggar UUD 1945. Berbagai gugatan hukum dilakukan koalisi masyarakat sipil
dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap UU Kelistrikan, UU Migas, UU
Sumber Daya Air, dan sebagainya karena mereka mencium aroma ideologi
neoliberal di balik berbagai UU itu.
Pada
pemerintahan DKI di bawah Jokowi, mempertahankan perjanjian kerja sama swasta
dan perusahaan daerah air minum produk Sutiyoso digugat oleh koalisi LSM
karena diduga menjalankan kebijakan neoliberal yang melanggar UUD 1945.
Sejumlah
kasus itu mengundang pertanyaan hukum fundamental, yakni apakah kerja sama
pemerintah dan swasta dalam pengadaan layanan publik itu sebuah praktik
neoliberal atau sesungguhnya implementasi dari konsep negara yang
memberdayakan rakyat yang sesuai dengan amanah konstitusi. Apakah UUD 1945
memosisikan negara sebagai penghasil produk atau justru sebagai penjamin
produk dalam konteks ketersediaan, keterjangkauan, aksesibilitas, dan
berkualitas.
Mencermati
dan merenungkan kembali alinea IV Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945, sampailah
kita pada pengertian bahwa UUD 1945 tidak menganut konsep negara yang
memisahkan secara tajam antara negara, masyarakat, dan pasar sebagaimana yang
kita jumpai di negara-negara liberal pertengahan abad ke-19 di Eropa dan
Amerika yang sejak 1980-an dihidupkan kembali oleh para pendukung
neoliberalisme. Ia juga tidak menganut konsep serba negara yang mengarah ke
totalitarianisme sebagaimana dipraktikkan negara komunis.
Namun,
sebagaimana dikatakan Mohammad Hatta, UUD 1945 mengedepankan kerja sama
antara negara, swasta, dan koperasi atau ekonomi rakyat. Pandangan Hatta ini
terukir dalam Pasal 33 UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, ”Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2) dan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3).
Kemakmuran rakyat
Di sana
kata kuncinya adalah dikuasai negara dan guna sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, negara tidak berarti selalu sebagai pemain
tunggal penghasil produk, tetapi demi efisiensi, ketersediaan,
keterjangkauan, aksesibiltas publik, dan kualitas, negara dapat dan
kadang-kadang harus bekerja sama dengan atau memberikan tugas kepada swasta
untuk menghasilkan produk yang diperlukan publik.
Dengan
demikian, jelas, UUD 1945 tidak antipasar, tidak menolak kerja sama dengan
atau menugaskan pihak swasta guna menghasilkan barang dan jasa yang
diperlukan publik. Inilah sesungguhnya konsep negara yang memberdayakan yang
dianut konstitusi kita, yang mengedepankan kerja sama antara negara, pasar
(swasta), dan masyarakat sipil guna menghasilkan produk yang diperlukan bagi
pemberdayaan rakyat.
Menurut
Pedro Costa Goncalves dari Universitas Coimbra, Portugal, dalam konsep negara
yang memberdayakan, negara wajib menjalankan tugas-tugas berikut. Pertama,
memastikan pembagian jasa-jasa esensial di bidang energi, air, pengelolaan
limbah, telekomunikasi, pengangkutan, penyiaran, dan pos. Kedua, memastikan
dan melindungi hak para pengguna jasa-jasa esensial. Ketiga, memastikan
perlindungan dan pemajuan persaingan.
Keempat,
memastikan keseimbangan yang adil dan efisien antara kepentingan publik dan
kepentingan privat. Kelima, memastikan dan memercayai solusi pasar yang
dipromosikan negara, seperti sertifikasi jasa oleh pihak swasta di berbagai
bidang, antara lain produk makanan organik, keamanan produk industri dan
mesin, serta perlindungan kualitas lingkungan. Keenam, menjamin dan
melindungi aset publik lainnya, misalnya keselamatan, kesehatan, dan
pekerjaan.
Dengan
demikian, negara harus mengembangkan standar regulasi yang mampu mengawal
pelaksanaan tugas-tugas negara tersebut. Demikian Pedro Costa Goncalves.
Dalam rangka pelaksanaan konsep negara yang memberdayakan sebagaimana terukir
dalam alinea IV Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945, pemerintah Jokowi diharapkan
menjalankan kebijakan ekonomi dan hukum. Pada satu sisi, itu mengundang
kepercayaan dan gairah aktor di pasar untuk bekerja sama dengan pemerintah
dalam menghasilkan produk yang dibutuhkan publik. Di sisi lain, itu
meniscayakan tercapainya tujuan diadakannya kerja sama publik-privat:
ketersediaan, keterjangkauan, aksesibilitas bagi publik, dan berkualitas.
Pemerintah Jokowi perlu mengevaluasi melalui prosedur yang transparan
berbagai bentuk kerja sama publik-privat yang sudah berjalan dalam pengadaan
produk yang diperlukan rakyat. Melalui pelaksanaan negara pemberdaya,
diharapkan Nawa Cita mampu menghadirkan negara untuk memberdayakan rakyat. Selamat bekerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar