Mencari Rumusan
Pembangunan Pesisir Jakarta
Etty Riani ; Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan,
FPIK, IPB
|
KOMPAS,
24 November 2014
PEMBANGUNAN Jakarta sebagai
pusat pemerintahan dan pusat ekonomi telah melesat jauh meninggalkan semua
kota di Indonesia. Seperti pepatah ”ada gula ada semut”, Jakarta menjadi
magnet luar biasa yang menyedot orang-orang datang. Bahkan, dalam kondisi
yang sangat melarat pun mereka akan bertahan di Jakarta.
Jumlah penduduk yang membeludak
membuat Jakarta semakin tidak nyaman karena jumlah sarana dan prasarana
semakin tidak memadai. Pencemaran terjadi di mana-mana, ditambah pencemaran
hasil berbagai kegiatan sepanjang daerah aliran sungai yang masuk ke wilayah
DKI Jakarta melalui 13 sungai. Belum lagi hilangnya ruang terbuka hijau,
ruang terbuka biru (danau, situ, embung), intrusi air laut, dan berbagai
kekacauan tata guna lahan lainnya.
Maka, pelan tapi pasti,
permukaan tanah di Jakarta semakin turun di sejumlah titik di Jakarta. Jika
didiamkan, Jakarta akan tinggal kenangan, tergenang oleh air dari hulu dan
rob dari laut. Oleh karena itu muncul pemikiran membangun giant sea wall (tanggul laut) untuk
melanggengkan DKI Jakarta. Namun, pembangunan tanggul laut yang diperluas
menjadi Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (NCICD) dapat
memunculkan masalah baru jika tidak ditangani dengan sangat hati-hati dan
tidak mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Tidak mudah
Pembangunan NCICD tentu tidak
sapu jagat. Menghadang banjir dari laut dan dari hulu dengan tanggul laut
secara parsial mungkin bisa. Namun, ketika berubah menjadi NCICD, belum tentu
masalah terselesaikan. Memang tidak semudah membalik tangan karena di balik proyek
raksasa dengan pembangunan yang masif, pasti ada dampak negatifnya.
Pembangunan NCICD bagai makan buah simalakama, tidak dilakukan mungkin
Jakarta tenggelam dan dilakukan mungkin menimbulkan masalah sosial dan
lingkungan yang berkepanjangan.
Sebagai penganut konsep
pembangunan berkelanjutan, Pemerintah Indonesia perlu memaksimalkan
manfaatnya pada aspek sosial dan meminimalkan kerusakan lingkungan. Oleh
karena itu, sangat wajar jika banyak yang mempertanyakan dokumen lingkungan
yang hingga saat ini belum kunjung ada (Kompas,
11/10/2014).
Bisa jadi DKI akan kedodoran
menghadapi pembangunan sosial karena masalah sosial yang dihadapi masyarakat
pesisir, terutama nelayan tradisional (one
day fishing), cukup pelik. NCICD akan sangat menyulitkan kegiatan nelayan
menangkap ikan karena mereka harus direlokasi dan kehilangan fishing ground. Relokasi juga tidak
mudah karena di hampir semua wilayah pesisir sudah terdapat banyak nelayan
sehingga berpotensi memunculkan konflik.
Tawaran untuk alih fungsi
profesi juga tidak mungkin dilakukan mengingat nelayan DKI Jakarta dengan
pendidikan sangat rendah (rata-rata tidak lulus SD) tidak mempunyai
kompetensi lain, selain menangkap ikan. Padahal, nelayan DKI adalah tulang
punggung keluarga sehingga jika kegiatan melaut hilang, periuk nasi keluarga
juga hancur berantakan. Dampaknya adalah kerawanan sosial.
Awal pembangunan NCICD diduga
akan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar mengingat banyaknya
bangunan dan lahan yang digusur. Sebut saja Pelabuhan Muara Baru yang di
dalamnya sarat dengan kegiatan ekonomi, mulai dari pedagang kelas teri hingga
eksportir, mulai dari industri rumahan hingga industri besar, mulai dari
pekerja kasar hingga pekerja berdasi. Semua tumplak di lokasi tersebut.
Pembangunan NCICD juga akan melumpuhkan
kegiatan ekonomi pesisir. Oleh karena itu, pembangunan NCICD harus dilakukan
dengan sangat hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek secara detail dan
teliti, dengan meninggalkan egoisme sektoral, melibatkan semua kementerian,
semua stakeholder dan shareholder, tanpa ada yang terlewat.
Sekali lagi, proyek raksasa ini perlu ditimbang ulang agar tidak sekadar
menjadi buah simalakama, tetapi juga merupakan implementasi pembangunan
berkelanjutan dan sekaligus mengimplementasikan konsep blue economy yang memperhatikan lingkungan seperti keinginan
Jokowi, sekaligus memperhatikan pertumbuhan ekonomi, serapan tenaga kerja,
investasi, dan sistem produksi bersih, sehingga seluruh masyarakat dapat
merasakan adanya kemakmuran yang berkeadilan.
Masalah lingkungan
Pembangunan NCICD juga akan
memunculkan masalah lingkungan yang cukup pelik karena akan banyak ekosistem
yang menjadi korban, seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang.
Padahal, ketiga ekosistem tersebut penentu produksi perikanan karena berperan
sebagai spawning ground, nursery ground, dan feeding ground. Kehilangan itu
semua akan berdampak pada sangat berkurangnya hasil tangkapan nelayan.
Mangrove dan lamun juga
merupakan penangkap karbon yang andal melebihi hutan darat sehingga kehilangannya
dapat membuat pemerintah tidak mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca
sebesar 26 persen tanpa bantuan asing.
Oleh
karena itu, dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan banyak pekerjaan
rumah yang harus dikerjakan. Di antaranya merelokasi nelayan tradisional ke
tempat baru yang tidak berpotensi konflik, memperhitungkan daya dukung lahan
dan lingkungan serta kecukupan sarana dan prasarana nelayan, membuatkan fishing ground baru dengan memasang
rumpon, menanam mangrove, lamun, dan transplantasi karang, selain juga
mempertahankan wilayah-wilayah spawning
ground, nursery ground, dan feeding
ground yang sudah ada.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar