Selasa, 25 November 2014

Mencari Rumusan Pembangunan Pesisir Jakarta

       Mencari Rumusan Pembangunan Pesisir Jakarta

Etty Riani  ;   Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK, IPB
KOMPAS,  24 November 2014

                                                                                                                       


PEMBANGUNAN Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi telah melesat jauh meninggalkan semua kota di Indonesia. Seperti pepatah ”ada gula ada semut”, Jakarta menjadi magnet luar biasa yang menyedot orang-orang datang. Bahkan, dalam kondisi yang sangat melarat pun mereka akan bertahan di Jakarta.

Jumlah penduduk yang membeludak membuat Jakarta semakin tidak nyaman karena jumlah sarana dan prasarana semakin tidak memadai. Pencemaran terjadi di mana-mana, ditambah pencemaran hasil berbagai kegiatan sepanjang daerah aliran sungai yang masuk ke wilayah DKI Jakarta melalui 13 sungai. Belum lagi hilangnya ruang terbuka hijau, ruang terbuka biru (danau, situ, embung), intrusi air laut, dan berbagai kekacauan tata guna lahan lainnya.

Maka, pelan tapi pasti, permukaan tanah di Jakarta semakin turun di sejumlah titik di Jakarta. Jika didiamkan, Jakarta akan tinggal kenangan, tergenang oleh air dari hulu dan rob dari laut. Oleh karena itu muncul pemikiran membangun giant sea wall (tanggul laut) untuk melanggengkan DKI Jakarta. Namun, pembangunan tanggul laut yang diperluas menjadi Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (NCICD) dapat memunculkan masalah baru jika tidak ditangani dengan sangat hati-hati dan tidak mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Tidak mudah

Pembangunan NCICD tentu tidak sapu jagat. Menghadang banjir dari laut dan dari hulu dengan tanggul laut secara parsial mungkin bisa. Namun, ketika berubah menjadi NCICD, belum tentu masalah terselesaikan. Memang tidak semudah membalik tangan karena di balik proyek raksasa dengan pembangunan yang masif, pasti ada dampak negatifnya. Pembangunan NCICD bagai makan buah simalakama, tidak dilakukan mungkin Jakarta tenggelam dan dilakukan mungkin menimbulkan masalah sosial dan lingkungan yang berkepanjangan.

Sebagai penganut konsep pembangunan berkelanjutan, Pemerintah Indonesia perlu memaksimalkan manfaatnya pada aspek sosial dan meminimalkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, sangat wajar jika banyak yang mempertanyakan dokumen lingkungan yang hingga saat ini belum kunjung ada (Kompas, 11/10/2014).

Bisa jadi DKI akan kedodoran menghadapi pembangunan sosial karena masalah sosial yang dihadapi masyarakat pesisir, terutama nelayan tradisional (one day fishing), cukup pelik. NCICD akan sangat menyulitkan kegiatan nelayan menangkap ikan karena mereka harus direlokasi dan kehilangan fishing ground. Relokasi juga tidak mudah karena di hampir semua wilayah pesisir sudah terdapat banyak nelayan sehingga berpotensi memunculkan konflik.

Tawaran untuk alih fungsi profesi juga tidak mungkin dilakukan mengingat nelayan DKI Jakarta dengan pendidikan sangat rendah (rata-rata tidak lulus SD) tidak mempunyai kompetensi lain, selain menangkap ikan. Padahal, nelayan DKI adalah tulang punggung keluarga sehingga jika kegiatan melaut hilang, periuk nasi keluarga juga hancur berantakan. Dampaknya adalah kerawanan sosial.

Awal pembangunan NCICD diduga akan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar mengingat banyaknya bangunan dan lahan yang digusur. Sebut saja Pelabuhan Muara Baru yang di dalamnya sarat dengan kegiatan ekonomi, mulai dari pedagang kelas teri hingga eksportir, mulai dari industri rumahan hingga industri besar, mulai dari pekerja kasar hingga pekerja berdasi. Semua tumplak di lokasi tersebut.

Pembangunan NCICD juga akan melumpuhkan kegiatan ekonomi pesisir. Oleh karena itu, pembangunan NCICD harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek secara detail dan teliti, dengan meninggalkan egoisme sektoral, melibatkan semua kementerian, semua stakeholder dan shareholder, tanpa ada yang terlewat. Sekali lagi, proyek raksasa ini perlu ditimbang ulang agar tidak sekadar menjadi buah simalakama, tetapi juga merupakan implementasi pembangunan berkelanjutan dan sekaligus mengimplementasikan konsep blue economy yang memperhatikan lingkungan seperti keinginan Jokowi, sekaligus memperhatikan pertumbuhan ekonomi, serapan tenaga kerja, investasi, dan sistem produksi bersih, sehingga seluruh masyarakat dapat merasakan adanya kemakmuran yang berkeadilan.

Masalah lingkungan

Pembangunan NCICD juga akan memunculkan masalah lingkungan yang cukup pelik karena akan banyak ekosistem yang menjadi korban, seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Padahal, ketiga ekosistem tersebut penentu produksi perikanan karena berperan sebagai spawning ground, nursery ground, dan feeding ground. Kehilangan itu semua akan berdampak pada sangat berkurangnya hasil tangkapan nelayan.

Mangrove dan lamun juga merupakan penangkap karbon yang andal melebihi hutan darat sehingga kehilangannya dapat membuat pemerintah tidak mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen tanpa bantuan asing.
Oleh karena itu, dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Di antaranya merelokasi nelayan tradisional ke tempat baru yang tidak berpotensi konflik, memperhitungkan daya dukung lahan dan lingkungan serta kecukupan sarana dan prasarana nelayan, membuatkan fishing ground baru dengan memasang rumpon, menanam mangrove, lamun, dan transplantasi karang, selain juga mempertahankan wilayah-wilayah spawning ground, nursery ground, dan feeding ground yang sudah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar