Memaknai
Surat Edaran Presiden Jokowi
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat
Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 26 November 2014
PEMBELAHAN kekuatan politik DPR
periode 2014 2019 ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) telah menimbulkan implikasi luas dan serius. Tidak hanya
menyangkut soal disharmonisasi hubungan internal kedua kekuatan politik
dimaksud, tetapi juga merembes ke jajaran pemerintah (eksekutif ) di bawah
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Paling tidak, sampai saat ini, pola hubungan
kemitraan menteri-menteri dan komisi masih belum bisa dilaksanakan.
Misalnya, rencana pertemuan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly (3/11) lalu batal dilaksanakan. Alasan
yang muncul ke permukaan, Yasonna belum bersedia memenuhi undangan DPR karena
situasi politik internal DPR belum kondusif. Begitu pula dengan Menteri
Kesehatan Nilla Moeloek (10/11), karena alasan yang barangkali tidak jauh
berbeda. Di tengah ketidakjelasan pelaksanaan hubungan kemitraan tersebut,
Presiden Jokowi menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-12/Seskab/XI/2014.
Substansi surat edaran tersebut ialah menginstruksikan kepada para menteri,
Panglima TNI, Kapolri, kepala staf angkatan, Kepala BIN, dan Jaksa Agung
untuk menunda pertemuan dengan DPR, baik dengan pimpinan maupun dengan alat
kelengkapan DPR, guna memberi kesempatan kepada DPR melakukan konsolidasi
secara internal (Media Indonesia, 25/11).
Sontak, surat edaran tersebut
menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Bagi kalangan yang setuju dengan
Presiden Jokowi, menilai langkah tersebut sebagai sesuatu yang harus
dilakukan. Yang kontra berpendapat, langkah tersebut potensial memperburuk
hubungan antara pemerintah dan DPR. Apalagi, sejak selesai pemilihan presiden
dan wakil presiden mayoritas kekuatan politik di DPR berseberangan dengan
kubu Presiden Jokowi.
Pertanyaan mendasar yang patut
dikemukakan; bagaimana menjelaskan surat edaran Presiden Jokowi itu dalam
konteks hubungan antara DPR dan pemerintah? Atau, lebih jauh lagi, bagaimana
menjelaskan semua ini dalam konteks desain sistem presidensial yang dianut di
Indonesia?
Relasi presiden-DPR
Secara karakter, pola relasi
antara presiden dan DPR ialah hubungan yang tarik-
ulur. Oleh karena itu,
semakin sering terjadi persentuhan kewenangan keduanya, semakin terbuka ruang
untuk terjadi ketegangan. Meskipun secara teoretis telah dikemukakan banyak
ahli ihwal potensi ketegangan tersebut, sebagaimana ditulis dalam ‘Mengelola
Hubungan Presiden-DPR’ (Media Indonesia, 13/10), hasil perubahan UUD 1945
justru makin memperbanyak titik singgung kedua lembaga ini. Tidak hanya di
level konstitusi, titik singgung tersebut juga muncul dalam sejumlah
undang-undang.
Pada level konstitusi, misalnya,
dalam fungsi legislasi, keterlibatan presiden dan DPR tidak mungkin
dihindarkan. Dalam hal ini, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan rancangan
undang-undang memerlukan pembahasan dan persetujuan bersama antara presiden
dan DPR. Selain itu, sejumlah agenda penyelenggaraan negara lain juga
memerlukan ‘persetujuan’ dan ‘pertimbangan’ DPR.
Sementara itu, di level undang-undang,
banyak pula persinggungan kewenangan kedua lembaga yang tidak mungkin untuk
dihindarkan. Salah satu contohnya, untuk mengisi pimpinan KPK, hasil seleksi
yang dilakukan panitia seleksi yang dibentuk presiden masih memerlukan proses
fit and proper test di DPR.
Tiga Makna
Dari gambaran persentuhan
kewenangan tersebut, sebagian kalangan mungkin akan berpandangan bahwa
langkah Presiden mengeluarkan surat edaran sebagai pilihan penuh risiko.
Namun, dalam posisi sebagai kepala pemerintahan, penerbitan tersebut memiliki
logika konstitusional yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari aspek hukum tata
negara, UUD 1945 telah menegaskan pola hubungan antara presiden dan menteri
negara. Dalam hal ini, Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 menyatakan presiden dibantu
menteri negara. Sebagai atasan menteri, tentu saja Presiden mempunyai
pertimbangan sangat mendasar untuk sementara waktu menunda pertemuan dengan
DPR.
Pertama, bila dilihat dari
perspektif kekuasaan eksekutif, sebagai kepala pemerintah, presiden merupakan
pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden tak sekadar memilih
anggota kabinet, tetapi juga punya peran sentral dalam pengambilan keputusan
di kabinet. Karena menteri merupakan perpanjangan tangan presiden untuk
menjalankan urusan tertentu, tentu saja Presiden Jokowi tidak ingin
meneruskan hubungan sementara waktu sampai terjadi penyelesaian secara
permanen di DPR sebagai mitra pemerintah.
Kedua, surat edaran Presiden
Jokowi kepada para menteri harus dilihat sebagai antisipasi untuk menghadapi
segala kemungkinan yang terkait dengan segala keputusan yang diambil kedua
pihak dalam kondisi DPR yang masih bermasalah. Sekiranya pertemuan kedua
pihak mengambil keputusan yang strategis, lalu di kemudian hari dipersoalkan
pihak yang dirugikan, pemerintah jadi pihak yang paling memiliki tanggung
jawab besar.
Ketiga, secara positif,
penerbitan surat edaran itu seharusnya dibaca semua kekuatan politik di DPR
sebagai cara halus Presiden Jokowi guna mendorong penyelesaian secara cepat
di internal DPR. Dengan kondisi DPR yang terbelah seperti saat ini, membuat
pemerintah seperti memakan buah simalakama. Pada salah satu sisi banyak
agenda pemerintah yang harus didiskusikan dengan mitra mereka di DPR. Namun,
di sisi lain, kondisi perpecahan di DPR membuat pemerintah harus berhadapan
dengan mitra yang terbelah. Padahal, desain sistem presidensial setelah
perubahan UUD 1945 memerlukan keutuhan kekuatan politik di DPR.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, surat edaran Presiden Jokowi semestinya dapat dibaca
dalam tiga makna tersebut. Apalagi, dalam sistem presidensial, presiden tidak
hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif, tetapi juga pusat kekuasaan negara.
Itulah sebabnya rentang kekuasaan presiden menyentuh wilayah kekuasaan lain
di luar eksekutif. Dalam hal ini, Douglas Verney (1992) menyatakan meski
dalam sistem presidensial tidak satu pun lembaga negara yang menjadi fokus
kekuasaan, peran dan karakter individu presiden lebih menonjol daripada peran
kelompok, organisasi, atau partai politik yang ada dalam negara. Pelaksanaan
hubungan tersebut tidak mungkin diteruskan selama proses politik di internal
DPR masih terbelah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar