Jumat, 28 November 2014

Memaknai Surat Edaran Presiden Jokowi

                 Memaknai Surat Edaran Presiden Jokowi

Saldi Isra  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
MEDIA INDONESIA,  26 November 2014

                                                                                                                       


PEMBELAHAN kekuatan politik DPR periode 2014 2019 ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) telah menimbulkan implikasi luas dan serius. Tidak hanya menyangkut soal disharmonisasi hubungan internal kedua kekuatan politik dimaksud, tetapi juga merembes ke jajaran pemerintah (eksekutif ) di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Paling tidak, sampai saat ini, pola hubungan kemitraan menteri-menteri dan komisi masih belum bisa dilaksanakan.

Misalnya, rencana pertemuan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly (3/11) lalu batal dilaksanakan. Alasan yang muncul ke permukaan, Yasonna belum bersedia memenuhi undangan DPR karena situasi politik internal DPR belum kondusif. Begitu pula dengan Menteri Kesehatan Nilla Moeloek (10/11), karena alasan yang barangkali tidak jauh berbeda. Di tengah ketidakjelasan pelaksanaan hubungan kemitraan tersebut, Presiden Jokowi menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-12/Seskab/XI/2014. Substansi surat edaran tersebut ialah menginstruksikan kepada para menteri, Panglima TNI, Kapolri, kepala staf angkatan, Kepala BIN, dan Jaksa Agung untuk menunda pertemuan dengan DPR, baik dengan pimpinan maupun dengan alat kelengkapan DPR, guna memberi kesempatan kepada DPR melakukan konsolidasi secara internal (Media Indonesia, 25/11).

Sontak, surat edaran tersebut menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Bagi kalangan yang setuju dengan Presiden Jokowi, menilai langkah tersebut sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Yang kontra berpendapat, langkah tersebut potensial memperburuk hubungan antara pemerintah dan DPR. Apalagi, sejak selesai pemilihan presiden dan wakil presiden mayoritas kekuatan politik di DPR berseberangan dengan kubu Presiden Jokowi.

Pertanyaan mendasar yang patut dikemukakan; bagaimana menjelaskan surat edaran Presiden Jokowi itu dalam konteks hubungan antara DPR dan pemerintah? Atau, lebih jauh lagi, bagaimana menjelaskan semua ini dalam konteks desain sistem presidensial yang dianut di Indonesia?

Relasi presiden-DPR

Secara karakter, pola relasi antara presiden dan DPR ialah hubungan yang tarik-
ulur. Oleh karena itu, semakin sering terjadi persentuhan kewenangan keduanya, semakin terbuka ruang untuk terjadi ketegangan. Meskipun secara teoretis telah dikemukakan banyak ahli ihwal potensi ketegangan tersebut, sebagaimana ditulis dalam ‘Mengelola Hubungan Presiden-DPR’ (Media Indonesia, 13/10), hasil perubahan UUD 1945 justru makin memperbanyak titik singgung kedua lembaga ini. Tidak hanya di level konstitusi, titik singgung tersebut juga muncul dalam sejumlah undang-undang.

Pada level konstitusi, misalnya, dalam fungsi legislasi, keterlibatan presiden dan DPR tidak mungkin dihindarkan. Dalam hal ini, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan rancangan undang-undang memerlukan pembahasan dan persetujuan bersama antara presiden dan DPR. Selain itu, sejumlah agenda penyelenggaraan negara lain juga memerlukan ‘persetujuan’ dan ‘pertimbangan’ DPR.

Sementara itu, di level undang-undang, banyak pula persinggungan kewenangan kedua lembaga yang tidak mungkin untuk dihindarkan. Salah satu contohnya, untuk mengisi pimpinan KPK, hasil seleksi yang dilakukan panitia seleksi yang dibentuk presiden masih memerlukan proses fit and proper test di DPR.

Tiga Makna

Dari gambaran persentuhan kewenangan tersebut, sebagian kalangan mungkin akan berpandangan bahwa langkah Presiden mengeluarkan surat edaran sebagai pilihan penuh risiko. Namun, dalam posisi sebagai kepala pemerintahan, penerbitan tersebut memiliki logika konstitusional yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari aspek hukum tata negara, UUD 1945 telah menegaskan pola hubungan antara presiden dan menteri negara. Dalam hal ini, Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 menyatakan presiden dibantu menteri negara. Sebagai atasan menteri, tentu saja Presiden mempunyai pertimbangan sangat mendasar untuk sementara waktu menunda pertemuan dengan DPR.

Pertama, bila dilihat dari perspektif kekuasaan eksekutif, sebagai kepala pemerintah, presiden merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden tak sekadar memilih anggota kabinet, tetapi juga punya peran sentral dalam pengambilan keputusan di kabinet. Karena menteri merupakan perpanjangan tangan presiden untuk menjalankan urusan tertentu, tentu saja Presiden Jokowi tidak ingin meneruskan hubungan sementara waktu sampai terjadi penyelesaian secara permanen di DPR sebagai mitra pemerintah.

Kedua, surat edaran Presiden Jokowi kepada para menteri harus dilihat sebagai antisipasi untuk menghadapi segala kemungkinan yang terkait dengan segala keputusan yang diambil kedua pihak dalam kondisi DPR yang masih bermasalah. Sekiranya pertemuan kedua pihak mengambil keputusan yang strategis, lalu di kemudian hari dipersoalkan pihak yang dirugikan, pemerintah jadi pihak yang paling memiliki tanggung jawab besar.

Ketiga, secara positif, penerbitan surat edaran itu seharusnya dibaca semua kekuatan politik di DPR sebagai cara halus Presiden Jokowi guna mendorong penyelesaian secara cepat di internal DPR. Dengan kondisi DPR yang terbelah seperti saat ini, membuat pemerintah seperti memakan buah simalakama. Pada salah satu sisi banyak agenda pemerintah yang harus didiskusikan dengan mitra mereka di DPR. Namun, di sisi lain, kondisi perpecahan di DPR membuat pemerintah harus berhadapan dengan mitra yang terbelah. Padahal, desain sistem presidensial setelah perubahan UUD 1945 memerlukan keutuhan kekuatan politik di DPR.

Berdasarkan penjelasan tersebut, surat edaran Presiden Jokowi semestinya dapat dibaca dalam tiga makna tersebut. Apalagi, dalam sistem presidensial, presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif, tetapi juga pusat kekuasaan negara. Itulah sebabnya rentang kekuasaan presiden menyentuh wilayah kekuasaan lain di luar eksekutif. Dalam hal ini, Douglas Verney (1992) menyatakan meski dalam sistem presidensial tidak satu pun lembaga negara yang menjadi fokus kekuasaan, peran dan karakter individu presiden lebih menonjol daripada peran kelompok, organisasi, atau partai politik yang ada dalam negara. Pelaksanaan hubungan tersebut tidak mungkin diteruskan selama proses politik di internal DPR masih terbelah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar