Guruku
Pahlawanku
Edi Sugianto ; Pengamat Pendidikan
|
REPUBLIKA,
26 November 2014
"Peran kaum guru dalam perubahan, seperti
keberadaan nabi-nabi tanpa senjata." (Niccolo
Machiavelli, filosof Italia: 1456-1527).
Tanggal
25 November terasa milik semua guru. Profesi guru merupakan suatu kemuliaan
dan kebanggaan tersendiri. Sebab, guru mengemban peran strategis dan menjadi
tumpuan perubahan nasib bangsa.
Peran
terbesar guru adalah transformer sosial, perumus dan artikulator bagi
problematika kehidupan kebangsaan, bahkan kemanusiaan universal. Maka fungsi
melayani, mengajar, menginspirasi anak-anak bangsa menjadi prioritas utama.
Saat ini
masyarakat semakin memberhalakan harta dan jabatan, hidup dengan
kepentingan-kepentingan individual tanpa peduli sesama. Kekerasan berlabel
sara sudah tak terhitung jumlahnya. Lalu apa solusinya? Menurut para filosof,
"pendidikanlah" senjata paling ampuh untuk menepis serangan radikalisme,
hedonisme, dan eksklusivisme semacam itu.
Pendidikan
sebagai sarana humanisasi diharapakan mampu melahirkan wakil-wakil (khalifah)
Tuhan untuk mengatur alam semesta dan peradabannya. Tentu peradaban yang
selalu memihak pada kebenaran, keadilan, melawan kebatilan, kesenjangan,
kebodohan, dan keserakahan (korupsi), serta menghapus hukum rimba, seperti
yang dikatakan Thomas Hobbes (1588- 1679), manusia adalah pemangsa manusia
lainnya, "homo homini lupus". Kemudian diganti dengan "homo
homini socius", manusia adalah adalah sahabat bagi sesama.
Kehadiran
kaum guru, sejatinya seperti diutusnya para pahlawan ke muka bumi. Sebagai
penyelamat dari belenggu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan di
atas. Lalu, apa saja tugas guru dalam menyelamatkan (salvation) manusia dari kehancuran dan kebinasaan?
Peran strategis
Pertama,
guru yang baik akan selalu menjadi pelita (rahmat) bagi alam semesta.
"Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam." (QS 21:107).
Rahmat
artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Atau dengan kata lain rahmat
dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, guru harus mendidik murid-muridnya
dengan kasih sayang. Sebagaimana Tuhan mengutus para nabi kepada seluruh
manusia sebagai bentuk kasih sayang-Nya yang terbesar.
Pendidikan
harus dilakukan dengan proses lemah lembut dan kasih sayang. Ketika murid
telah mencintai gurunya, maka proses komunikasi akan berjalan dengan baik dan
harmonis. Apabila kenyamanan berkomunikasi sudah terjalin, maka transmisi
pengetahuan dan nilai serta internalisasi karakter pun mudah melekat pada
jiwa anak.
Mendidik
anak dengan cinta tidaklah mudah. Diperlukan kesabaran dan ketelatenan yang
tinggi. Namun, bukan berarti dengan kesulitan itu lantas guru seenaknya saja.
Diperlukan strategi khusus untuk melakukan itu. Misalnya, dengan melihat
kemampuan dan potensi siswanya dengan baik, fleksibel, dan tidak terlalu
protektif kepada anak. Pun pembelajaran yang dilakukan harus rileks dan
menyenangkan (joyful study).
E
Handayani Tyas (2013) mengatakan, guru diharapkan dapat menjadi pendidik yang
memenuhi tiga kunci, yakni dasar pendidikannya adalah kasih sayang, syarat
teknisnya adalah saling percaya, dan syarat mutlaknya adalah kewibawaan.
Pendidikan
yang dilakukan dengan kasih sayang akan melahirkan pengasih-pengasih selanjutnya,
generasi yang peka dengan keadaan sosial, demokratis, inklusif, toleran,
penuh persaudaraan dan perdamaian. Bukan generasi angkuh, egois, dan radikal.
Kedua,
guru memberikan petunjuk ke jalan yang benar. "Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada
suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan."
(QS 35:24).
Salah
satu tugas guru adalah sebagai mursyid, yakni pembimbing ke arah kebaikan,
penuntun ke jalan hidup yang benar. Syarat untuk menjadi guru yang mursyid
adalah harus memiliki wawasan luas tentang berbagai disiplin ilmu, memiliki
kejernihan hati, sikap kesederhanaan dan ikhlas.
Mursyid
dalam ilmu tasawuf biasanya disematkan kepada guru sufi, yaitu orang yang
ahli memberi petunjuk dalam bidang kebatinan. Para mursyid dianggap golongan
pewaris para nabi dalam bidang penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs).
Dengan
peran mursyidnya, guru diharapkan mampu mencetak manusia yang memiliki hati,
sifat, ucapan, dan perilaku yang bersih dan suci. Bersih dari kedengkian,
ketamakan harta, pemujaan jabatan, dan korupsi.
Ketiga,
guru memberi peringatan kepada murid-murid dan masyarakat. "Dan tidaklah Kami mengutus para
rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan.
Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS 6:48)
Guru
adalah kaum intelektual yang membantu murid-muridnya untuk mencapai tujuan
pendidikan dan kebenaran sejati. Namun perlu diingat, guru juga manusia
biasa, bukan malaikat. Seperti nabi yang hanya sebagai penyampai pesan dan
pemberi peringatan bagi kaumnya.
Proses
belajar-mengajar harus dilakukan tanpa unsur paksaan. Memaksakan kehendak
anak didik dalam belajar tak akan memberi bekas sedikit pun bagi
perkembangannya. Seperti dakwah para nabi kepada umatnya yang dilakukan
dengan pendekatan persuasif tanpa paksaan, apalagi kekerasan. Dakwah pada
hakikatnya meyakinkan manusia agar selalu berjalan dalam koridor kebenaran.
Dakwah bukan mencerca, mengejek, mengancam, atau bahkan meneror.
Keempat,
guru menjadi teladan yang baik. "Sesungguhnya
aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak." (HR Ahmad).
Salah satu faktor penting keberhasilan para Nabi dalam mendidik dan
membimbing umatnya, sebelum berdakwah mereka telah menjadi living model (teladan). Mereka adalah
orang-orang pertama yang melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi
larangan-Nya. Dengan itu umat pun mudah mengamalkan dan meniru ajarannya.
Sesuatu
yang akan membingungkan murid bila ucapan guru dan perilakunya berbeda.
Murid-murid tak tahu siapa yang harus dicontoh, dan apa arti dari keluhuran
budi dan kemuliaan akhlak. (Syafi’i
Antonio, 2009: 195).
Akhir kata, guru sebagai pahlawan dan pewaris para Nabi memiliki peran
besar dalam pencerdasan, pencerahan, dan penyelamat bangsa dari keterpurukan
moral manusia yang gila harta, pemuja jabatan, wanita, dan korupsi. Selamat Hari Guru! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar