Jumat, 14 November 2014

Wacana Pengosongan Kolom Agama

                         Wacana Pengosongan Kolom Agama

Mohammad Takdir Ilahi ;   Mahasiswa Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Staf Riset The Mukti Ali Institute Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  13 November 2014

                                                                                                                       


Wacana pengosongan kolom agama di KTP memunculkan perdebatan di masyarakat luas. Perdebatan ini terkait kebebasan beragama bagi aliran kepercayaan yang tidak diakui sebagai bagian agama resmi di Indonesia. Langkah pengosongan kolom agama bagi kelompok aliran kepercayaan merupakan cermin kebebasan dan penghargaan yang patut diapresiasi semua kalangan.

Tidak heran bila wacana pengosongan kolom agama di KTP menjadi berita menggembirakan bagi penganut agama dan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, di luar enam agama yang diakui resmi oleh negara atau pemerintah. Hanya penduduk Indonesia yang beragama Konghucu, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan Islam yang diwajibkan mencantumkan agama dalam KTP mereka.

Sebelumnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mencantumkan kolom agama di kartu identitas. Sebagai perbandingan, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam merupakan negara berdasarkan agama saja tidak mencantumkan agama dalam KTP. Alasan kepentingan pencantuman agama di KTP adalah untuk mengetahui orang yang meninggal akan dimakamkan sesuai agamanya masing-masing. Padahal, kolom agama dalam kartu identitas tidak terlalu penting.

Setelah sekian lama mengalami penindasan dan dikriminasi pemerintah, komunitas adat dan penghayat kepercayaan menyambut baik rencana penghapusan kolom agama di KTP. Peraturan tentang penghapusan kolom agama di KTP dimuat dan disahkan dalam Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan yang disahkan pada 26 November 2013.

Perjuangan Berat

Meski demikian, langkah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menghapus kolom agama di KTP tidak berangkat dari ruang kosong, atau tanpa perjuangan dari pihak-pihak yang merasa tertindas secara identitas. Keputusan ini berangkat dari desakan komunitas adat dan penghayat kepercayaan melalui rekomendasi Kongres Nasional Kepercayaan terhadap Tuhan YME, yang digelar di Surabaya sejak 25 November.

Selain menghapus kolom agama dalam KTP, kongres merekomendasikan pelajaran budi pekerti untuk masuk kurikulum pendidikan, serta mendesak DPR menyusun UU Perlindungan Penghayat Kepercayaan.

Perjuangan komunitas adat dan penghayat kepercayaan memang begitu berdarah-darah, setelah sekian lama mengalami ketertindasan dari penguasa yang kurang mengakomodasi aspirasi mereka. Apalagi, desakan itu dilatarbelakangi banyaknya tindakan diskriminasi kepada para penghayat kepercayaan yang dipaksa mengisi kolom agama dengan agama tertentu. Padahal, di kolom KTP hanya tercantum enam agama, sedangkan kolom untuk penghayat kepercayaan tidak ada.

Bahkan perjuangan Konghucu untuk diakui sebagai agama resmi negara begitu memilukan dan selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masa Orde Baru. Rezim ini menorehkan “takdir buruk” dengan mencabut mandat dan secara sepihak agama ini dianggap sebagai Buddha, serta dipaksa menerima “penganggapan” itu sebagai kebenaran.

Perlakuan terhadap umat Konghucu, yang 100 persen merupakan etnis Tionghoa, tidak hanya sebatas membudahkan mereka, tapi juga memaksa mereka membekukan semua aspek budaya, termasuk nama harus diganti (Burhanuddin Daya, 2004).

Cermin Kebebasan Beragama

Lalu apa makna penghapusan kolom agama di KTP di luar enam agama bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Apakah keputusan ini benar-benar memberikan ruang kebebasan dan keberpihakan bagi komunitas adat dan penghayat kepercayaan yang tidak diakui sebagai bagian dari agama resmi? Jika memang demikian, mengapa penganut agama Shinto, Kejawen, Syiah, Yahudi, Sikh, atau penghayat kepercayaan tidak diakui secara resmi sebagai agama negara?

Saya memaknai langkah penghapusan kolom agama di KTP di luar enam agama merupakan angin segar dan memberikan harapan akan terhapusnya pemaksaan bagi seseorang untuk memilih agama tertentu sesuai agama resmi yang diakui negara. Di tengah iklim demokrasi seperti sekarang, pengakuan terhadap penghayat kepercayaan menjadi keniscayaan yang perlu diperjuangkan.  Bagaimanapun, mereka juga memiliki hak dan kebebasan untuk memilih agama sesuai keyakinan masing-masing.

Perjuangan yang begitu melelahkan ini akhirnya berhasil diwujudkan walaupun gagasan menghapus kolom agama di KTP sudah bergulir sejak lama. Melalui berbagai desakan, pengakuan terhadap penghayat kepercayaan yang selalu termarginalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar menuai hasil, setelah pemerintah bersama DPR memberikan perlindungan  penuh kepada aliran dan penghayat kepercayaan.

Bagi saya, penghapusan kolom agama dapat dipahami sebagai penegasian terhadap perlakuan diskriminatif dari sudut pandang aliran kepercayaan yang sekian lama selalu tersudutkan.

Menghapus diskriminasi adalah bagian perjuangan hak asasi manusia yang terbelenggu hegemoni penguasa, termasuk menghapus kolom agama dalam KTP. Ini karena masalah agama adalah domain pribadi yang tidak boleh diintervensi negara secara terlalu jauh.

Terkait kebebasan beragama yang terbelenggu rezim penguasa, Jose Casanova (1994) dalam Public Religion in the Modern World menegaskan, negara tidak boleh memasuki wilayah privat, demikian pula dengan identitas keagamaan atau kepercayaan yang tidak boleh hadir di wilayah publik.

Jika suatu negara mengurusi kepercayaan warganya, bahkan memaksakan diri mencantumkan salah satu agama tertentu, berarti negara telah bersikap diskriminatif karena telah mencampuri urusan privat mereka.

Kebebasan beragama seharusnya tidak terbatas soal kebebasan memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing, namun juga kebebasan tidak memilih agama tertentu. Memang diakui ada batasan dalam melaksanakan hak atas kebebasan beragama. Namun, pembatasan itu hanya ditujukan bagi kebebasan yang berkaitan dengan masalah-masalah kriminalitas.
Karena itu, kolom agama di KTP di Indonesia disinyalir menjadi pemicu diskriminasi dan selalu panas sehingga harus dihapus.

Dengan penghapusan kolom agama di KTP, pemerintah mengizinkan dan mengakui semua agama dan kepercayaan di luar enam agama, untuk tidak mencantumkan agama dalam kartu identitas. Hal ini menjadi berita baik bagi orang beragama, atau tidak beragama, yang selalu mendapatkan ketidakadilan dari pemerintah. Nantinya iklim demokrasi yang sekian lama dijalankan benar-benar memberikan kebebasan total kepada semua pemeluk agama dan penghayat kepercayaan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar