Wacana
Pengosongan Kolom Agama
Mohammad Takdir Ilahi ; Mahasiswa Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Staf Riset The Mukti Ali Institute Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 13 November 2014
Wacana pengosongan kolom agama di KTP memunculkan perdebatan di
masyarakat luas. Perdebatan ini terkait kebebasan beragama bagi aliran
kepercayaan yang tidak diakui sebagai bagian agama resmi di Indonesia.
Langkah pengosongan kolom agama bagi kelompok aliran kepercayaan merupakan
cermin kebebasan dan penghargaan yang patut diapresiasi semua kalangan.
Tidak heran bila wacana pengosongan kolom agama di KTP menjadi berita
menggembirakan bagi penganut agama dan penghayat kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, di luar enam agama yang diakui resmi oleh negara atau
pemerintah. Hanya penduduk Indonesia yang beragama Konghucu, Hindu, Buddha,
Kristen, Katolik, dan Islam yang diwajibkan mencantumkan agama dalam KTP
mereka.
Sebelumnya,
Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mencantumkan kolom agama di kartu
identitas. Sebagai perbandingan, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam
merupakan negara berdasarkan agama saja tidak mencantumkan agama dalam KTP.
Alasan kepentingan pencantuman agama di KTP adalah untuk mengetahui orang
yang meninggal akan dimakamkan sesuai agamanya masing-masing. Padahal, kolom
agama dalam kartu identitas tidak terlalu penting.
Setelah sekian lama mengalami penindasan dan dikriminasi pemerintah,
komunitas adat dan penghayat kepercayaan menyambut baik rencana penghapusan kolom agama di KTP.
Peraturan tentang penghapusan kolom agama di KTP dimuat
dan disahkan dalam Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan yang disahkan
pada 26 November 2013.
Perjuangan
Berat
Meski demikian, langkah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menghapus
kolom agama di KTP tidak berangkat dari ruang kosong, atau tanpa perjuangan
dari pihak-pihak yang merasa tertindas secara identitas. Keputusan ini
berangkat dari desakan komunitas adat dan penghayat kepercayaan melalui
rekomendasi Kongres Nasional Kepercayaan terhadap Tuhan YME, yang digelar di
Surabaya sejak 25 November.
Selain menghapus kolom agama dalam KTP, kongres merekomendasikan
pelajaran budi pekerti untuk masuk kurikulum pendidikan, serta mendesak DPR
menyusun UU Perlindungan Penghayat Kepercayaan.
Perjuangan komunitas adat dan penghayat kepercayaan memang begitu
berdarah-darah, setelah sekian lama mengalami ketertindasan dari penguasa
yang kurang mengakomodasi aspirasi mereka. Apalagi, desakan itu
dilatarbelakangi banyaknya tindakan diskriminasi kepada para penghayat
kepercayaan yang dipaksa mengisi kolom agama dengan agama tertentu. Padahal,
di kolom KTP hanya tercantum enam agama, sedangkan kolom untuk penghayat
kepercayaan tidak ada.
Bahkan perjuangan Konghucu untuk diakui sebagai agama resmi negara
begitu memilukan dan selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masa
Orde Baru. Rezim ini menorehkan “takdir buruk” dengan mencabut mandat dan
secara sepihak agama ini dianggap sebagai Buddha, serta dipaksa menerima
“penganggapan” itu sebagai kebenaran.
Perlakuan terhadap umat Konghucu, yang 100 persen merupakan etnis
Tionghoa, tidak hanya sebatas membudahkan mereka, tapi juga memaksa mereka
membekukan semua aspek budaya, termasuk nama harus diganti (Burhanuddin Daya, 2004).
Cermin
Kebebasan Beragama
Lalu apa makna penghapusan kolom agama di KTP di luar enam agama bagi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Apakah keputusan ini benar-benar
memberikan ruang kebebasan dan keberpihakan bagi komunitas adat dan penghayat
kepercayaan yang tidak diakui sebagai bagian dari agama resmi? Jika memang
demikian, mengapa penganut agama Shinto, Kejawen, Syiah, Yahudi, Sikh, atau
penghayat kepercayaan tidak diakui secara resmi sebagai agama negara?
Saya memaknai langkah penghapusan kolom agama di KTP di luar enam agama
merupakan angin segar dan memberikan harapan akan terhapusnya pemaksaan bagi
seseorang untuk memilih agama tertentu sesuai agama resmi yang diakui negara.
Di tengah iklim demokrasi seperti sekarang, pengakuan terhadap penghayat
kepercayaan menjadi keniscayaan yang perlu diperjuangkan. Bagaimanapun, mereka juga memiliki hak dan
kebebasan untuk memilih agama sesuai keyakinan masing-masing.
Perjuangan yang begitu melelahkan ini akhirnya berhasil diwujudkan
walaupun gagasan menghapus kolom agama di KTP sudah bergulir sejak lama.
Melalui berbagai desakan, pengakuan terhadap penghayat kepercayaan yang
selalu termarginalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar
menuai hasil, setelah pemerintah bersama DPR memberikan perlindungan penuh kepada aliran dan penghayat
kepercayaan.
Bagi saya, penghapusan kolom agama dapat dipahami sebagai penegasian
terhadap perlakuan diskriminatif dari sudut pandang aliran kepercayaan yang
sekian lama selalu tersudutkan.
Menghapus diskriminasi adalah bagian perjuangan hak asasi manusia yang
terbelenggu hegemoni penguasa, termasuk menghapus kolom agama dalam KTP. Ini
karena masalah agama adalah domain pribadi yang tidak boleh diintervensi
negara secara terlalu jauh.
Terkait kebebasan beragama yang terbelenggu rezim penguasa, Jose
Casanova (1994) dalam Public Religion
in the Modern World menegaskan, negara tidak boleh memasuki wilayah
privat, demikian pula dengan identitas keagamaan atau kepercayaan yang tidak
boleh hadir di wilayah publik.
Jika suatu negara mengurusi kepercayaan warganya, bahkan memaksakan
diri mencantumkan salah satu agama tertentu, berarti negara telah bersikap
diskriminatif karena telah mencampuri urusan privat mereka.
Kebebasan beragama seharusnya tidak terbatas soal kebebasan memeluk
agama sesuai keyakinan masing-masing, namun juga kebebasan tidak memilih
agama tertentu. Memang diakui ada batasan dalam melaksanakan hak atas
kebebasan beragama. Namun, pembatasan itu hanya ditujukan bagi kebebasan yang
berkaitan dengan masalah-masalah kriminalitas.
Karena itu, kolom agama di KTP di Indonesia disinyalir menjadi pemicu
diskriminasi dan selalu panas sehingga harus dihapus.
Dengan penghapusan kolom agama di KTP, pemerintah mengizinkan dan
mengakui semua agama dan kepercayaan di luar enam agama, untuk tidak
mencantumkan agama dalam kartu identitas. Hal ini menjadi berita baik bagi
orang beragama, atau tidak beragama, yang selalu mendapatkan ketidakadilan dari
pemerintah. Nantinya iklim demokrasi yang sekian lama dijalankan benar-benar
memberikan kebebasan total kepada semua pemeluk agama dan penghayat
kepercayaan di Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar