Jumat, 14 November 2014

Gugatan Backlog Rumah

                                          Gugatan Backlog Rumah

Hadziq Jauhary ;   Consumer Financing Analyst Bank Tabungan Negara (BTN) Syariah  Semarang, alumnus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  13 November 2014

                                                                                                                       


PEMERINTAHAN baru mendapat tantangan berat dalam hal pemenuhan kebutuhan papan bagi rakyat kecil. Selama satu dasawarsa lebih, persoalan perumahan rakyat selalu jadi masalah karena backlog, yaitu kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan  rumah tak kunjung terselesaikan. Berbeda dari pemenenuhan kebutuhan pangan dan sandang yang meski permintaannya selalu bertambah, pemerintah bisa menyelesaikan dalam waktu sekejap kendati lewat cara instan (impor).

Berdasarkan data BPS, backlog rumah tahun 2010 mencapai 13,6 juta unit. Untuk tahun ini, BPS memperkirakan menyentuh 15 juta unit. Ini artinya, ada sekitar 15 juta keluarga belum memiliki rumah. Bila tiap keluarga terdiri atas empat orang, berarti ada 60 juta rakyat Indonesia belum mempunyai tempat tinggal.

Padahal, perhitungan itu tidak bisa kita sebut sebagai angka pasti. Bisa jadi angka tersebut lebih kecil dibanding fakta di lapangan, demikian pula Kementerian Perumahan Rakyat (kini digabung dengan Kementerian PU) yang tak pernah menghitung secara pasti. Ada beberapa hal krusial yang membuat angka itu terus meningkat.

Pertama; kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan bagus yang dikeluarkan Kemenpera acap tak disinkronkan oleh pemda. Di antaranya kebijakan penyediaan rumah tapak dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Kemenpera menginstruksikan bupati/wali kota mempermudah perizinan pembangunan rumah murah serta meminta BPN mempercepat pembuatan/ pemecahan sertifikat. Fakta di lapangan, dua hal itu tak berjalan baik. Bahkan, ada satu daerah yang pemdanya mengeluarkan IMB rumah murah hingga setengah tahun lebih dengan mensyaratkan lebih dulu penerbitan keterangan rencana kota (KRK).

Pemda memiliki kendala mental birokrat yang sering membuat kepala daerah tidak memilih program penyediaan rumah tapak dengan FLPP sebagai jalan memajukan daerahnya dan mengentaskan orang miskin. Program itu tidak favorit karena kurangnya efek pencitraan bagi kabupaten/kota. Bila kita bisa menghubungkannya dengan pencitraan daerah maka  pemda pasti bergegas menjalankannya.

Kedua; belum adanya bank tanah yang mengakibatkan ketiadaan standardisasi harga tanah di Indonesia. Akibatnya, harga tanah bisa jadi meroket tinggi di suatu daerah di luar perhitungan sebelumnya. Apalagi bila di daerah tersebut sedang/sudah dibangun infrastruktur atau fasilitas publik seperti jalan lingkar/arteri.

Harga tanah yang tidak bisa diprediksi menyulitkan pengembang rumah tapak. Selama ini, belum ada bantuan dari Kemenpera melalui Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan (BLU-PPP) kepada pengembang dalam hal pembebasan tanah secara penuh, misal memberikan kredit pengganti pembelian tanah untuk membantu cashflow hingga 80-100% dari harga tanah. Ketersediaan lahan yang terbatas dan harga tanah yang terus naik, menghambat proyek pembangunan rumah tapak. (SM, 1/11/14).

Ketiga; kurangnya upaya bank-bank penyalur KPR sejahtera tapak berskim FLPP untuk mengakselerasi penyaluran FLPP itu kepada MBR. Hanya Bank Tabungan Negara (BTN) yang mampu menyalurkan KPR FLPP hingga 98% tiap tahun. Dalam hal ini, pemerintah belum tegas memberikan sanksi kepada bank penyalur KPR FLPP yang tidak secara sungguh-sungguh mendukung kebijakan pemerintah.

Keempat; tak semua pengembang mau membangun proyek rumah tapak. Dari sekitar 3.000 anggota REI, hanya mampu membangun 350.000-400.000 rumah tapak tiap tahun. Padahal, kebutuhan rumah tapak baru dua kali lipat dari kemampuan anggota REI. Jika tidak ada pemangku kepentingan lain yang membantu maka sampai kapan pun negeri ini tidak akan mampu mengatasi backlog rumah.

Kita sangat berharap Presiden Joko Widodo memprioritaskan penanganan hal tersebut melalui serangkaian kebijakan yang bisa diterapkan secara riil dalam waktu cepat. Terlebih Pasal 54 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, menyebutkan bahwa pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.

Adapun Ayat 2 menyebutkan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, pemerintah pusat dan/atau pemda wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan.

Ayat 3 menjelaskan bahwa kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR dapat berupa antara lain subsidi perolehan rumah, stimulan rumah swadaya, insentif perpajakan sesuai ketentuan perundangan-undangan perpajakan, perizinan, penyediaan tanah, serta penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU).

Namun, belum semua kemudahan dan bantuan itu diberikan pemerintah. Yang baru berjalan saat ini yaitu subsidi perolehan rumah melalui FLPP, insentif perpajakan, dan penyediaan PSU. Untuk mengurangi backlog rumah, sebetulnya pemerintah pusat dan daerahlah yang memiliki peran penting. Jika mereka masih mengedepankan ego sektoral maka pengurangan backlog rumah hanya jadi mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar