Gugatan
Backlog Rumah
Hadziq Jauhary ; Consumer Financing Analyst Bank Tabungan Negara
(BTN) Syariah Semarang, alumnus
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 13 November 2014
PEMERINTAHAN baru mendapat tantangan berat dalam hal pemenuhan
kebutuhan papan bagi rakyat kecil. Selama satu dasawarsa lebih, persoalan
perumahan rakyat selalu jadi masalah karena backlog, yaitu kesenjangan antara
pasokan dan kebutuhan rumah tak
kunjung terselesaikan. Berbeda dari pemenenuhan kebutuhan pangan dan sandang
yang meski permintaannya selalu bertambah, pemerintah bisa menyelesaikan
dalam waktu sekejap kendati lewat cara instan (impor).
Berdasarkan data BPS, backlog rumah tahun 2010 mencapai 13,6 juta unit.
Untuk tahun ini, BPS memperkirakan menyentuh 15 juta unit. Ini artinya, ada
sekitar 15 juta keluarga belum memiliki rumah. Bila tiap keluarga terdiri
atas empat orang, berarti ada 60 juta rakyat Indonesia belum mempunyai tempat
tinggal.
Padahal, perhitungan itu tidak bisa kita sebut sebagai angka pasti.
Bisa jadi angka tersebut lebih kecil dibanding fakta di lapangan, demikian
pula Kementerian Perumahan Rakyat (kini digabung dengan Kementerian PU) yang
tak pernah menghitung secara pasti. Ada beberapa hal krusial yang membuat
angka itu terus meningkat.
Pertama; kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Kebijakan bagus yang dikeluarkan Kemenpera acap tak disinkronkan oleh pemda.
Di antaranya kebijakan penyediaan rumah tapak dengan fasilitas likuiditas
pembiayaan perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Kemenpera menginstruksikan bupati/wali kota mempermudah perizinan
pembangunan rumah murah serta meminta BPN mempercepat pembuatan/ pemecahan
sertifikat. Fakta di lapangan, dua hal itu tak berjalan baik. Bahkan, ada
satu daerah yang pemdanya mengeluarkan IMB rumah murah hingga setengah tahun
lebih dengan mensyaratkan lebih dulu penerbitan keterangan rencana kota
(KRK).
Pemda memiliki kendala mental birokrat yang sering membuat kepala
daerah tidak memilih program penyediaan rumah tapak dengan FLPP sebagai jalan
memajukan daerahnya dan mengentaskan orang miskin. Program itu tidak favorit
karena kurangnya efek pencitraan bagi kabupaten/kota. Bila kita bisa
menghubungkannya dengan pencitraan daerah maka pemda pasti bergegas menjalankannya.
Kedua; belum adanya bank tanah yang mengakibatkan ketiadaan
standardisasi harga tanah di Indonesia. Akibatnya, harga tanah bisa jadi
meroket tinggi di suatu daerah di luar perhitungan sebelumnya. Apalagi bila
di daerah tersebut sedang/sudah dibangun infrastruktur atau fasilitas publik
seperti jalan lingkar/arteri.
Harga tanah yang tidak bisa diprediksi menyulitkan pengembang rumah
tapak. Selama ini, belum ada bantuan dari Kemenpera melalui Badan Layanan
Umum Pusat Pembiayaan Perumahan (BLU-PPP) kepada pengembang dalam hal
pembebasan tanah secara penuh, misal memberikan kredit pengganti pembelian
tanah untuk membantu cashflow
hingga 80-100% dari harga tanah. Ketersediaan lahan yang terbatas dan harga
tanah yang terus naik, menghambat proyek pembangunan rumah tapak. (SM, 1/11/14).
Ketiga; kurangnya upaya bank-bank penyalur KPR sejahtera tapak berskim
FLPP untuk mengakselerasi penyaluran FLPP itu kepada MBR. Hanya Bank Tabungan
Negara (BTN) yang mampu menyalurkan KPR FLPP hingga 98% tiap tahun. Dalam hal
ini, pemerintah belum tegas memberikan sanksi kepada bank penyalur KPR FLPP
yang tidak secara sungguh-sungguh mendukung kebijakan pemerintah.
Keempat; tak semua pengembang mau membangun proyek rumah tapak. Dari
sekitar 3.000 anggota REI, hanya mampu membangun 350.000-400.000 rumah tapak
tiap tahun. Padahal, kebutuhan rumah tapak baru dua kali lipat dari kemampuan
anggota REI. Jika tidak ada pemangku kepentingan lain yang membantu maka
sampai kapan pun negeri ini tidak akan mampu mengatasi backlog rumah.
Kita sangat berharap Presiden Joko Widodo memprioritaskan penanganan
hal tersebut melalui serangkaian kebijakan yang bisa diterapkan secara riil
dalam waktu cepat. Terlebih Pasal 54 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman, menyebutkan bahwa pemerintah wajib memenuhi
kebutuhan rumah bagi MBR.
Adapun Ayat 2 menyebutkan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR,
pemerintah pusat dan/atau pemda wajib memberikan kemudahan pembangunan dan
perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara
bertahap dan berkelanjutan.
Ayat 3 menjelaskan bahwa kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan
perolehan rumah bagi MBR dapat berupa antara lain subsidi perolehan rumah,
stimulan rumah swadaya, insentif perpajakan sesuai ketentuan
perundangan-undangan perpajakan, perizinan, penyediaan tanah, serta
penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU).
Namun, belum semua kemudahan dan bantuan itu diberikan pemerintah. Yang
baru berjalan saat ini yaitu subsidi perolehan rumah melalui FLPP, insentif
perpajakan, dan penyediaan PSU. Untuk mengurangi backlog rumah, sebetulnya
pemerintah pusat dan daerahlah yang memiliki peran penting. Jika mereka masih
mengedepankan ego sektoral maka pengurangan backlog rumah hanya jadi mimpi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar