Bahasa
Indonesia Asing di Negeri Sendiri
Rizani Hammama ; Mahasiswa
Jurnalistik dan Ilmu Komunikasi, Unpad
|
HALUAN,
13 November 2014
Mengenakan seragam putih abu-abu, segerombolan remaja tampak duduk-duduk
santai di sebuah warung di pinggir jalan. Mereka tak banyak berbicara.
Lengkap dengan peranti teknologi di genggaman tangan, mereka tunduk terpaku
menatap layar. Sengatan panas matahari dan suara bising khas jalanan sama
sekali tak mereka hiraukan.
Tak lama kemudian, salah
seorang dari mereka memasukkan ponselnya ke dalam tas dan membenahi posisi
duduknya. “Kalian udah bikin PR belom?” tanyanya kemudian. “Belom. Gampang
itu mah. Tinggal search di Google. Kalau ada, download PDF-nya. Udah banyak
yang upload materinya di internet,” ujar salah seorang temannya sambil tetap
menggenggam ponselnya. Sementara itu, yang lain hanya mengangguk kecil membenarkan
jawaban temannya.
Istilah-istilah asing tampaknya
sudah terpatri dalam perbendaharaan kata para penutur bahasa Indonesia.
Setidaknya itu terlihat dari jawaban yang diberikan siswa SMA dari kisah di
atas. Tak jauh berbeda, Rachmi Pertiwi (20), mahasiswa Sastra Perancis
Universitas Padjadjaran (Unpad), mengatakan, ia juga sering menggunakan
istilah asing karena sudah terbiasa dan istilahnya sering didengar.
“Biasanya dipakai dalam
komunikasi sehari-hari dan penyampaian opini dalam forum di internet.
Penggunaannya cukup berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa Indonesia yang
baik dan benar,” ujar Rachmi.
Kecenderungan Berbahasa
Asing
Penggunaan istilah asing dapat
ditemukan hampir di setiap sisi ruang dan waktu di negeri ini. Popularitas
istilah asing seakan tak pandang bulu. Mulai dari percakapan sehari-hari,
nama pusat perbelanjaan, judul buku, hingga nama program di televisi. Mulai
dari anak-anak, remaja, mahasiswa, pedagang, hingga tokoh masyarakat tak
luput dari serbuannya.
Hasan Alwi, mantan Kepala Pusat
Bahasa (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), saat ditanya via
surat elektronik, Rabu (17/9/2014), melihat hal ini sebagai bentuk kurangnya
kesadaran akan pentingnya bahasa Indonesia. Berkaca dari kondisi ini, Hasan
Alwi membandingkan kondisi perkembangan dan kedudukan bahasa Indonesia saat
ini dengan sebelum reformasi (1998).
Sebelum reformasi, bahasa
Indonesia sudah hampir mantap menjadi tuan di negara sendiri. Semua pihak,
berikut para pengembangnya, para pengusaha restoran dan iklan, serta
pimpinan media massa mulai terbuka mata dan hatinya akan betapa pentingnya
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa di segala bidang. Akan tetapi, begitu reformasi bergulir, kesadaran
akan pentingnya bahasa persatuan dan bahasa negara itu memperlihatkan
kecenderungan dan perspektif yang antiklimaks.
Hasan Alwi menegaskan, meskipun
sudah ada Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, kecenderungan itu sedikit pun tidak
memperlihatkan tanda-tanda akan surut.
Pakar Linguistik, Wahya, yang
ditemui di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Padjadjaran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Selasa (16/9/2014), menyatakan
hal yang senada. Berangkat dari sejarah, bahasa Indonesia banyak melakukan
serapan dari berbagai bahasa. Serapan ini didapatkan dari bahasa-bahasa asing
yang sempat masuk ke Indonesia, seperti bahasa Mandarin, Portugis, Inggris,
Belanda, Arab, dan Jepang. Penyerapan bahasa ini ditujukan tak lain untuk
pengembangan ilmu pengetahuan. Bukan untuk menyaingi bahasa Indonesia.
Sekarang menjadi masalah ketika
istilah-istilah asing itu sebenarnya tidak diperlukan kemudian kata itu
digunakan, contohnya laundry, enter, open, dan sebagainya. Ada juga ada nama
makanan, judul novel, hingga nama program acara di televisi yang menggunakan
bahasa asing. Padahal, sebenarnya bisa dikemas dalam bahasa Indonesia.
Maraknya penggunaan istilah
asing ini merupakan cerminan sikap berbahasa Indonesia bangsa Indonesia.
Sikap berbahasa Indonesia saat ini masih kurang positif sehingga masyarakat
Indonesia merasa gagah jika berbahasa asing dibanding berbahasa Indonesia.
Sebagian masyarakat Indonesia terlalu gengsi berbahasa Indonesia karena
merasa dipandang intelektual jika menggunakan bahasa Inggris. Sebagian
lainnya menganggap, bahasa Inggris lebih “menjual” ketimbang bahasa
Indonesia.
Bahasa dalam Sastra
Salah satu saluran bahasa
melalui karya sastra, seperti novel, cerpen, puisi, dan sebagainya. Tak
sedikit novel asli Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris sebagai judul
ataupun kutipan dialog. Membanjirnya novel Indonesia yang menggunakan latar
belakang negara lain ikut menjadi penyumbang penggunaan bahasa asing dalam
novel Indonesia.
Hal ini diakui Dy Lunaly,
penulis novel yang karya-karyanya menggunakan bahasa Inggris sebagai judul,
seperti My Daddy ODHA, Remember Dhaka, dan NY Over Heels. Menurut Dy,
penggunaan bahasa Inggris sebagai judul karyanya bukan karena tujuan khusus,
melainkan karena judul tersebut dirasa paling cocok.
Ditanya perihal penggunaan
bahasa asing dalam karya sastra Indonesia, Dy menilai, penggunaan bahasa
asing dalam satu novel tidak menjadi masalah, sejauh itu sesuai dengan
konteksnya. Tak akan berpengaruh dengan jati diri karya sastra Indonesia.
Kebanggaan Berbahasa Indonesia
Ada ungkapan yang menyebutkan,
bahasa cermin budaya bangsa atau bahasa cermin jati diri bangsa. Hal ini
semestinya disematkan benar di dalam pikiran dan hati bangsa Indonesia.
Dengan kondisi saat ini, Wahya menilai, perlu adanya pengembangan dan
pembinaan bahasa Indonesia yang merata.
Sebab, kemampuan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar hanya dapat disebarkan dan didiskusikan melalui
pendidikan. Tak hanya pendidikan formal, tetapi juga pendidikan informal.
Di sisi lain, perlu adanya keberanian dan ketegasan pemerintah dalam
menegakkan bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Semestinya, masyarakat
Indonesia patut berbangga karena memiliki bahasa nasional dan bahasa negara
sendiri. Mengingat, tidak semua negara di dunia mampu semufakat mengenai
bahasa nasional dan bahasa negara, contohnya Malaysia, Filipina, India, dan
lain-lain. Di negara-negara tersebut, masyarakatnya cenderung menggunakan
bahasa yang berbeda sesuai dengan etnis penutur atau justru berbahasa
Inggris. Oleh karena itu, Wahya mengatakan, hargai dan percaya dirilah dengan
keunggulan yang kita miliki karena kita bisa maju dengan kepribadian kita
sendiri.
Saat ini, sedikitnya ada 45
negara yang mengajarkan Bahasa Indonesia, seperti Australia, Amerika,
Vietnam, dan lain-lain. Ironisnya, ketika masyarakat negara-negara tersebut
mempelajari Bahasa Indonesia, sang pemilik bahasa justru berlomba-lomba
menggunakan bahasa asing. Dengan kondisi demikian, wajar jika muncul sebuah
pertanyaan, siapa yang masih bangga berbahasa Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar