Jumat, 14 November 2014

Bahasa Indonesia Asing di Negeri Sendiri

Bahasa Indonesia Asing di Negeri Sendiri

Rizani Hammama  ;  Mahasiswa Jurnalistik dan Ilmu Komunikasi, Unpad
HALUAN, 13 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Mengenakan se­ragam putih abu-abu, segerombolan remaja tampak duduk-duduk santai di sebuah warung di pinggir jalan. Mereka tak banyak berbicara. Lengkap dengan peranti teknologi di genggaman tangan, mereka tunduk terpaku menatap layar. Sengatan panas matahari dan suara bising khas jalanan sama sekali tak mereka hiraukan.

Tak lama kemudian, salah seorang dari mereka mema­sukkan ponselnya ke dalam tas dan membenahi posisi duduknya. “Kalian udah bikin PR belom?” tanyanya kemu­dian. “Belom. Gampang itu mah. Tinggal search di Google. Kalau ada, download PDF-nya. Udah banyak yang upload materinya di internet,” ujar salah seorang temannya sambil tetap menggenggam ponselnya. Sementara itu, yang lain hanya mengangguk kecil membe­narkan jawaban temannya.

Istilah-istilah asing tampak­nya sudah terpatri dalam perbendaharaan kata para penutur bahasa Indonesia. Setidaknya itu terlihat dari jawaban yang diberikan siswa SMA dari kisah di atas. Tak jauh berbeda, Rachmi Pertiwi (20), mahasiswa Sastra Perancis Universitas Padjadjaran (Un­pad), mengatakan, ia juga sering menggunakan istilah asing karena sudah terbiasa dan istilahnya sering didengar.

“Biasanya dipakai dalam komunikasi sehari-hari dan penyampaian opini dalam forum di internet. Penggunaannya cukup berpengaruh terhadap kemam­puan berbahasa Indone­sia yang baik dan benar,” ujar Rachmi.

Kecenderungan Berbahasa Asing

Penggunaan istilah asing dapat ditemukan hampir di setiap sisi ruang dan waktu di negeri ini. Popularitas istilah asing seakan tak pandang bulu. Mulai dari percakapan sehari-hari, nama pusat perbelanjaan, judul buku, hingga nama program di televisi. Mulai dari anak-anak, remaja, mahasiswa, pedagang, hingga tokoh masya­ra­kat tak luput dari serbuannya.

Hasan Alwi, mantan Kepala Pusat Bahasa (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), saat ditanya via surat elektronik, Rabu (17/9/2014), melihat hal ini sebagai bentuk kurangnya kesadaran akan pentingnya bahasa Indonesia. Berkaca dari kondisi ini, Hasan Alwi membandingkan kondisi perkembangan dan kedudukan bahasa Indonesia saat ini dengan sebelum reformasi (1998).

Sebelum reformasi, bahasa Indonesia sudah hampir mantap menjadi tuan di negara sendiri. Semua pihak, berikut para pengembangnya, para pengu­saha restoran dan iklan, serta pimpinan media massa mulai terbuka mata dan hatinya akan betapa pentingnya kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa di segala bidang. Akan tetapi, begitu reformasi bergulir, kesadaran akan pentingnya bahasa persa­tu­an dan bahasa negara itu memperlihatkan kecenderungan dan perspektif yang anti­klimaks.

Hasan Alwi menegaskan, meskipun sudah ada Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, kecenderungan itu sedikit pun tidak memper­lihatkan tanda-tanda akan surut.
Pakar Linguistik, Wahya, yang ditemui di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadja­ran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Selasa (16/9/2014), menyatakan hal yang senada. Berangkat dari sejarah, bahasa Indonesia banyak melakukan serapan dari berbagai bahasa. Serapan ini didapatkan dari bahasa-bahasa asing yang sempat masuk ke Indonesia, seperti bahasa Mandarin, Portugis, Inggris, Belanda, Arab, dan Jepang. Penyerapan bahasa ini ditujukan tak lain untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Bukan untuk menyaingi bahasa Indonesia.

Sekarang menjadi masalah ketika istilah-istilah asing itu sebenarnya tidak diperlukan kemudian kata itu digunakan, contohnya laundry, enter, open, dan sebagainya. Ada juga ada nama makanan, judul novel, hingga nama program acara di televisi yang menggunakan bahasa asing. Padahal, sebenar­nya bisa dikemas dalam bahasa Indonesia.

Maraknya penggunaan istilah asing ini merupakan cerminan sikap berbahasa Indonesia bangsa Indonesia. Sikap berbahasa Indonesia saat ini masih kurang positif sehingga masyarakat Indonesia merasa gagah jika berbahasa asing dibanding berbahasa Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia terlalu gengsi berba­hasa Indonesia karena merasa dipandang intelektual jika menggunakan bahasa Inggris. Sebagian lainnya menganggap, bahasa Inggris lebih “menjual” ketimbang bahasa Indonesia.

Bahasa dalam Sastra

Salah satu saluran bahasa melalui karya sastra, seperti novel, cerpen, puisi, dan sebagainya. Tak sedikit novel asli Indonesia yang menggu­nakan bahasa Inggris sebagai judul ataupun kutipan dialog. Membanjirnya novel Indonesia yang menggunakan latar belakang negara lain ikut menjadi penyumbang penggu­naan bahasa asing dalam novel Indonesia.

Hal ini diakui Dy Lunaly, penulis novel yang karya-karyanya menggunakan bahasa Inggris sebagai judul, seperti My Daddy ODHA, Remember Dhaka, dan NY Over Heels. Menurut Dy, penggunaan bahasa Inggris sebagai judul karyanya bukan karena tujuan khusus, melainkan karena judul tersebut dirasa paling cocok.

Ditanya perihal penggunaan bahasa asing dalam karya sastra Indonesia, Dy menilai, penggunaan bahasa asing dalam satu novel tidak menjadi masalah, sejauh itu sesuai dengan konteksnya. Tak akan berpengaruh dengan jati diri karya sastra Indonesia.

Kebanggaan Berbahasa Indonesia

Ada ungkapan yang menye­butkan, bahasa cermin budaya bangsa atau bahasa cermin jati diri bangsa. Hal ini semestinya disematkan benar di dalam pikiran dan hati bangsa Indonesia. Dengan kondisi saat ini, Wahya menilai, perlu adanya pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia yang merata.
Sebab, kemampuan berba­hasa Indonesia yang baik dan benar hanya dapat disebarkan dan didiskusikan melalui pendidikan. Tak hanya pendidi­kan formal, tetapi juga pendi­dikan informal. Di sisi lain, perlu adanya keberanian dan ketegasan pemerintah dalam menegakkan bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Semestinya, masyarakat Indonesia patut berbangga karena memiliki bahasa nasio­nal dan bahasa negara sendiri. Mengingat, tidak semua negara di dunia mampu semufakat mengenai bahasa nasional dan bahasa negara, contohnya Malaysia, Filipina, India, dan lain-lain. Di negara-negara tersebut, masyarakatnya cenderung menggunakan baha­sa yang berbeda sesuai dengan etnis penutur atau justru berbahasa Inggris. Oleh karena itu, Wahya mengatakan, hargai dan percaya dirilah dengan keunggulan yang kita miliki karena kita bisa maju dengan kepribadian kita sendiri.

Saat ini, sedikitnya ada 45 negara yang mengajarkan Bahasa Indonesia, seperti Australia, Amerika, Vietnam, dan lain-lain. Ironisnya, ketika masyarakat negara-negara tersebut mempelajari Bahasa Indonesia, sang pemilik bahasa justru berlomba-lomba menggu­nakan bahasa asing. Dengan kondisi demikian, wajar jika muncul sebuah pertanyaan, siapa yang masih bangga berbahasa Indonesia?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar