Jumat, 07 November 2014

Tantangan Politik Luar Negeri Jokowi

Tantangan Politik Luar Negeri Jokowi

Baiq Wardhani dan Asrudin  ;  Baiq Wardhani, Dosen Hubungan Internasional dari FISIP Universitas Airlangga; Asrudin,  Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Grup
SINAR HARAPAN, 23 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Sah sudah Jokowi dilantik menjadi Presiden Ketujuh Indonesia pada Senin (20/10). Pelantikan Jokowi ini terbilang sensasional dari segi pemberitaan karena tidak hanya media massa Indonesia yang meliput. Sejumlah media massa asing pun ikut mengabadikan jalannya pelantikan tersebut, seperti ABCNews, The Washington Post, Time Magazine, The Strategist, dan banyak lagi.

Di antara sejumlah isu, yang paling menarik perhatian media massa asing adalah mengenai pengumuman susunan kabinet yang dipilih Jokowi setelah dilantik, khususnya untuk pos menteri luar negeri (menlu). Media massa Australia,The Strategist, pada Senin misalnya, menyoroti kapabilitas Jokowi dalam urusan luar negeri, mengingat masih minimnya pengalaman Jokowi di bidang tersebut.

Oleh sebab itu, The Strategist menyarankan Jokowi memilih menlu dari kalangan profesional ketimbang partai politik (parpol). Ini karena isu-isu internasional akan menjadi tantangan berat yang dihadapi Jokowi ke depan.
Dalam kolom ini, penulis bermaksud mengevaluasi kembali visi politik luar negeri Jokowi yang sudah disampaikannya sebelum ia dilantik. Dari evaluasi itu, penulis melengkapi kekurangan dari visinya agar bisa menjawab tantangan-tantangan berat dalam politik luar negeri Indonesia.

Dalam pidato pelantikannya, Presiden Jokowi dengan tegas mengatakan, di bawah pemerintahannya, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan penduduk muslim terbesar di dunia, juga sebagai negara kepulauan dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, akan terus menjalankan politik luar negeri bebasaktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.

Dalam banyak kesempatan, Jokowi berulang-ulang mengatakan, politik luar negeri bebas aktif Indonesia perlu didukung ketahanan nasional yang kuat. Ia, misalnya, menyinggung pentingnya meningkatkan kesejahteraan prajurit, modernisasi alat-alat pertahanan termasuk pertahanan cyber dan hybrid, serta modernisasi dan industri pertahanan yang mesti terus diperkuat.

Jokowi mencontohkan, modernisasi alat bisa dengan drone. Menurutnya, drone bisa memberikan manfaat, baik dari sisi ekonomi maupun ketahanan nasional. Drone akan dipasang di empat kawasan, yaitu di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dengan drone, bisa dilihat ada kekayaan ekonomi maritim kita yang diambil atau tidak.

Drone akan sangat berguna bagi pertahanan. Ini bisa mencegah illegal fishing dan illegal logging. Apalagi, Jokowi memaparkan, kekayaan laut senilai Rp 300 triliun hilang karena illegal fishing. Ia juga menegaskan, geopolitik kini sedang bergerak ke timur. Indonesia berada di tengah pergeseran tersebut. Dengan membangun kekuatan maritim, Indonesia akan menang di laut, berwibawa, dan dihormati.

Jika diamati pemaparan Jokowi di atas, visi politik luar negerinya itu tidak lepas dari unsur-unsur kekuatan nasional yang dijabarkan para penulis hubungan Internasional, seperti HJ Morgenthau, Organski, Couloumbis, dan Wolfe; yaitu unsur-unsur kasat mata/tangible (geografi, sumber daya alam (SDA), kemampuan industri, kesiagaan militer, dan penduduk) dan tak kasat mata/intangible (kualitas diplomasi dan moral nasional).

Beberapa unsur kasat mata yang dimiliki Indonesia telah dibahas cukup luas oleh Jokowi. Itu seperti letak geografis yang strategis dengan luas wilayah yang masif, sumber daya alam yang melimpah, potensi kemampuan industri, militer yang berpotensi kuat dengan pelatihan dan alutsista modern, serta jumlah penduduk yang besar. Sekalipun demikian, terdapat banyak titik lemah. Indonesia baru sekadar memiliki (possessing) kekuatan yang kasat mata, namun belum dan kurang dalam mengolah/mendayagunakan (converting) yang tak kasat mata.

Padahal sebagaimana dikatakan Morgenthau, dari segenap faktor yang menyebabkan kekuatan suatu negara, yang terpenting, walau tidak stabil, adalah kualitas diplomasi. Mengingat cara melaksanakan hubungan luar negeri suatu negara oleh para diplomatnya dalam masa damai, sama seperti siasat dan taktik militer oleh para pemimpin militernya dalam masa perang, kualitas diplomasi bisa menjadi otak kekuatan nasional.

Dalam konteks itu, Indonesia sesungguhnya telah memiliki otak dalam politik luar negeri yang sesuai kepentingan nasional sejak awal kemerdekaan, yakni bebas aktif. Doktrin politik luar negeri bebas aktif ini pernah terbukti berhasil dalam penerapannya ketika masa Perang Dingin. Karena itu, Presiden Jokowi perlu merevisi doktrin thousand friends, zero enemy yang menjadi landasan politik luar negeri pemerintahan sebelumnya (SBY). Hal ini penting dilakukan agar diplomasi Indonesia tidak lagi kedodoran dalam menghadapi negara-negara lain dan kejadian-kejadian, seperti dipancungnya tenaga kerja Indonesia (TKI), Ruyati, di Saudi Arabia; pelanggaran kedaulatan yang sering dilakukan Malaysia; serta aksi spionase yang dilakukan pemerintah Australia tidak terulang. Tentunya, revisi itu perlu dibarengi dengan mengirim diplomat-diplomat terbaik yang terseleksi secara ketat ke luar negeri.

Agar politik luar negeri Indonesia lebih bertaji, Jokowi perlu mengembangkan doktrin yang lebih berwibawa. Tanpa bermaksud melupakan beberapa “prestasi generik” diplomasi SBY, yang secara peyoratif disebut “unik” oleh beberapa kalangan, doktrin SBY tidak membantu menjadikan Indonesia sebagai negara yang disegani, bahkan dalam kancah regional sekalipun.

Pengembangan doktrin itu bisa dilakukan Jokowi dengan menyatukan kualitas diplomasi yang menjadi otak kekuatan nasional dan moral nasional yang menjadi jiwanya. Moral nasional adalah spirit yang ditunjukkan oleh warga negara dan secara keseluruhan merupakan tingkat kebulatan tekad suatu bangsa untuk mendukung keberhasilan diplomasi pemerintahnya, baik dalam waktu damai ataupun perang.

Terkait dengan itu, renungan Morgenthau berikut ini perlu diperhatikan oleh Jokowi bahwa dalam sejarah, Goliat yang tanpa otak atau jiwa dihantam dan dibunuh oleh David yang memiliki keduanya. Tanpa kedua unsur tak kasat mata, unsur-unsur kasat mata yang dimiliki Indonesia dalam jangka panjang akan menjadi tidak berarti. Oleh karena itu, tantangan politik luar negeri bebas aktif Jokowi yang terbesar adalah bagaimana agar menlu yang akan dipilihnya nanti bisa membuat unsur kekuatan yang kasat mata dapat bersinergi dengan unsur kekuatan yang tak kasat mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar