Jumat, 07 November 2014

Kedaulatan Petani dan Agenda Presiden Baru

Kedaulatan Petani dan Agenda Presiden Baru

Joko Tri Haryanto  ;  Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
SINAR HARAPAN, 24 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Hari Tani Nasional (HTN) diperingati setiap tanggal 24 September. HTN 2014 mengambil tema “Melaksanakan Kedaulatan Pangan dan Pembaruan Agraria”. Tema itu cukup menarik jika dikaitkan dengan pemerintahan transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Sebagaimana disebutkan dalam agenda “Jalan Perubahan Jokowi-JK untuk Rakyat Indonesia”, ada tiga pilar utama yang menjadi pokok perhatian; menghadirkan negara yang bekerja, kemandirian yang menyejahterakan, serta revolusi mental. Dalam pilar “kemandirian yang menyejahterakan”, ada tiga hal yang menjadi fokus perhatian; yaitu daulat pangan berbasis agribisnis kerakyatan, daulat energi berbasis kepentingan nasional, dan restorasi ekonomi maritim Indonesia.

Terkait daulat pangan berbasis agribisnis kerakyatan ini, dalam beberapa kesempatan Jokowi senantiasa mengingatkan gagasan perlunya pembentukan bank pertanian, Usaha Menengah dan Kecil Mikro (UMKM), koperasi, serta perbaikan infrastruktur khususnya irigasi.

Dukungan untuk mengimplementasikan hal tersebut sangat kuat. Pemerintah tahun lalu mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3). Oleh beberapa pengamat, UU tersebut mendapat apresiasi begitu besar. Ini mengingat banyaknya terobosan kebijakan yang akan diinisiasi pemerintah, salah satunya kewajiban melaksanakan asuransi pertanian serta pendirian bank petani.

Oleh karena itu, mumpung dukungan politik dari pemerintahan baru sangat luar biasa, kebijakan yang dijalankan nantinya seyogianya betul-betul mencerminkan solusi yang implementatif.

Sektor pertanian sebetulnya sudah mendapatkan alokasi subsidi dari APBN setiap tahunnya. Pada 2006, APBN mengalokasikan subsidi pertanian yang terdiri dari subsidi pupuk, benih, kredit program, dan pangan senilai Rp 8,9 triliun. Ini meningkat menjadi Rp 33,9 triliun pada 2009 serta Rp 36,3 triliun pada 2012. Dalam APBN-P 2013, pemerintah menganggarkan subsidi pertanian senilai Rp 42,1 triliun, meningkat lagi menjadi Rp 44,6 triliun pada 2014.

Namun, beberapa pihak justru menyayangkan tidak adanya koherensi antara subsidi pertanian dalam APBN dengan penguatan kedaulatan petani. Akibatnya, sektor pertanian terus terdominasi menjadi sektor inferior dibandingkan sektor-sektor lainnya. Di mata pencari kerja, petani mungkin dianggap sebagai profesi yang paling tidak menarik. Tragisnya, fenomena ini tidak hanya menggejala di kota. Di desa pun, profesi petani semakin hari kian ditinggalkan.

Kondisi tersebut tentu membutuhkan pembaruan. Ada banyak hal positif yang diharapkan mampu mendukung era pemberdayaan petani di masa depan. Salah satunya adalah kewajiban pemerintah terkait pembiayaan perlindungan dan pemberdayaan petani, melalui pelaksanaan asuransi pertanian dan pendirian bank bagi petani.

Pemerintah pun telah menyiapkan skema asuransi pertanian baik yang bersifat teknis maupun nonteknis. Dalam tahap awal, luas areal sawah yang nantinya akan diasuransikan sebesar 2,3 juta ha, dengan usulan pendanaan senilai Rp 345 miliar.

Lokasi yang akan di-cover harus memiliki kriteria provinsi sentra produksi padi, wilayah pertanaman padi di lahan sawah non-SL-PTT, serta wilayah program GP3K. Calon petani diharapkan petani padi sawah yang tergabung dalam Kelompok Tani aktif, serta bersedia mengikuti anjuran teknis maupun syarat ketentuan yang berlaku.

Tanaman padi menjadi objek pertanggungan asuransi tahap awal. Jangka waktu asuransi diperkirakan sekitar empat bulan mengikuti periodisasi masa tanam. Harga pertanggungan asuransi senilai Rp 6 juta per ha, dengan suku premi asuransi 3 persen dari rata-rata ongkos produksi, atau Rp 180.000 per ha. Dari besaran suku premi tersebut, pemerintah akan menanggung 80 persen atau sekitar Rp 144.000 per ha. Sebanyak 20 persen sisanya akan ditanggung petani (Rp 36.000).

Pertanggungan premi oleh pemerintah akan dilakukan sampai petani dinilai mampu membayar preminya dengan mendasarkan pada skala ekonomi petani, yaitu nilai komersial minimum. Risiko yang akan dijamin terdiri atas risiko banjir, kekeringan, dan OPT tertentu baik hama tikus, wereng, walang sangit, penggerek batang, ulat grayak serta penyakit blast, tungro, bercak cokelat, busuk batang maupun kerdil hampa. Pembayaran klaim akan dibayarkan 14 hari sesudah persetujuan melalui rekening Kelompok Tani (Poktan).

Hal penting lainnya adalah pendirian Bank Petani. Ide dan wacana ini di Indonesia sebetulnya isu lama yang belum terealisasikan hingga kini. Berbagai peraturan dan regulasi yang ada di industri perbankan nasional dianggap menjadi kendala utama, meskipun oleh beberapa pihak, ketidakseriusan pemerintah justru dianggap menjadi inti permasalahannya. Padahal, lemahnya akses petani terhadap lembaga perbankan terbukti menjadi salah satu penyebab kemiskinan dalam sektor pertanian.

Dilihat dari sisi best practise, beberapa negara di dunia terbukti sukses menjalankan mekanisme bank petani. Tiongkok dikenal sebagai negara pelopor bank petani sejak 1979, melalui pembentukan Agricultural Bank of China (ABC). Hal yang sama terjadi di Thailand dan Vietnam, melalui fasilitas UU yang memaksa bank-bank menyediakan kredit murah kepada sektor pertanian.

Di Jepang, Norinchukin Bank juga melakukan praktik yang sama, mampu berkembang pesat hingga mendirikan banyak kantor cabang di lokasi tempat petani tinggal.

Mengingat besarnya manfaat yang akan diberikan, gagasan melaksanakan asuransi pertanian dan mendirikan Bank Petani, seyogianya wajib segera diimplementasikan. Seluruh pihak yang terlibat pun wajib memberikan dukungan demi terciptanya kedaulatan petani di Indonesia.

Jangan sampai negara Indonesia yang diklaim sebagai salah satu negara dengan luasan lahan pertanian terbesar di dunia, justru tertinggal dibandingkan negara-negara lain yang sebelumnya belajar pertanian di Indonesia. Cukup menarik jika dikutip kalimat bijak Jawaharlal Nehru dan tertulis diperpustakaan Indian Agricultural Research Institute (IARI), Campus Pusat New Delhi; “All can wait, unless agriculture.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar