Jumat, 14 November 2014

Selamat Datang Gubernur Ahok

                               Selamat Datang Gubernur Ahok

Saldi Isra  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
MEDIA INDONESIA,  13 November 2014

                                                                                                                       


POLITISASI produk hukum tidak pernah berhenti di negeri ini. Belum habis pro-kontra di sekitar rekayasa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, kini kita dihadapkan pula pada politisasi aturan di seputar pergantian jabatan Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Joko Widodo (Jokowi). Pangkal soal, sejumlah kekuatan politik di DPRD DKI Jakarta menilai Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak bisa menggantikan Jokowi.

Alasan utama yang dikemukakan oleh kelompok yang mendukung pandangan bahwa Ahok tidak bisa menggantikan Jokowi adalah tidak adanya aturan hukum yang menentukan bila kepala daerah berhalangan tetap dalam UndangUndang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI (UU No 29/2007). Karena ketiadaan aturan tersebut, didalilkan bahwa kondisi yang terjadi di Jakarta setelah ditinggalkan Jokowi adalah ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu No 1/2014).

Penggunaan dalil

Dalam Pasal 173 ayat (1) Perppu No 1/2014 dinyatakan bahwa dalam hal gubernur, bupati, dan wali kota berhalangan tetap, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota tidak serta-merta menggantikan gubernur, bupati, dan wali kota. Bagi mereka yang mendalilkan bahwa Ahok tidak bisa menggantikan Jokowi, ketentuan Pasal 173 ayat (1) Perppu No 1/2014 tersebut berlaku secara absolut dalam proses pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Jokowi.

Dengan menggunakan dalil tersebut, mereka menggunakan dalil Pasal 174 (1) dan ayat (2) Perppu No 1/2014 bahwa apabila gubernur berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan kurang dari 18 bulan, presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul menteri (dalam negeri) sampai berakhir nya masa jabatan gubernur. Kemudian, dalam hal sisa masa jabatan gubernur berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan maka dilakukan pemilihan gubernur melalui DPRD provinsi.

Dengan menggunakan dasar hukum Pasal 173 dan 174 tersebut, kekuatan politik yang berdiri dalam cara pandang tersebut menghendaki pengisian jabatan gubernur lowong yang ditinggalkan Jokowi tidak otomatis jatuh kepada Wakil Gubernur Ahok. Apalagi, sebagaimana disebut di awal, UU No 29/2007 tidak mengatur pola pergantian kepala daerah yang berhalangan tetap baik disebabkan alasan berhenti mau pun diberhentikan. Padahal, Kementerian Dalam Negeri telah memberi sinyal agar DPRD DKI Jakarta segera melantik Ahok sebagai gubernur baru menggantikan Jokowi.

Alasan yang keliru

Apabila dilacak UU No 29/2007, ketentuan ini memang hanya mengatur ihwal pengisian kepala daerah secara sederhana, yaitu hanya mengatur perbedaan persentase penentuan pemenang kepala daerah. Dalam hal ini, Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No 29/2007 menyatakan bahwa pasangan calon yang memeroleh suara lebih dari 50% ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Selanjutnya, dalam hal tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50%, diadakan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

Dengan pengaturan yang sangat terbatas tersebut dan sekalipun tidak mengatur ihwal pergantian kepala daerah yang tidak dapat menghabiskan masa tugasnya, adalah kekeliruan mendasar memberlakukan ketentuan Pasal 173 dan 174 Perppu No 1/2014. Dalam hal ini, pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta harus tunduk pada ketentuan Pasal 203 ayat (1) Perppu No 1/2014 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan wali kota yang diangkat berdasarkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota menggantikan gubernur, bupati, dan wali kota sampai dengan berakhir masa jabatannya.

Ketentuan ini sangat jelas, kekosongan jabatan Gubernur DKI Jakarta harus diisi oleh wakil gubernur. Apalagi, UU No 29/2007 hanya mengatur secara terbatas proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, UU No 29/2007 sama sekali tidak mengatur ihwal pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan wakil gubernur. Untuk itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No 29/2007, pengangkatan dan pemberhentian tunduk pada ketentuan dalam UU No 32/2004.

Dengan ketentuan ini, UU No 29/2007 dapat dikatakan pengecualian dari UU No 32/2004. Artinya, semua materi yang ada dalam UU No 29/2007 adalah bentuk pengecualian dari UU No 32/2004 dan semua yang tidak diatur dalam UU No 29/2007 tunduk kepada aturan dalam UU No 32/2004. Karena itu, tidak hanya ihwal wakil gubernur yang otomatis menjadi gubernur, jabatan wakil gubernur yang segera kosong karena Ahok menjadi gubernur juga harus diisi merujuk pada UU No 32/2004.

Berdasarkan penjelasan di atas, hanya langkah politisasi hukum saja yang mungkin menghalangi pengukuhan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Seharusnya, begitu Jokowi mengundurkan diri, secara hukum, Ahok hanya menunggu langkah formal menjadi gubernur. Sebagai sebuah negara hukum, mari menggunakan nalar hukum yang benar dan ucapkan selamat datang untuk Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar