Selamat
Datang Gubernur Ahok
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat
Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 13 November 2014
POLITISASI
produk hukum tidak pernah berhenti di negeri ini. Belum habis pro-kontra di
sekitar rekayasa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, kini kita dihadapkan pula pada politisasi aturan
di seputar pergantian jabatan Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Joko
Widodo (Jokowi). Pangkal soal, sejumlah kekuatan politik di DPRD DKI Jakarta
menilai Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak bisa menggantikan
Jokowi.
Alasan
utama yang dikemukakan oleh kelompok yang mendukung pandangan bahwa Ahok
tidak bisa menggantikan Jokowi adalah tidak adanya aturan hukum yang
menentukan bila kepala daerah berhalangan tetap dalam UndangUndang Nomor 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu
Kota Negara Kesatuan RI (UU No 29/2007). Karena ketiadaan aturan tersebut,
didalilkan bahwa kondisi yang terjadi di Jakarta setelah ditinggalkan Jokowi
adalah ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu
No 1/2014).
Penggunaan dalil
Dalam
Pasal 173 ayat (1) Perppu No 1/2014 dinyatakan bahwa dalam hal gubernur,
bupati, dan wali kota berhalangan tetap, wakil gubernur, wakil bupati, dan
wakil wali kota tidak serta-merta menggantikan gubernur, bupati, dan wali
kota. Bagi mereka yang mendalilkan bahwa Ahok tidak bisa menggantikan Jokowi,
ketentuan Pasal 173 ayat (1) Perppu No 1/2014 tersebut berlaku secara absolut
dalam proses pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Jokowi.
Dengan
menggunakan dalil tersebut, mereka menggunakan dalil Pasal 174 (1) dan ayat
(2) Perppu No 1/2014 bahwa apabila gubernur berhenti atau diberhentikan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
sisa masa jabatan kurang dari 18 bulan, presiden menetapkan penjabat gubernur
atas usul menteri (dalam negeri) sampai berakhir nya masa jabatan gubernur.
Kemudian, dalam hal sisa masa jabatan gubernur berhenti atau diberhentikan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan maka dilakukan pemilihan gubernur
melalui DPRD provinsi.
Dengan
menggunakan dasar hukum Pasal 173 dan 174 tersebut, kekuatan politik yang
berdiri dalam cara pandang tersebut menghendaki pengisian jabatan gubernur
lowong yang ditinggalkan Jokowi tidak otomatis jatuh kepada Wakil Gubernur
Ahok. Apalagi, sebagaimana disebut di awal, UU No 29/2007 tidak mengatur pola
pergantian kepala daerah yang berhalangan tetap baik disebabkan alasan
berhenti mau pun diberhentikan. Padahal, Kementerian Dalam Negeri telah
memberi sinyal agar DPRD DKI Jakarta segera melantik Ahok sebagai gubernur
baru menggantikan Jokowi.
Alasan yang keliru
Apabila dilacak
UU No 29/2007, ketentuan ini memang hanya mengatur ihwal pengisian kepala
daerah secara sederhana, yaitu hanya mengatur perbedaan persentase penentuan
pemenang kepala daerah. Dalam hal ini, Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No
29/2007 menyatakan bahwa pasangan calon yang memeroleh suara lebih dari 50%
ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Selanjutnya, dalam
hal tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50%, diadakan
pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh
suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Dengan
pengaturan yang sangat terbatas tersebut dan sekalipun tidak mengatur ihwal
pergantian kepala daerah yang tidak dapat menghabiskan masa tugasnya, adalah
kekeliruan mendasar memberlakukan ketentuan Pasal 173 dan 174 Perppu No
1/2014. Dalam hal ini, pengisian jabatan Gubernur DKI Jakarta harus tunduk
pada ketentuan Pasal 203 ayat (1) Perppu No 1/2014 yang menyatakan bahwa
dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan wali kota yang diangkat
berdasarkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil
bupati, dan wakil wali kota menggantikan gubernur, bupati, dan wali kota
sampai dengan berakhir masa jabatannya.
Ketentuan
ini sangat jelas, kekosongan jabatan Gubernur DKI Jakarta harus diisi oleh
wakil gubernur. Apalagi, UU No 29/2007 hanya mengatur secara terbatas proses
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, UU No
29/2007 sama sekali tidak mengatur ihwal pengangkatan dan pemberhentian
gubernur dan wakil gubernur. Untuk itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No
29/2007, pengangkatan dan pemberhentian tunduk pada ketentuan dalam UU No
32/2004.
Dengan
ketentuan ini, UU No 29/2007 dapat dikatakan pengecualian dari UU No 32/2004.
Artinya, semua materi yang ada dalam UU No 29/2007 adalah bentuk pengecualian
dari UU No 32/2004 dan semua yang tidak diatur dalam UU No 29/2007 tunduk
kepada aturan dalam UU No 32/2004. Karena itu, tidak hanya ihwal wakil
gubernur yang otomatis menjadi gubernur, jabatan wakil gubernur yang segera
kosong karena Ahok menjadi gubernur juga harus diisi merujuk pada UU No
32/2004.
Berdasarkan penjelasan di atas, hanya langkah politisasi hukum saja
yang mungkin menghalangi pengukuhan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Seharusnya,
begitu Jokowi mengundurkan diri, secara hukum, Ahok hanya menunggu langkah
formal menjadi gubernur. Sebagai sebuah negara hukum, mari menggunakan nalar
hukum yang benar dan ucapkan selamat datang untuk Ahok sebagai Gubernur DKI
Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar