Senin, 10 November 2014

Sebelong Bentor (Semau Gue)

Sebelong Bentor (Semau Gue)

Dedi Mulyadi  ;  Bupati Purwakarta
KORAN SINDO, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Dalam pikiran kita pasti sangat teringat peristiwa Reformasi Tahun 1998.

Sebuah emosi yang terbentuk menjadi energi kebangsaan yang dipelopori kaum muda terutama mahasiswa atas ketidakpuasan terhadap dominasi sentralistik kekuasaan yang melahirkan keragaman penyakit sosial yang ditandai dengan dominasi paternalistik yang menggurita menjadi kekuatan ekonomi, kekuatan politik, dan kekuatan sosial kemasyarakatan di bawah satu kendali kekuasaan.

Situasi seperti ini melahirkan negara yang bangkrut. Bangkrut pemikiran, bangkrut imajinasi, bangkrut daya nalar, bangkrut kreativitas, dan bangkrut ekonomi. Segala sesuatu harus dibangun dalam kerangka pendekatan, kedekatan, dan keuangan. Ceuk urang Sunda mah, sagala rupa oge kudu deuheus, kudu deukeut, kudu duit. (Seperti pepatah Sunda, segala rupa mesti dengan pendekatan, kedekatan, dan uang).

Proses reformasi melahirkan stigma kebencian tanpa kendali, seolah-olah apa yang diproduk di era Pak Harto semuanya buruk. Isu KKN telah melumpuhkan sendisendi rasionalitas bangsa, banyak keluarga petinggi negara yang memiliki kemampuan di bidangnya harus disingkirkan karena dianggap bagian dari “penyakit” Orde Baru. Hal yang paling mencolok adalah bergugurannya kaum profesional pada lingkaran keluarga BJ Habibie dari pentas birokrasi, wirausaha, dan lembaga-lembaga strategis lainnya karena dianggap bagian dari sistem yang mencerminkan KKN.

Pada masa itu sekalipun pintar, apabila termasuk keluarga pejabat negara, harus menjadi bodoh dan tak memiliki hak untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya... seperti akan menjadi benar saja negara ini). Saat ini kita sudah masuk pada sebuah peradaban baru sebagai bangsa yang demokratis terbuka, yang meletakkan kerangka hukum sebagai pilar utama keadilan. Kita bisa melihat pentas politik yang terjadi pada saat ini, orang seolah lupa terhadap apa yang diucapkan ketika ingin menjatuhkan rezim Pak Harto.

Dominasi politik yang berbasiskan keluarga hari ini sudah menjadi hal yang sangat biasa dalam sebuah rezim politik. Kita bisa melihat bagaimana sebuah keluarga bisa mentas tanpa batas. Bukan alasan profesionalisme tetapi memang kemampuan finansial merupakan kekuatan utama dalam mengelola rezim demokrasi saat ini. Kalau dulu kita teriak “keluarga pejabat ada di lingkaran kekuasaan”, hari ini justru kita mendukung dengan riang anak, menantu, istri, keponakan, atau siapa pun yang memiliki trah keluarga untuk bersama-sama ada dalam lingkaran kekuasaan.

Tak ada ukuran profesionalisme, kapasitas atau kapabilitas, yang ada adalah ukuran kehendak, keinginan dan alur kekuasaan atas nama power politik yang dimilikinya. Kalau kita membaca keheningan, hari ini ada lonceng kematian pada regenerasi kepemimpinan dan dalam jangka panjang sistem pengambilan keputusan negara hanya akan dikuasai oleh trah-trah rezim politik. Inilah reinkarnasi teokrasi dalam wujud demokrasi.

Perilaku politik yang berkutub pada kuncung akan melahirkan berpikir politik terpusat yang dalam setiap orang nyaris tidak punya gagasan, yang ada adalah hanya sebuah akrobat untuk mengamankan kebijakan sehingga seluruh regulasi politik di kita mudah ditebak dan ke mana dia bermuara. Tetapi gerakan politiknya dilakukan secara sporadis, tidak memiliki panduan konstitusional, hayang untung tina enteng (ingin untung dengan mudah), semua rambu-rambu dilanggar.

Ceuk urang Sunda mah, satabrang-tabrang (kata orang Sunda, tabrak sana tabrak sini). Tidak ada lagi aliran logika ideologis dalam setiap perdebatan yang didasarkan pada nalar filsafat kebangsaan yang diyakininya, nu aya ukur (yang ada hanya) jurus interupsi, jurus nyabok (tampar) meja, jurus banting kursi, jurus banting meja, tepi ka (sampai) jurus maling palu. “Paluna ka mana?”, ceuk Ceu Popong bari ngalengis.. (“Palunya ke mana?” kata Ceu Popong sambil mengiba).

Kebebasan berekspresi dalam ruang publik hari ini menjadi gelora asmara demokrasi tanpa batas. Setiap orang bersuara dengan nyaring, melalui suitan di Twitter, melalui posting pada dinding Facebook, Instagram, BBM, yang merefleksikan bahwa setiap individu bebas untuk bersuara tanpa kendali, tanpa batas. Satu orang bisa memengaruhi banyak orang, satu orang bisa menjelma menjadi ribuan orang, satu orang bisa membuat ribuan banyak akun.

Teuing demokrasi nanahaon ieu teh, hiji jalma bisa jadi rebuan jalma, asa dinu abad wayang wae ieu mah... nu boga elmu kieu teh apan Rahwana, bisa malih warna, jadi sapuluh rupa, sarebu rupa, sapuluh rebu rupa, tepi ka mangrupa-rupa... Ah, rupa-rupa wae ieu mah... (entah demokrasi macam apa ini, satu orang bisa menjadi ribuan orang, serasa dalam dunia pewayangan saja... Yang punya ilmu macam ini kan Rahwana, yang mampu beralih warna, menjadi sepuluh, seribu, sepuluh ribu rupa sampai bermacam-macam... ah, ada-ada saja).

Para pemimpin menjadikan media ini menjadi rujukan pengambilan keputusan, satu orang dengan sepuluh ribu suitan bisa membuat kuping presiden, kuping menteri sampai kuping bupati menjadi panas, matanya bisa memerah, darahnya mendidih, tangannya gemetar sehingga bisa jadi penuh percaya diri atau gamang dalam mengambil keputusan. Hebat kan? Sehingga kita hari ini mendengar ada yang disebut dengan darurat Twitter .

Artinya, terjadi ketidakstabilan situasi di dalam smartphone , tablet , laptop , dan komputer desktop . Status darurat itu tidak akan pernah mengalami penurunan dengan diturunkannya satuan elite seperti Kopassus, Marinir, Brimob atau Paskhas sekalipun. Tetapi semuanya akan reda... manakala baterai habis, pulsanya tidak dibayar, atawa lamun pusing-pusing teuing, nya paehan we ogan lopianana ... (atau kalau sudah terlalu pusing, ya matikan saja gawainya).

Kebergantungan keputusan pada sistem seperti ini, yang menggunakan media sosial memang melahirkan kecepatan birokrasi, keterbukaan publik, dan objektivitas, tetapi kalau tidak dikelola dengan baik, analisisnya tidak tajam, nalarnya tidak bekerja, nuraninya tidak jernih, maka akan meminggirkan akal-akal sehat kita.

Betapa tidak, karunya atuh ka (kasihan dong) Mang Udin, Ceu Icih, Mang Koko, Bah Amud, Ceu Titin, ku lantaran unggal poe (karena setiap harinya) di sawah jeung di kebon , di gunung jeung di leuweung (hutan), di walungan (sungai) jeung di laut, euweuh waktu kudu ngupdate status pikiran jeung kahayangna (tidak punya waktu untuk update status pikiran dan keinginannya). Pada akhirnya kelompok ini menjadi masyarakat yang tidak teperhatikan, bahkan tidak bisa memberikan warna pada pikiran para pemimpin yang menjadi harapannya.

Apabila kita beranggapan bahwa demokrasi mengajarkan kesetaraan, tidak boleh ada dominasi minoritas atas mayoritas atau sebaliknya, maka semestinya para pemimpin tidak hanya mengandalkan indera pendengaran dan penglihatannya saja dalam membuat rule seluruh kebijakan, tetapi menggunakan indera rasa yang mampu mendengar dari relung batin yang paling dalam terhadap berbagai gejala sosial yang dialami oleh masyarakat yang tidak pernah bersuara tapi sulit juga ya, pemimpin meng-update rasanya dalam keheningan karena tiap ada waktu senggang harus menjawab seluruh kicauan, tepi ka sok poho di gigireun aya pamajikan (sampai kadang lupa kalau di samping ada istri).

Pamajikan ge saruana, update status terus tepi ka poho ka salaki. (Istrinya juga sama saja, update status terus sampai lupa pada suami). Tapi sejelek-jeleknya zaman Pak Harto, yang dianggap korup, masih ada menteri yang dikenal bersih seperti Marie Muhamad, Sarwono Kusumaatmadja, Emil Salim, menteri pemikir seperti Mochtar Kusumaatmajda, Munawir Sadjali, panglima TNI yang merakyat seperti Jenderal TNI M Yusuf, atau orang jenius seperti BJ Habibie.

Zaman itu berbekas dalam ingatan, menteri penerangannya lihai berbicara, menteri sekretaris negaranya jarang berbicara, menristeknya berjalan cepat dengan mata berbinar dan lancar berbicara). Sok coba urang jawab sing jujur (coba kita jawab dengan jujur), dari semenjak reformasi sampai sekarang, ingat nggak pada karakter menteri pada setiap kabinet yang sudah dilalui.

Rarasaan mah ngaranna oge teu nyaho... (Rasa-rasanya, namanya saja tidak tahu...). Piye kabare? Enak zamanku toh? Ah, henteu ... (Apa kabar? Lebih enak zamanku kan? Ah, tidak...) sebab kalau pada zaman itu saya tidak bakal kebagian jadi bupati, Pak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar