Sebelong
Bentor (Semau Gue)
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 10 November 2014
Dalam pikiran kita pasti sangat teringat peristiwa Reformasi
Tahun 1998.
Sebuah emosi yang terbentuk menjadi energi kebangsaan yang
dipelopori kaum muda terutama mahasiswa atas ketidakpuasan terhadap dominasi
sentralistik kekuasaan yang melahirkan keragaman penyakit sosial yang
ditandai dengan dominasi paternalistik yang menggurita menjadi kekuatan
ekonomi, kekuatan politik, dan kekuatan sosial kemasyarakatan di bawah satu
kendali kekuasaan.
Situasi seperti ini melahirkan negara yang bangkrut. Bangkrut
pemikiran, bangkrut imajinasi, bangkrut daya nalar, bangkrut kreativitas, dan
bangkrut ekonomi. Segala sesuatu harus dibangun dalam kerangka pendekatan,
kedekatan, dan keuangan. Ceuk urang
Sunda mah, sagala rupa oge kudu deuheus, kudu deukeut, kudu duit.
(Seperti pepatah Sunda, segala rupa mesti dengan pendekatan, kedekatan, dan uang).
Proses reformasi melahirkan stigma kebencian tanpa kendali,
seolah-olah apa yang diproduk di era Pak Harto semuanya buruk. Isu KKN telah
melumpuhkan sendisendi rasionalitas bangsa, banyak keluarga petinggi negara
yang memiliki kemampuan di bidangnya harus disingkirkan karena dianggap
bagian dari “penyakit” Orde Baru. Hal yang paling mencolok adalah
bergugurannya kaum profesional pada lingkaran keluarga BJ Habibie dari pentas
birokrasi, wirausaha, dan lembaga-lembaga strategis lainnya karena dianggap
bagian dari sistem yang mencerminkan KKN.
Pada masa itu sekalipun pintar, apabila termasuk keluarga
pejabat negara, harus menjadi bodoh dan tak memiliki hak untuk mengembangkan
ilmu pengetahuannya... seperti akan menjadi benar saja negara ini). Saat ini
kita sudah masuk pada sebuah peradaban baru sebagai bangsa yang demokratis
terbuka, yang meletakkan kerangka hukum sebagai pilar utama keadilan. Kita
bisa melihat pentas politik yang terjadi pada saat ini, orang seolah lupa
terhadap apa yang diucapkan ketika ingin menjatuhkan rezim Pak Harto.
Dominasi politik yang berbasiskan keluarga hari ini sudah
menjadi hal yang sangat biasa dalam sebuah rezim politik. Kita bisa melihat
bagaimana sebuah keluarga bisa mentas tanpa batas. Bukan alasan
profesionalisme tetapi memang kemampuan finansial merupakan kekuatan utama
dalam mengelola rezim demokrasi saat ini. Kalau dulu kita teriak “keluarga
pejabat ada di lingkaran kekuasaan”, hari ini justru kita mendukung dengan
riang anak, menantu, istri, keponakan, atau siapa pun yang memiliki trah
keluarga untuk bersama-sama ada dalam lingkaran kekuasaan.
Tak ada ukuran profesionalisme, kapasitas atau kapabilitas, yang
ada adalah ukuran kehendak, keinginan dan alur kekuasaan atas nama power politik yang dimilikinya. Kalau kita
membaca keheningan, hari ini ada lonceng kematian pada regenerasi
kepemimpinan dan dalam jangka panjang sistem pengambilan keputusan negara
hanya akan dikuasai oleh trah-trah rezim politik. Inilah reinkarnasi teokrasi
dalam wujud demokrasi.
Perilaku politik yang berkutub pada kuncung akan melahirkan
berpikir politik terpusat yang dalam setiap orang nyaris tidak punya gagasan,
yang ada adalah hanya sebuah akrobat untuk mengamankan kebijakan sehingga
seluruh regulasi politik di kita mudah ditebak dan ke mana dia bermuara.
Tetapi gerakan politiknya dilakukan secara sporadis, tidak memiliki panduan
konstitusional, hayang untung tina enteng (ingin untung dengan mudah), semua
rambu-rambu dilanggar.
Ceuk urang Sunda mah,
satabrang-tabrang (kata orang Sunda, tabrak sana
tabrak sini). Tidak ada lagi aliran logika ideologis dalam setiap perdebatan
yang didasarkan pada nalar filsafat kebangsaan yang diyakininya, nu aya ukur (yang ada hanya) jurus
interupsi, jurus nyabok (tampar)
meja, jurus banting kursi, jurus banting meja, tepi ka (sampai) jurus maling palu. “Paluna ka mana?”, ceuk Ceu Popong bari ngalengis.. (“Palunya ke
mana?” kata Ceu Popong sambil mengiba).
Kebebasan berekspresi dalam ruang publik hari ini menjadi gelora
asmara demokrasi tanpa batas. Setiap orang bersuara dengan nyaring, melalui
suitan di Twitter, melalui posting pada dinding Facebook, Instagram, BBM,
yang merefleksikan bahwa setiap individu bebas untuk bersuara tanpa kendali,
tanpa batas. Satu orang bisa memengaruhi banyak orang, satu orang bisa
menjelma menjadi ribuan orang, satu orang bisa membuat ribuan banyak akun.
Teuing demokrasi nanahaon
ieu teh, hiji jalma bisa jadi rebuan jalma, asa dinu abad wayang wae ieu
mah... nu boga elmu kieu teh apan Rahwana, bisa malih warna, jadi sapuluh
rupa, sarebu rupa, sapuluh rebu rupa, tepi ka mangrupa-rupa... Ah, rupa-rupa
wae ieu mah... (entah demokrasi macam apa
ini, satu orang bisa menjadi ribuan orang, serasa dalam dunia pewayangan
saja... Yang punya ilmu macam ini kan Rahwana, yang mampu beralih warna,
menjadi sepuluh, seribu, sepuluh ribu rupa sampai bermacam-macam... ah,
ada-ada saja).
Para pemimpin menjadikan media ini menjadi rujukan pengambilan
keputusan, satu orang dengan sepuluh ribu suitan bisa membuat kuping
presiden, kuping menteri sampai kuping bupati menjadi panas, matanya bisa
memerah, darahnya mendidih, tangannya gemetar sehingga bisa jadi penuh
percaya diri atau gamang dalam mengambil keputusan. Hebat kan? Sehingga kita
hari ini mendengar ada yang disebut dengan darurat Twitter .
Artinya, terjadi ketidakstabilan situasi di dalam smartphone ,
tablet , laptop , dan komputer desktop . Status darurat itu tidak akan pernah
mengalami penurunan dengan diturunkannya satuan elite seperti Kopassus,
Marinir, Brimob atau Paskhas sekalipun. Tetapi semuanya akan reda... manakala
baterai habis, pulsanya tidak dibayar, atawa
lamun pusing-pusing teuing, nya paehan we ogan lopianana ... (atau kalau
sudah terlalu pusing, ya matikan saja gawainya).
Kebergantungan keputusan pada sistem seperti ini, yang
menggunakan media sosial memang melahirkan kecepatan birokrasi, keterbukaan
publik, dan objektivitas, tetapi kalau tidak dikelola dengan baik,
analisisnya tidak tajam, nalarnya tidak bekerja, nuraninya tidak jernih, maka
akan meminggirkan akal-akal sehat kita.
Betapa tidak, karunya atuh
ka (kasihan dong) Mang Udin, Ceu Icih, Mang Koko, Bah Amud, Ceu Titin, ku lantaran unggal poe (karena setiap
harinya) di sawah jeung di kebon ,
di gunung jeung di leuweung (hutan), di walungan (sungai) jeung di laut, euweuh waktu kudu ngupdate status pikiran
jeung kahayangna (tidak punya waktu untuk update status pikiran dan
keinginannya). Pada akhirnya kelompok ini menjadi masyarakat yang tidak
teperhatikan, bahkan tidak bisa memberikan warna pada pikiran para pemimpin
yang menjadi harapannya.
Apabila kita beranggapan bahwa demokrasi mengajarkan kesetaraan,
tidak boleh ada dominasi minoritas atas mayoritas atau sebaliknya, maka
semestinya para pemimpin tidak hanya mengandalkan indera pendengaran dan
penglihatannya saja dalam membuat rule seluruh kebijakan, tetapi menggunakan
indera rasa yang mampu mendengar dari relung batin yang paling dalam terhadap
berbagai gejala sosial yang dialami oleh masyarakat yang tidak pernah
bersuara tapi sulit juga ya, pemimpin meng-update rasanya dalam keheningan
karena tiap ada waktu senggang harus menjawab seluruh kicauan, tepi ka sok
poho di gigireun aya pamajikan (sampai kadang lupa kalau di samping ada
istri).
Pamajikan ge saruana,
update status terus tepi ka poho ka salaki.
(Istrinya juga sama saja, update status terus sampai lupa pada suami). Tapi
sejelek-jeleknya zaman Pak Harto, yang dianggap korup, masih ada menteri yang
dikenal bersih seperti Marie Muhamad, Sarwono Kusumaatmadja, Emil Salim,
menteri pemikir seperti Mochtar Kusumaatmajda, Munawir Sadjali, panglima TNI
yang merakyat seperti Jenderal TNI M Yusuf, atau orang jenius seperti BJ
Habibie.
Zaman itu berbekas dalam ingatan, menteri penerangannya lihai
berbicara, menteri sekretaris negaranya jarang berbicara, menristeknya
berjalan cepat dengan mata berbinar dan lancar berbicara). Sok coba urang jawab sing jujur (coba kita
jawab dengan jujur), dari semenjak reformasi sampai sekarang, ingat nggak
pada karakter menteri pada setiap kabinet yang sudah dilalui.
Rarasaan mah ngaranna oge
teu nyaho... (Rasa-rasanya, namanya saja
tidak tahu...). Piye kabare? Enak zamanku
toh? Ah, henteu ... (Apa kabar? Lebih enak zamanku kan? Ah, tidak...)
sebab kalau pada zaman itu saya tidak bakal kebagian jadi bupati, Pak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar