Senin, 10 November 2014

Penculik Itu Pahlawan

Penculik Itu Pahlawan

Bandung Mawardi  ;  Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


DAFTAR pahlawan di Indonesia bertambah sejak Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2014. Empat tokoh diresmikan sebagai pahlawan nasional: Djamin Gintings, Moehammad Mangoendiprojo, Abdul Wahab Chasbullah, dan Soekarni Kartodiwirjo. Mereka dianggap memberikan jasa besar untuk pembentukan dan pemuliaan Indonesia. Pahlawan tak cuma nama. Pahlawan adalah tokoh bergelimang cerita dan pemaknaan kejadian sejarah.

Soekarni (1916–1971) dijadikan pahlawan berdalih memberi jasa merumuskan naskah proklamasi dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Di buku pelajaran dan buku sejarah, kita sering mengingat bahwa Soekarni adalah penculik. Kini kita mulai merenung ulang kepantasan penculik menjadi pahlawan. Sejarah Indonesia memang sejarah penculikan. Sejak puluhan tahun silam penculikan menentukan nasib Indonesia. Peran si penculik pun turut menentukan arah sejarah.

Brian M. dalam buku The Indonesian Tragedy (1978) memberi tamsil politik, ”Indonesia dilahirkan setelah penculikan, dilahirkan kembali dalam kudeta dan dibaptis dengan darah pembantaian.” Penculikan itu tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa Rengasdengklok, 16 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta diculik kaum muda revolusioner (S. Sasaki Shiraisi, Pahlawan-Pahlawan Belia, 2001). Penculikan terus terjadi dalam penentuan nasib Indonesia. Malapetaka 1965 mencatat penculikan para jenderal. Tragedi 1998 mencatat penculikan kaum penggerak demokrasi. Penculikan demi penculikan memunculkan tokoh dan perubahan arah sejarah kekuasaan.

Penculik

Penculikan pada 16 Agustus 1945 mencatat tiga tokoh sebagai inisiator: Soekarni dan Chaerul Saleh. Soekarni pun menjadi pelaku penculikan. Kita bisa membuka halaman-halaman sejarah sesuai kesaksian Soekarno, Ahmad Soebardjo, Adam Malik, Soediro, dan Mohammad Hatta. Soekarno mendeskripsikan kedatangan Soekarni mirip ”petualang sejati”. Di rumah Soekarno si penculik itu muncul membawa pisau panjang dan pistol. Soekarni meminta Soekarno bersiap untuk diangkut ke Rengasdengklok. Soekarno menuruti meski sempat marah dan memberi bantahan bahwa revolusi kaum muda itu bakal gagal. Soekarno menduga bakal gagal jika menjalankan siasat revolusi kaum muda. Kegagalan bisa membuat para pemimpin ”kehilangan kepala” alias mati (C. Adams, 1966). Soekarno mengenang bahwa tindakan kaum muda itu ”patriotik jang besar” untuk menjalankan ”drama sungguh-sungguh”. Sejarah memang tercipta dari keberanian dan kenekatan kaum muda revolusioner.

Hatta malah menganggap kejadian 16 Agustus 1945 mulai menjadi ”dongeng atau legenda”, tak mengacu ke sejarah berdasar fakta-fakta. Sebaran dongeng atau legenda itu akibat publikasi buku M. Dimjati berjudul Sedjarah Perdjuangan Indonesia dan buku Adam Malik berjudul Riwajat Proklamasi 17 Agustus 1945. Hatta memerlukan memberi informasi-informasi berharapan agar publik mengenang kejadian 16 dan 17 Agustus 1945 sebagai ”realitet”. Hatta dalam buku Sekitar Proklamasi (1970) memberi kesaksian bahwa kedatangan Soekarni bermisi menculik. Kejadian berlangsung saat Hatta sedang sahur. Soekarni dan para pemuda datang ke rumah, bermaksud menculik Hatta agar bisa dikeluarkan dari Jakarta. Mereka bertindak dengan nafsu revolusioner. Mereka ingin memaksa Soekarno-Hatta membuat proklamasi untuk Indonesia tanpa penundaan dan intervensi Jepang. Hatta memberi sangkalan bahwa rencana Soekarni dan kaum muda itu ”fantasi belaka dan akan terbentur realitas”. Soekarni tak menggubris. Hatta tetap dibawa ke Rengasdengklok, 16 Agustus 1945. 

Soekarni dan kaum muda revolusioner berhasil menculik Soekarno-Hatta. Di Rengasdengklok para penggerak politik kebangsaan diharapkan bisa merumuskan proklamasi sesuai rencana kaum muda. Militer Jepang telah ambruk. Situasi politik mesti ditanggapi dengan proklamasi. Kaum muda mendapat tuduhan sebagai penganut fantasi, tetapi bergairah menciptakan sejarah. Penculikan telah berhasil meski detik-detik sejarah masih memiliki seribu kemungkinan dan jebakan. Soekarni menampilkan diri sebagai pemuda sangar. Soekarno dan Hatta perlahan memaklumi meski bermula dengan peremehan.

Abdi Revolusi

Siapa Soekarni? Adam Malik (1970) menginformasikan bahwa Soekarni pernah bekerja di Sendenbu atau Barisan Propaganda pada masa pendudukan Jepang. Soekarni juga pernah menjadi anggota Pengurus Besar Indonesia Muda pada masa penjajahan Belanda. Soekarni menggerakkan agenda-agenda kemerdekaan secara ilegal, berbeda dengan tata cara Jepang dengan membentuk PPKI. Soediro dalam buku Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945 (1972) mengimbuhi informasi bahwa Soekarni terlibat dalam pembentukan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia, 15 Juni 1945. Tujuan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia, ”Mempersiapkan dan menjediakan tenaga Angkatan Baroe Indonesia oentoek membangoen Negara Kesatoean Repoeblik Indonesia jang berdasarkan kedaoelatan rakjat.” Soekarni, Wikana, Chaerul Saleh, Asmara Hadi, B.M. Diah, dan Harsono Tjokroaminoto tampil sebagai pemuka untuk mewujudkan kemerdekaan. Mereka bergerak dengan kaum muda revolusioner.

Peran kaum muda memang penting dalam detik-detik menegangkan sebelum pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945. Ben Anderson dalam buku Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944–1946 (1988) memberi keterangan gamblang bahwa kaum muda mencipta Indonesia secara revolusioner. Mereka bersaing dengan ambisi dan narasi politik kaum tua. Kita bisa membedakan kaum muda dan kaum tua melalui aksi penculikan, keanggotaan di PPPKI dan BPUKI, serta pembentukan kabinet. Sejak 1944 kaum muda telah membuat rancangan dan aksi revolusioner meski tetap mendapat pengaruh dari keteladanan kaum tua. Mereka memilih jalan berisiko ketimbang menuruti perintah-perintah pembentukan institusi dan menerima janji kemerdekaan dari Jepang. Sejarah pada masa 1945 sangat ditentukan peran kaum muda. Anderson menjelaskan, ”Peranan pokok angkatan muda pada permulaan revolusi nasional Indonesia tahun 1945 adalah kenyataan politik paling menonjol.”

Soekarni termasuk sebagai pemuka dan penggerak dari ambisi revolusioner kaum muda. Jejak politik Soekarni membuktikan konsistensi mencapai kemerdekaan. Soediro (1978) mengakui Soekarni sebagai tokoh penting dalam mempropagandakan gagasan Indonesia merdeka dan mengarahkan opini rakyat. Kita memerlukan deskripsi untuk mengenali raga dan penampilan Soekarni. Soediro mengenang, ”Ia masih muda, berumur sekitar 35 tahun, tampan, berpundak lebar dan berdada bidang.” Kehadiran di gelanggang pergerakan kebangsaan sering menjadikan Soekarni sebagai incaran pemerintah kolonial. Soediro memberi penjelasan bahwa Soekarni menguasai seni mengubah wajah. Seni itu membuat Soekarni sering lolos dari sergapan polisi rahasia Belanda. Soekarni selalu menginginkan diri sebagai ”abdi revolusi”, mengorbankan diri demi Indonesia.

Kini, 69 tahun telah berlalu. Ingatan kita tentang kejadian 16 dan 17 Agustus 1945 mulai menempatkan Soekarni sebagai tokoh penting. Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab (1978) mengingat kejadian menegangkan setelah rumusan proklamasi selesai. Soekarno dan Hatta menawarkan dokumen bersejarah itu ditandatangani orang-orang saat mengikuti malam revolusioner di rumah Maeda. Orang-orang diam atau takut memberi jawab.

Soekarni memberi jawab seusai keheningan bahwa tak semua orang harus ikut menandatangani naskah proklamasi. Soekarni malah menganjurkan agar Soekarno-Hatta saja yang menandatangani naskah atas nama seluruh rakyat Indonesia. Sejarah proklamasi tak cuma Soekarno dan Hatta. Soekarni telah diangkat sebagai pahlawan melalui peran penculikan dan usulan atas persetujuan naskah proklamasi. Soekarni tak ikut memberi tanda tangan, tapi memberi kelegaan dan usulan simbolis mengenai ”atas nama rakyat Indonesia.” Kini si penculik itu pahlawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar