Merumuskan
Kembali Peran Indonesia di ASEAN
Shofwan Al Banna Choiruzzad ; Sekretaris Eksekutif ASEAN Study Center
FISIP UI
|
KORAN
SINDO, 10 November 2014
Sebagai negara anggota dengan luas wilayah, jumlah penduduk, dan
ukuran ekonomi yang terbesar di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang
sangat menentukan masa depan ASEAN.
Tanpa Indonesia, asosiasi negara-negara Asia Tenggara yang tahun
2014 ini sudah berusia 47 tahun itu kehilangan sekitar 40% dari penduduknya
dan sekitar 40% dari luas daratannya. TanpaIndonesia, kata Walter Lohman,
ASEAN akan kehilangan relevansinya dannegara-negaraAsia Tenggara harus
mengandalkan dirinya sendiri untuk bertahan di tengah bangkitnya Tiongkok dan
upaya Amerika Serikat untuk memperkuat kehadirannya di kawasan.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk melakukan refleksi
terhadap peran Indonesia di dalam ASEAN dan peran ASEAN di dalam politik luar
negeri Indonesia.
Kesenjangan Persepsi dan
Perbuatan
Selama ini, posisi sentral ASEAN di dalam politik luar negeri
Indonesia merupakan sesuatu yang diterima tanpa pertanyaan. Di dalam
lingkaran konsentris yang menggambarkan prioritas politik luar negeri
Indonesia, para diplomat Indonesia juga menempatkan ASEAN di dalam lingkaran
konsentris yang pertama.
Namun, seperti juga di dalam beragama, yang mengikrarkan
kepercayaan dengan paling keras tidak selalu menjadi orang yang paling taat
dalam menjalankan kepercayaannya. Dalam hal ini, kita sering menemukan
kesenjangan di antara pandangan bahwa “ASEAN adalah prioritas” dengan
upaya-upaya mobilisasi sumber daya dan perencanaan untuk memanfaatkan ASEAN
sebagai sarana utama di dalam kebijakan luar negeri Indonesia untuk mewujudkan
kepentingan rakyat Indonesia.
Salah satu contoh yang dapat diambil adalah mengenai kesiapan
Indonesia menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Dalam rapat koordinasi
para pemangku kepentingan berkaitan dengan Komunitas ASEAN 2015, Maret 2014,
pemerintah menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang relatif lebih
siap dibandingkan dengan negara-negara anggota yang lain. Indonesia, menurut
data dari pemerintah, telah memenuhi 84,4% dari seluruh komitmen yang
disepakati untuk dilakukan oleh negaranegara anggota ASEAN di dalam Cetak
Biru Komunitas Ekonomi ASEAN.
Angka ini jauh di atas negara-negara anggota yang lain yang
rata-rata baru memenuhi 79,6%-nya saja. Namun, apakah angkaangka tersebut
merupakan ukuran yang tepat untuk menilai kesiapan Indonesia menghadapi
Komunitas ASEAN? Apakah kalau kita mematuhi kesepakatan, berarti otomatis
kita sudah siap melakukan kesepakatan tersebut?
Apakah kalau kita sudah menyepakati satu tindakan liberalisasi
terhadap satu sektor tertentu, berarti kita memang sudah siap dengan
dampak-dampak negatifnya terhadap industri domestik dan menyiapkan
mitigasinya serta mengoptimalkan manfaatnya? Ada mata rantai yang terputus.
Mengukur “kesiapan” dengan tingkat “kepatuhan pada komitmen
dalam Cetak Biru” menghilangkan diskusi tentang kebijakan-kebijakan apa yang
telah dan akan diambil untuk mengoptimalkan manfaat dan mengendalikan dampak
dari pelaksanaan komitmen tersebut.
Sebagai contoh, kepatuhan Indonesia pada komitmen - komitmen
Komunitas Ekonomi ASEAN sangat tinggi, namun penelitian yang dilakukan oleh
ASEAN Study Center FISIP UI yang dilakukan terhadap para tenaga kerja
terampil Indonesia (2013) dan penelitian yang dilakukan oleh CIRES UI
terhadap pemerintah daerah (2014) menunjukkan bahwa pemahaman dan kesiapan
dari pihak-pihak yang akan terdampak dengan berlakunya komitmen-komitmen
tersebut masih sangat terbatas.
Hal ini sedikit banyak menggambarkan peran kepemimpinan Indonesia
di ASEAN yang “sektorial” (Emmers, 2014).
Dengan posisinya sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, kepemimpinan
Indonesia hanya terbatas pada sektor politik dan keamanan, yang capaiannya
sering kali abstrak. Sementara itu, di sektor ekonomi, yang capaian dan
dampaknya lebih dapat diukur dan memberikan dampak langsung pada masyarakat,
peran kepemimpinan justru dimainkan oleh negaranegara lain (Emmers, 2014).
Hal ini membuat Indonesia, di bidang ekonomi, lebih banyak
“menyesuaikan diri” terhadap arah yang telah digariskan oleh
kekuatan-kekuatan lain. Tandanya seperti terpecah-pecahnya koordinasi untuk
menghadapi atau memanfaatkan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 nanti.
Lebih Kuat
Berangkat dari pemahaman tersebut, ada beberapa langkah atau
kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia berkaitan dengan
ASEAN. Pertama, Indonesia harus membangun ASEAN yang lebih kuat, namun dengan
penguatan yang lebih terukur dan realistis. Saya memiliki pandangan yang sama
dengan pandangan arus utama yang melihat bahwa ASEAN sebaiknya tetap
dipertahankan.
Seperti disampaikan oleh Stephen Krasner, salah satu cara
negaranegara bukan adidaya untuk menghindar dari dampakdampak negatif dari
keriuhan power politics adalah
membangun rezim internasional yang otoritatif (Krasner, 1985). Meskipun
demikian, upaya penguatan ASEAN dan sentralitas ASEAN harus dilakukan dengan
terukur.
Upaya membuat ASEAN lebih kuat tidak boleh disusun hanya
berdasarkan keinginan dan target-target yang muluk dan terlihat hebat namun
membuat negaranegara anggotanya pontangpanting untuk mengikutinya sampai pada
titik mengorbankan kepentingan nasional atau melompati proses konsultasi
dengan pemangku kepentingan di dalam negeri masingmasing.
Kedua, Indonesia harus membangun kepemimpinan yang lebih
menyeluruh di ASEAN, terutama di dalam bidang ekonomi yang memberikan dampak
yang jelas pada kehidupan rakyat Indonesia. Hal ini penting untuk memastikan
bahwa agenda-agenda yang diusung di dalam integrasi kawasan benar-benar
membawa manfaat bagi Indonesia. Sebagai contoh, selama ini agenda-agenda
pembangunan infrastruktur dalam rangka mendorong konektivitas ASEAN (ASEAN Connectivity) didominasi oleh
infrastruktur darat.
Padahal, mayoritas wilayah Indonesia dan keterhubungannya dengan
negara-negara ASEAN yang lain dilakukan melalui wilayah perairan. Indonesia
harus benar-benar merumuskan kepentingan nasionalnya dan memperjuangkannya
melalui ASEAN. Ketiga, Indonesia harus menyelaraskan kepentingan nasional
dengan agenda yang diusung melalui ASEAN. Kepemimpinan Indonesia yang lebih
utuh hanya dapat terwujud jika para pelaku kebijakan luar negeri kita
benar-benar mengetahui kepentingan nasional kita dengan capaian-capaian yang
terukur.
Hal ini hanya dapat diwujudkan dengan koordinasi yang baik di
antara berbagai pemangku kepentingan di dalam negeri. Upaya ini tentu
melibatkan lembaga-lembaga yang mengurusi hubungan dengan negara lain
(Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan) maupun yang berkaitan
dengan kebijakan-kebijakan domestik (Kementerian Perindustrian, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Kementerian Koperasi dan UKM, pemerintah-pemerintah daerah, kalangan bisnis,
asosiasi-asosiasi profesi, dan sebagainya).
Harus ada koordinasi yang baik di antara lembaga-lembaga
pemerintah dari hulu hingga ke hilir. Dalam konteks ini, kepemimpinan dari
presiden menjadi kunci penting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar