REFLEKSI
HARI PAHLAWAN KE-69
Republik Tanpa
Pahlawan
Moh Yamin ; Dosen
di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin
|
SINAR
HARAPAN, 11 November 2014
Pertanyaan kolektif yang selalu muncul dalam benak kita semua
pascaperjuangan para pahlawan di era 1945 adalah, siapakah para pahlawan ke
depan yang akan terus bekerja atas nama bangsa dan rakyat Siapakah para
pahlawan yang akan terus meneriakkan kemerdekaan atas nama hak segala bangsa
Siapakah yang pantas disebut pahlawan yang rela berkorban nyawa, raga, dan
harta bendanya
Tentunya, sejumlah pertanyaan mendasar tersebut kemudian patut
menjadi refleksi kritis bersama, bahwa ternyata menemukan para pahlawan dalam
kondisi kekinian, ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Tidak banyak
yang kemudian meletakkan idealisme sebagai alat perjuangan. Tidak banyak yang
memosisikan dirinya sebagai kelompok yang berbicara atas nama kebangsaan dan
kerakyatan.
Kalau kita kemudian mencoba mengingat momen 10 November 1945,
yang menjadi momentum bersejarah bagi tegaknya kedaulatan bangsa, masa
tersebut memberikan semangat memukau dan menakjubkan kala sekelompok orang
Belanda berkehendak kembali ingin menjajah Indonesia. Namun, hal tersebut
kemudian dimentahkan oleh gerakan kaum pemuda, yang saat itu diawali pemuda
Surabaya, selanjutnya mendorong semua pemuda Indonesia di Tanah Air untuk
ikut bersama memperkuat kekuatan gerakan tersebut, dengan membentengi seluruh
daerah Pertiwi dari para penjajah.
Pertanyaan yang kemudian patut diajukan kembali kepada kita
semua adalah, apakah kita yang sudah menghirup kemerdekaan dan sudah
menikmati segala bentuk kemerdekaan sebagai hasil perjuangan para pahlawan,
telah memberikan kontribusi besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ke
depannya Apakah kita sudah bisa mengambil nilai-nilai kepahlawanan (heroisme)
agar kemudian bisa dipraksiskan dalam kehidupan nyata, terutama bagi para
pemuda yang berada dalam lingkar kekuasaan, bagi mereka yang memegang jabatan
dan lain sejenisnya
Ironisnya, bila didasarkan pada realitas yang berlangsung saat
ini, kenyataan menunjukkan secara telanjang bulat, bahwa cara pandang manusia
Indonesia saat ini sudah sangat pragmatis. Apa yang mereka lakukan kemudian
harus bisa menghasilkan sesuatu yang menguntungkan bagi diri dan kelompoknya.
Mereka tidak memperhatikan sama sekali, bahwa apa yang mereka
lakukan kemudian semakin menghancurkan kondisi bangsa dalam segala hal. Lihat
saja, korupsi terjadi di mana-mana dan itu berlangsung dengan sedemikian
masif di semua lini kehidupan. Seolah tanpa berkorupsi, mereka bukanlah
manusia hebat dan luar biasa hebat.
Lebih ironis lagi, ternyata korupsi yang ditunaikan pun juga
menular kepada banyak sisi kehidupan. Sudah tidak ada lagi manusia-manusia
Indonesia yang berbicara atas nama kebenaran, keagungan hidup, dan
menunjukkan keteladanan hidup kepada sesama. Sudah tidak ada lagi
manusia-manusia suci yang mau bertindak atas dasar nurani kemanusiaan demi
mengangkat harkat dan martabat manusia.
Kini, manusia-manusia Indonesia sudah menutup mata dan telinga
terhadap pelbagai penderitaan yang dihadapi bangsanya. Sudah tidak ada
sejumlah manusia yang dapat menjulurkan tangannya untuk bisa menolong orang
lain.
Realitas ini tentunya menjadi fakta bersama, memang sudah tidak
ada yang bernama generasi pahlawan-pahlawan ke depan di republik ini. Inilah
yang kemudian disebut republik tanpa pahlawan. Diakui maupun tidak, kita
memiliki para pemuda cerdas, para pejabat hebat, para politikus hebat, para
pendekar hukum mumpuni, dan lain sejenisnya. Namun, mereka sudah tidak peka
terhadap persoalan-persoalan kebangsaan dan kerakyatan yang harus dituntaskan
(baca realitas).
Esensi Pahlawan
Secara etimologis, kata “pahlawan” berasal dari bahasa Sanskerta
“phala”, yang bermakna hasil atau buah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), pahlawan merupakan seseorang yang menonjol karena memiliki keberanian
dan jiwa pengorbanan untuk membela kebenaran dengan gagah berani.
Oleh karenanya, pahlawan dalam konteks ini adalah ketika ia
mampu berjuang dan bekerja secara ikhlas. Pahlawan yang mampu berjuang atas
nama bangsa dan negara adalah ketika ia mampu menerjemahkan segala realitas
keluh kesah rakyat dalam aksi nyata.
Pahlawan yang menjadi teladan bersama adalah ketika ia bisa
berjuang dari awal hingga akhir. Ia selalu konsisten atas setiap prinsip yang
dipegangnya. Ia berada di jalan yang lurus walaupun jiwanya terancam.
Pahlawan yang sesungguhnya adalah ketika ia bisa bersuara
lantang tanpa takut kepada penguasa. Ia tidak memerlukan tepuk tangan dari
publik atas jasanya. Namanya pun tidak butuh diukir dalam sejarah perjuangan
bangsa. Ia juga tidak berpikir sama sekali, bahwa bila ia meninggal dalam
peperangan kemudian harus dibukukan dalam sejarah perjuangan bangsa.
Pertanyaan terakhir adalah masih adakah pahlawan di republik ini
yang masih memiliki mimpi besar dan agung dalam memperjuangkan kedaulatan
bangsa
Terlepas apa pun jawabannya, kita selalu mengharapkan ke depan
akan tetap muncul pahlawan yang memang benar-benar pahlawan (bukan pahlawan
kesiangan yang hanya mencari sensasi dan pencitraan).
Refleksi Kritis bagi
Parlemen
Parlemen sedang mengalami kegaduhan yang sangat memalukan dan
memilukan. Fraksi-fraksi yang berada di kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan
Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sedang bertikai terkait kursi dan kekuasaan.
Fakta politiknya berawal dari kemenangan KMP dalam merebut kursi
ketua dan wakil ketua DPR. Ini kemudian dilanjutkan dengan sapu bersih
pemimpin Alat Kelengkapan Dewan (AKD) oleh KMP. Akibat hal tersebut, KIH
kemudian merasa kecewa secara politik, akibat tidak mendapatkan jatah kursi
pemimpin di AKD sama sekali.
KIH selanjutnya membuat DPR tandingan dengan membentuk ketua DPR
dan AKD tandingan. Kondisi ini tentunya juga mengakibatkan kinerja dewan yang
sangat tidak produktif, setelah lebih dari sebulan dilantik, tepatnya Rabu
tanggal 1 Oktober 2014.
Pertanyaannya adalah, inikah yang disebut para pahlawan bagi
bangsa dan rakyatnya Apakah karena mengurusi kursi dan kekuasaan, mereka
kemudian melupakan mandat rakyat
Inilah yang disebut republik yang kehilangan para pahlawannya,
sebab para wakil rakyat justru lebih mementingkan kepentingan golongan ketimbang
persoalan-persoalan bangsa.
Bila para pejuang bangsa terdahulu rela menggadaikan harta
bendanya, dan bahkan jiwa, raga, nyawa demi kemerdekaan republik ini, kondisi
sekarang berbanding terbalik 180 derajat. Para wakil rakyat dan pemimpin kita
rela menggadaikan idealisme untuk pragmatisme politik kekuasaan jangka
pendek.
Semoga Hari Pahlawan yang kita peringati tahun ini kemudian
menjadi refleksi kritis untuk menyadarkan mereka sebagai para pemimpin di
republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar