Rabu, 12 November 2014

Republik Tanpa Pahlawan

REFLEKSI HARI PAHLAWAN KE-69

Republik Tanpa Pahlawan
Moh Yamin  ;  Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin
SINAR HARAPAN, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Pertanyaan kolektif yang selalu muncul dalam benak kita semua pascaperjuangan para pahlawan di era 1945 adalah, siapakah para pahlawan ke depan yang akan terus bekerja atas nama bangsa dan rakyat Siapakah para pahlawan yang akan terus meneriakkan kemerdekaan atas nama hak segala bangsa Siapakah yang pantas disebut pahlawan yang rela berkorban nyawa, raga, dan harta bendanya

Tentunya, sejumlah pertanyaan mendasar tersebut kemudian patut menjadi refleksi kritis bersama, bahwa ternyata menemukan para pahlawan dalam kondisi kekinian, ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Tidak banyak yang kemudian meletakkan idealisme sebagai alat perjuangan. Tidak banyak yang memosisikan dirinya sebagai kelompok yang berbicara atas nama kebangsaan dan kerakyatan.

Kalau kita kemudian mencoba mengingat momen 10 November 1945, yang menjadi momentum bersejarah bagi tegaknya kedaulatan bangsa, masa tersebut memberikan semangat memukau dan menakjubkan kala sekelompok orang Belanda berkehendak kembali ingin menjajah Indonesia. Namun, hal tersebut kemudian dimentahkan oleh gerakan kaum pemuda, yang saat itu diawali pemuda Surabaya, selanjutnya mendorong semua pemuda Indonesia di Tanah Air untuk ikut bersama memperkuat kekuatan gerakan tersebut, dengan membentengi seluruh daerah Pertiwi dari para penjajah.

Pertanyaan yang kemudian patut diajukan kembali kepada kita semua adalah, apakah kita yang sudah menghirup kemerdekaan dan sudah menikmati segala bentuk kemerdekaan sebagai hasil perjuangan para pahlawan, telah memberikan kontribusi besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ke depannya Apakah kita sudah bisa mengambil nilai-nilai kepahlawanan (heroisme) agar kemudian bisa dipraksiskan dalam kehidupan nyata, terutama bagi para pemuda yang berada dalam lingkar kekuasaan, bagi mereka yang memegang jabatan dan lain sejenisnya

Ironisnya, bila didasarkan pada realitas yang berlangsung saat ini, kenyataan menunjukkan secara telanjang bulat, bahwa cara pandang manusia Indonesia saat ini sudah sangat pragmatis. Apa yang mereka lakukan kemudian harus bisa menghasilkan sesuatu yang menguntungkan bagi diri dan kelompoknya.

Mereka tidak memperhatikan sama sekali, bahwa apa yang mereka lakukan kemudian semakin menghancurkan kondisi bangsa dalam segala hal. Lihat saja, korupsi terjadi di mana-mana dan itu berlangsung dengan sedemikian masif di semua lini kehidupan. Seolah tanpa berkorupsi, mereka bukanlah manusia hebat dan luar biasa hebat.

Lebih ironis lagi, ternyata korupsi yang ditunaikan pun juga menular kepada banyak sisi kehidupan. Sudah tidak ada lagi manusia-manusia Indonesia yang berbicara atas nama kebenaran, keagungan hidup, dan menunjukkan keteladanan hidup kepada sesama. Sudah tidak ada lagi manusia-manusia suci yang mau bertindak atas dasar nurani kemanusiaan demi mengangkat harkat dan martabat manusia.

Kini, manusia-manusia Indonesia sudah menutup mata dan telinga terhadap pelbagai penderitaan yang dihadapi bangsanya. Sudah tidak ada sejumlah manusia yang dapat menjulurkan tangannya untuk bisa menolong orang lain.

Realitas ini tentunya menjadi fakta bersama, memang sudah tidak ada yang bernama generasi pahlawan-pahlawan ke depan di republik ini. Inilah yang kemudian disebut republik tanpa pahlawan. Diakui maupun tidak, kita memiliki para pemuda cerdas, para pejabat hebat, para politikus hebat, para pendekar hukum mumpuni, dan lain sejenisnya. Namun, mereka sudah tidak peka terhadap persoalan-persoalan kebangsaan dan kerakyatan yang harus dituntaskan (baca realitas).

Esensi Pahlawan

Secara etimologis, kata “pahlawan” berasal dari bahasa Sanskerta “phala”, yang bermakna hasil atau buah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan merupakan seseorang yang menonjol karena memiliki keberanian dan jiwa pengorbanan untuk membela kebenaran dengan gagah berani.

Oleh karenanya, pahlawan dalam konteks ini adalah ketika ia mampu berjuang dan bekerja secara ikhlas. Pahlawan yang mampu berjuang atas nama bangsa dan negara adalah ketika ia mampu menerjemahkan segala realitas keluh kesah rakyat dalam aksi nyata.

Pahlawan yang menjadi teladan bersama adalah ketika ia bisa berjuang dari awal hingga akhir. Ia selalu konsisten atas setiap prinsip yang dipegangnya. Ia berada di jalan yang lurus walaupun jiwanya terancam.

Pahlawan yang sesungguhnya adalah ketika ia bisa bersuara lantang tanpa takut kepada penguasa. Ia tidak memerlukan tepuk tangan dari publik atas jasanya. Namanya pun tidak butuh diukir dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia juga tidak berpikir sama sekali, bahwa bila ia meninggal dalam peperangan kemudian harus dibukukan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Pertanyaan terakhir adalah masih adakah pahlawan di republik ini yang masih memiliki mimpi besar dan agung dalam memperjuangkan kedaulatan bangsa

Terlepas apa pun jawabannya, kita selalu mengharapkan ke depan akan tetap muncul pahlawan yang memang benar-benar pahlawan (bukan pahlawan kesiangan yang hanya mencari sensasi dan pencitraan).

Refleksi Kritis bagi Parlemen

Parlemen sedang mengalami kegaduhan yang sangat memalukan dan memilukan. Fraksi-fraksi yang berada di kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sedang bertikai terkait kursi dan kekuasaan.

Fakta politiknya berawal dari kemenangan KMP dalam merebut kursi ketua dan wakil ketua DPR. Ini kemudian dilanjutkan dengan sapu bersih pemimpin Alat Kelengkapan Dewan (AKD) oleh KMP. Akibat hal tersebut, KIH kemudian merasa kecewa secara politik, akibat tidak mendapatkan jatah kursi pemimpin di AKD sama sekali.

KIH selanjutnya membuat DPR tandingan dengan membentuk ketua DPR dan AKD tandingan. Kondisi ini tentunya juga mengakibatkan kinerja dewan yang sangat tidak produktif, setelah lebih dari sebulan dilantik, tepatnya Rabu tanggal 1 Oktober 2014.

Pertanyaannya adalah, inikah yang disebut para pahlawan bagi bangsa dan rakyatnya Apakah karena mengurusi kursi dan kekuasaan, mereka kemudian melupakan mandat rakyat

Inilah yang disebut republik yang kehilangan para pahlawannya, sebab para wakil rakyat justru lebih mementingkan kepentingan golongan ketimbang persoalan-persoalan bangsa.

Bila para pejuang bangsa terdahulu rela menggadaikan harta bendanya, dan bahkan jiwa, raga, nyawa demi kemerdekaan republik ini, kondisi sekarang berbanding terbalik 180 derajat. Para wakil rakyat dan pemimpin kita rela menggadaikan idealisme untuk pragmatisme politik kekuasaan jangka pendek.

Semoga Hari Pahlawan yang kita peringati tahun ini kemudian menjadi refleksi kritis untuk menyadarkan mereka sebagai para pemimpin di republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar