Mengenang
KH Wahab Hasbullah
Mohammad Affan ; Peneliti
pada Forum Kajian Islam dan Politik
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
11 November 2014
Umat Islam Indonesia, khususnya
warga Nahdliyin, patut bersyukur. Salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU)
yang juga pejuang kemerdekaan, KH Abdul Wahab Hasbullah, ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional dalam rangka peringatan Hari Pahlawan tahun ini.
SK penetapan diberikan Presiden
RI Joko Widodo, Jumat (7/11), di Istana Merdeka dan diterima perwakilan
keluarga, salah satunya Romahurmuziy yang juga politisi PPP. Gelar pahlawan
itu telah diusulkan sejak 1989 di masa Orde Baru. Usulan itu tidak mendapat respons
pemerintah, lalu kembali diusulkan pada 2012.
Meskipun terbilang lambat,
gelar pahlawan nasional yang baru diberikan tahun ini patut disyukuri. Bukan
Kiai Wahab yang membutuhkan gelar atau pengakuan, tetapi kewajiban negara mem
berikan penghargaan dan apresiasi atas jasa perjuangan anak bangsa yang telah
mengokohkan negeri ini.
Sumbangan Kiai Wahab untuk bangsa
ini sangat besar. Sebelum membidani lahirnya NU bersama Hadratus Syeikh
Hasyim Asy'ari pada 1926, Kiai Wahab telah merintis organisasi Nahdlatul Wathan
(NW) tahun 1916. Secara literlek Nahdlatul Wathan berarti "kebangkitan Tanah Air" atau
dapat dimaknai juga "gerakan kebangsaan." Organisasi pergerakan ini
bertujuan menggembleng generasi muda menjadi pembela Islam dan pembela Tanah
Air melalui jalur pendidikan.
Dari NW lahirlah cabang-cabang
organisasi di berbagai daerah dengan nama variatif agar tidak dicurigai
Belanda, tapi tetap menggunakan embel-embel Wathan. Di Wonokromo diberi nama
Ahlul Wathan (Warga Bangsa), di Gresik dan Malang bernama Far'ul Wathan (Elemen
Bangsa), di Jombang disebut Hidayatul Wathan (Pencerah Bangsa), di Pacarkeling
Khitabatul Wathan (Pembela Bangsa), dan di Semarang Akhul Wathan (Solidaritas
Bangsa). Hingga akhirnya NW tersebar di seluruh kota Jawa dan Madura.
Kiai Wahab juga merintis
organisasi Nahdlatut Tujjar (NT) "kebangkitan kaum saudagar". Jika
segmen NW adalah kaum muda di bidang pendidikan, maka NT menyasar kalangan
pengusaha dan niagawan yang bergerak di bidang ekonomi. Tujuannya sama,
menggalang berbagai elemen bangsa dengan segala sumber daya yang dimilikinya
untuk berjuang membela negara dan agama dari kolonialisasi bangsa asing. Dua
organisasi inilah yang kemudian menjadi embrio lahirnya Nahdlatul Ulama.
Jasa besar Kiai Wahab yang tak
bisa diabaikankan juga adalah perannya dalam peristiwa 10 November 1945. Momen
bersejarah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan ini tidak lepas
dari fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rais Akbar PBNU Kiai Hasyim
Asy'ari pada 22 Oktober 1945.
Adalah Kiai Wahab yang saat itu
menjabat Khatib Am PBNU mengawal implementasi fatwa di lapangan. Berdasarkan
fatwa itulah Bung Tomo menggelorakan semangat jihad arek-arek Surabaya
melawan Belanda.
Pertempuran heroik kala itu mendapat du kungan ribuan santri
dan umat Islam Surabaya yang digerakkan para kiai, termasuk Kiai Wahab. Bukan
kali itu saja Kiai Wahab mendukung pertempuran fisik. Sebelumnya ia telah
berkali-kali terlibat dalam Laskar Hizbullah, Laskar Sabilillah, dan Barisan
Kiai melawan penjajah. Maka, sudah sepantasnya ia mendapat gelar Pahlawan
Nasional.
Sebagai figur ulama-politisi,
Kiai Wahab dikenal sebagai sosok yang progresif, terbuka, dan toleran. Dalam
forum bahtsul masail muktamar NU, ia sering memberikan pandangannya yang
mampu menerobos berbagai macam kebuntuan (mauquf) soal keagamaan. Ia lebih mengutamakan
dalil rasional ketimbang doktrinal. Meski tidak jarang ijtihadnya kontroversial
dan berseberangan dengan ulama lain.
Jauh sebelum Gus Dur mentradisikan
kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan Nahdliyin, Kiai Wahab telah
merintis hal itu, bahkan sebelum NU berdiri. Melalui forum diskusi Tashwirul
Afkar (Pergolakan Pemikiran)
yang didirikannya pada 1914 di
Surabaya, Kiai Wahab mendorong lahirnya sikap berpikir yang kritis, tidak
jumud, dan progresif. Forum ini awalnya untuk mendiskusikan isu-isu keagamaan
yang menjadi perdebatan kalangan modernis, reformis, dan tradisionalis
Muslim.
Dalam perjalanannya, banyak
tokoh dari kalangan Muslim maupun nasionalis terlibat dalam forum ini untuk
mendiskusikan berbagai permasalahan agama, sosial, dan bangsa. Forum ini juga
menjadi ajang komunikasi sekaligus jembatan antara generasi muda dan tua. Lebih
lanjut kelompok diskusi ini menjadi semacam laboratorium pengaderan bagi kaum
muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Sikap keterbukaan dan
menghormati keragaman adalah salah satu warisan penting Kiai Wahab bagi umat
Islam Indonesia saat ini. Di saat umat sering terpecah belah dalam menyikapi
perbedaan, forum semacam Tashwirul Afkar penting dihadirkan kembali. Ruang-ruang
diskusi antarumat yang berbeda aliran, mazhab, orientasi politik, dan lainnya
perlu digalakkan. Agar setiap perbedaan tidak disikapi dengan emosi, takfiri,
apalagi aksi dan kontestasi massa.
Para elite Muslim yang berada
di pucuk pimpinan, baik di organisasi keagamaan, politik, maupun
kemasyarakatan perlu membuka akses dialog dan diskusi seluas-luasnya dalam
menyikapi tiap perbedaan dengan kelompok lain di internal maupun eksternal
organisasinya.
Seperti perpecahan yang terjadi
di internal PPP. Sebagai partai politik berbasis Islam yang salah satu
pimpinannya Romahurmuziy adalah cicit Kiai Wahab, alangkah elok jika partai
ini dapat mencapai islah dan bersatu kembali.
Perpecahan hanya akan menambah
beban permasalahan umat, sedangkan persoalan yang ada sudah kian kompleks dan
beragam. Tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan tidak mungkin diselesaikan
hanya oleh satu kelompok atau satu umat saja. Diperlukan kebersamaan dan
kekompokan semua elemen bangsa untuk menata Indonesia ke depan yang lebih
maju dan berdaulat. Selamat Hari
Pahlawan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar