Rabu, 12 November 2014

Pahlawan dan Misi Politik Pengabdian

Pahlawan dan Misi Politik Pengabdian

Joko Wahyono  ;  Analis pada Studi Politik Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


“AND so, my fellow Americans: ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country--Jangan tanyakan apa yang negara bisa lakukan untukmu, tanyakan apa yang kamu bisa lakukan untuk negaramu“ (John F Kennedy, 1961).

TANGGAL 10 November bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Pahlawan. Bangsa yang be sar ialah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Namun, penghargaan itu tidak cukup hanya dengan berkontemplasi mengenang jasa agung para pahlawan yang gugur di medan perang. Tidak pula sekadar berselebrasi melaksanakan upacara bendera atau berziarah tabur bunga di taman makam pahlawan dengan penuh kesenduan romantisisme sejarah.

Lebih dari itu, peringatan Hari Pahlawan harus dimaknai sebagai cara untuk memformulasikan kembali niat, gagasan, semangat, tekad, komitmen, dan nilainilai kepahlawanan atas dasar ketulusan, cinta, dan kesetiaan para pahlawan kepada bangsa dan negara. Itulah relevansi peringatan Hari Pahlawan. Nilai-nilai kepahlawanan sebagai sebuah warisan luhur itu tidak terkubur oleh sejarah, tetapi hidup dan harus dihidupkan dalam konteks kekinian.

Seluruh elemen bangsa harus mewarisi, meneladani, dan mengaktualisasikan nilainilai kepahlawanan agar terbangun sebuah karakter kenegarawanan berjiwa bersih, sehingga mampu menjalankan perbuatan utama bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Perjuangan berpamrih

Problem yang dihadapi bangsa ini sangat pelik. Salah satunya bersumber dari mental para penyelenggara negara (pejabat, elite politik) yang masih terjebak pada perjuangan berpamrih (self interest). Mereka hanya berani `berjuang' ketika kalkulasi politik menguntungkan bagi diri dan kekuasaan.Perjuangan mereka masih didominasi nafsu purba Laswellian yakni “who gets what, when, and how,“ yang mana konsesi politik selalu dijadikan konsideran.

Lihatlah dinamika politik di gedung DPR belakangan ini. Seolah tidak ada kosakata perjuangan lain di panggung politik parlemen selain memenangi perebutan kursi kekuasaan yakni pimpinan DPR, pimpinan komisi, dan alat kelengkapan DPR. Rumah besar penampung aspirasi rakyat dihuni orang-orang berperilaku predatorik dengan nafsu saling menegasikan serta memangsa tanpa etika dan kesantunan. Praktik politik sarat dengan kepentingan sektarianisme parpol koalisi (KMP dan KIH). Kepentingan publik direduksi menjadi urusan domestik sesuai pamrih mereka sendiri.

Tidak mengherankan jika realitas politik berwajah gaduh. Namun, bagi mereka kegaduhan politik yang selama ini sering terjadi merupakan sebuah keniscayaan agar perjuangan mereka tidak berujung pada tindak kekerasan. Esensi kegaduhan ialah komunikasi, negosiasi, dan kompromi untuk menghasilkan kesepakatan tertentu.Perjuangan berpamrih itulah yang membuat sistem politik mengalami kemacetan, disfungsi, disrupsi, korosif, dan koruptif. Sistem tidak lagi cukup tangguh untuk mengatasi kompleksitas persoalan yang muncul dalam masyarakat akibat aktor-aktor politik di dalamnya mengalami kekacauan peran, gagal mandat, dan tanggung jawab publik.

Dalam kenyataannya, kekacauan peran itu juga acap kali terjadi karena urusan politik disenyawa kan dengan urusan ekonomi atau urusan hukum diseret ke perso alan politik dengan menegasikan landasan moral etik. Akibatnya, sistem politik, selain tidak bisa bekerja secara normal, juga mengalami degradasi kewibawaan. Ketidakberwibawaan sistem politik itu tidak bisa dilepaskan dari budaya politik para elite yang cenderung menggantungkan hidup dari politik (leben von politik). Politik direduksi sebagai ruang perjuangan berpamrih kepentingan untuk akumulasi kapital.

Bahkan, sudah menjadi rahasia umum di kalangan pejabat publik yang menjadikan negara sekadar tempat untuk men cari nafkah dan sumber pencahari an hidup. Institusi negara dianggap sebagai sentral kebijakan yang bisa diarahkan secara politik ekonomi untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kolega. Kita mencatat bahwa kekuasaan politik di DPR (ketua atau pimpinan komisi) atau di kementerian sekalipun cukup menjanjikan insentif materiil. Kekuasaan itu strategis bagi parpol untuk mengamankan akses ke sumber-sumber keuangan negara.

Tujuan pengabdian

Jika pejabat atau elite politik kita masih bergumul dengan perjuangan politik berpamrih itu, akan menim bulkan gejala `civic schizophrenia', yakni meminggirkan segala hal yang civic atau public, sehingga lagi-lagi rakyat akan menjadi korban. Kerancuan, anomali, dan kekisruhan politik akan terus berlanjut. Padahal, loyalitas terhadap parpol harusnya berakhir ketika loyalitas kepada negara dimulai (Manuel L Quezon, 1878-1944). Karena itu, peringatan Hari Pahlawan ini menjadi momentum strategis untuk meneguhkan kembali karakter kepahlawanan dan jiwa kenegarawanan sejati.

Seruan John F Kennedy di atas harus terinjeksi di dalam nalar seluruh pejabat dan elite politik agar seluruh tindakannya didedikasikan untuk mengabdi kepada negara dan rakyat. Seorang pejabat dapat dikatakan telah mencapai derajat negarawan manakala ia selesai dengan dirinya sendiri, kelompoknya, dan parpolnya demi mengabdi kepada bangsa dan negara. Tugas mereka bukan untuk melayani parpol. Akuntabilitas kinerja mereka harus diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. Mereka harus bertindak atas dasar kesadaran etis untuk menempatkan negara (politik) sebagai tujuan pengabdian (leben fuer politik).

Artinya, terjun ke dunia politik berarti kesediaan lahir batin untuk mengabdi kepada kebaikan umum yakni hidup untuk orang lain. Eksistensi mereka harus lahir dari kesadaran pengabdian kepada rakyat, bukan mengabdi kepada kepentingan diri. Misi politik pengabdian itu harus dimulai dengan memberikan keteladanan moral yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab publik. Keteladanan moral itu harus mewujud dalam bentuk transformasi perbuatan rasional nilai ke perbuatan rasional riil, sehingga rakyat bisa menikmati capaian-capaian kinerja politik mereka.

Misi politik pengabdian itu niscaya akan tercipta tata kelola negara penuh adab, birokrasi tertib, bebas korupsi, dan ekonomi yang mendistribusikan kesejahteraan bagi rakyat. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar