Minggu, 09 November 2014

Rakyat dan Presidennya

Rakyat dan Presidennya

Ridho Imawan Hanafi  ;  Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 06 November 2014
                                                
                                                                                                                       


JOKOWI tak sendiri ketika menuju Istana. Usai dilantik di gedung MPR pada 20 Oktober 2014, sukarelawan dan rakyat mengantarnya. Presiden baru itu diarak dengan prosesi kirab budaya, dan publik bisa melihat sebuah kegembiraan. Pancaran itu seperti memenuhi apa yang pernah berulang kali dikatakan Jokowi bahwa pilpres yang ia jalani bersama sukarelawan adalah sebuah kegembiraan politik. Rakyat dan presidennya menyatu dalam jarak yang rapat.

Perayaan seperti itu merupakan hal baru. Belum pernah terjadi proses pergantian kepemimpinan nasional diliputi suasana gembira. Selama ini, rekaman sejarah mewartakan proses suksesi kepemimpinan nasional berjalan terjal dan penuh ketegangan. Maka, ledakan antusiasme rakyat dalam menyambut Jokowi salah satunya bisa dibaca sebagai ungkapan syukur rakyat atas keterpilihan pemimpin nasional melalui kompetisi elektoral yang demokratis dan damai.

Proses menuju arah kompetisi demokratis dan damai, tak mudah. Persaingan dua kandidat presiden: Jokowi dan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 disebut banyak orang sebagai yang terkeras. Bahkan, seolah-olah masyarakat terbelah: kita dan mereka. Sampai menjelang pelantikan presiden, antara pihak yang menang dan kalah seperti tidak bisa terdamaikan. Dunia politik ke depan terancam suram. Yang terlihat hanya sebagai ajang adu kekuatan dua kubu di altar kekuasaan.

Saat situasi terasa kritis, Jokowi bertemu beberapa elite partai yang berada di luar kubunya, dan ditutup pertemuan manis Jokowi dengan Prabowo. Puncaknya, pada acara pelantikan presiden semua kalangan hadir dan memperlihatkan betapa demokrasi di Indonesia perlahan bergerak ke arah yang matang. Di pidato pelantikannya, Jokowi mengajak semua kalangan dari rakyat bawah sampai elite politik untuk bergerak bersama.

Di sinilah Jokowi sebagai pemimpin baru hadir sebagai harapan. Jutaan rakyat berharap Jokowi mampu mengurai timbunan masalah. Dia diharapkan bisa membawa bangsa ini mengarungi kehidupan yang lebih baik. Harapan inilah yang menggerakkan rakyat tumpah-ruah di jalanan. Harapan membangkitkan kelesuan, dan dari harapan terbentang perubahan keadaan. Meminjam ungkapan Pliny the Elder, hope is the pillar that holds up the world, hope is the dream of a waking man.

Di luar itu, syukuran rakyat sebenarnya mengandung beberapa tafsir. Pertama; acara mengantar Jokowi untuk tidak sendirian berjalan ke Istana memperlihatkan bahwa Jokowi tak hanya didukung partai koalisi tapi juga sebagian besar rakyat. Dukungan tersebut telah diperlihatkan secara demonstratif. Artinya, di balik Jokowi ada rakyat. Hal ini tidak terlepas dari eskalasi politik belakangan ini dengan kemunculan berbagai isu untuk menjegal Jokowi.

Alarm Peringatan

Dengan kata lain, pesan yang diinginkan sukarelawan dan rakyat adalah meskipun koalisi lawan politik Jokowi menguasai parlemen, mereka tak bisa seenaknya bermanuver terhadap pemerintah. Manuver mereka bakal berhadapan dengan rakyat. Sukarelawan mendudukkan diri pada posisi berjaga dari segala kemungkinan buruk yang menimpa pemerintah. Maka, diharapkan bagi lawan politik Jokowi untuk proporsional dalam bermanuver.

Kedua; pemerintahan Jokowi tidak bisa dilepaskan dari kawalan sukarelawan. Jokowi pun mengajak sukarelawan mengawal pemerintahannya. Hitam putih jalannya pemerintahan ditanggung secara gotong royong. Pola pemerintahan partisipatif seperti itu diharapkan menguntungkan Jokowi karena senantiasa terawasi dan terpandu untuk berbuat yang terbaik. Begitu dirasakan ada yang melenceng dari cita dan tujuan, alarm peringatan berdering sejak awal dari sukarelawan.

Ketiga; karena dikawal rakyat, Jokowi harus senantiasa mendahulukan kepentingan rakyat di atas segala kepentingan lain, termasuk kepentingan partai pendukungnya. Jebakan untuk melakukan politik transaksional memang selalu menggoda. Di sinilah pentingnya ingatan politik bahwa sesungguhnya yang mengantar Jokowi ke Istana adalah rakyat. Kekuasaan yang dijalankan pun berlandaskan kekuasaan rakyat yang tertopang oleh gelombang besar harapan.

Kini, Jokowi sudah melantik para menteri dan secara umum Kabinet Kerja tersebut cukup menghadirkan optimisme meskipun sebelumnya terlihat bahwa proses pemilihan menteri berlangsung terjal. Jokowi berkesan tak leluasa menggunakan hak prerogatifnya. Keterjalan proses penyusunan kabinet perlahan bisa memudar bila para menteri segera ’’berlarI’’, bekerja demi rakyat. Kabinet Kerja bukan hanya sebuah tanda atau wacana, melainkan kerja.

Jokowi, Jusuf Kalla, dan para menteri, tidak bisa berlama-lama larut dalam euforia kegembiraan karena rakyat tidak ingin terlalu lama menanti pemenuhan janji semasa kampanye pilpres. Mengulur pemenuhan janji mudah menimbulkan risiko: kekecewaan. Syukuran rakyat atas pelantikan Presiden Jokowi sesungguhnya bukan semata-mata merayakan kemenangan. Pasalnya, kemenangan yang terbentang di depan untuk digapai adalah terpenuhinya janji-janji Jokowi-JK semasa berkampanye.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar