Minggu, 09 November 2014

Bebas Berekspresi Tanpa Kebencian

Bebas Berekspresi Tanpa Kebencian

Muh Rofiuddin  ;  Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 06 November 2014
                                                
                                                                                                                       


“Mengingat problematik penerapan UU ITE, seyogianya pemerintah mengkaji ulang substansi beberapa pasal”

ADA berita ’’menarik’’ berkait Jokowi, sepekan setelah dilantik. Adalah Muhammad Arsyad, yang membuat berita itu(SM, 30/10/14. Penjual satai dari Ciracas Jakarta Timur itu berekspresi lewat Facebook, mengunggah gambar porno yang diedit sehingga mirip wajah Jokowi. Akibatnya, ia berurusan dengan hukum kendati atas permintaan Jokowi, polisi telah menangguhkan penahanannya. (SM, 4/11/14).

Arsyad dijerat pasal berlapis, salah satunya pencemaran nama baik sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menghubungkan dengan penerapan regulasi itu, sebelumnya dua aktivis LSM di Tegal ditahan polisi karena dianggap mencemarkan Wali Kota Tegal Siti Masitha melalui Facebook.

Lainnya di antaranya Florence Sihombing yang dituduh menghina warga Yogyakarta, dan Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan Rumah Sakit Omni Internasional.

Pemberlakukan UU ITE setidak-tidaknya akan merefleksikan dua hal. Pertama; siapa yang menjaga agar kebebasan berekspresi tersebut tetap santun, beretika, bahkan mengandung nilai-nilai toleransi dan demokrasi? Kedua; bagaimana menyeimbangkan antara hak berekspresi dan berpendapat seseorang berkait larangan menyebarkan kebencian.

Kehadiran internet mengubah pengertian tentang komunikasi massa, yang dulu hanya dikendalikan media konvensional. Kini, dengan internet, diikuti kegairahan berkomunikasi lewat media sosial, hal itu tak lagi hanya dilakukan media konvensional. Kini, ketika seseorang menuliskan sesuatu di media sosial, orang yang mengakses bisa membacanya.

Pemerintah sudah mengantisipasi andai terjadi persoalan akibat kemunculan ekspresi lewat internet. Namun regulasi itu problematik. Di antaranya bisa digunakan pihak tertentu memberangus kebebasan berekspresi. Satu hal yang menakutkan adalah pasal pencemaran nama baik. Ihwal jerat hukum soal pencemaran nama baik sudah lama berlaku sebagaimana pasal di KUHP. Pasal itulah yang diadopsi dalam UU ITE.

Beberapa orang pernah mengajukan uji materi lewat Mahkamah Konsitusi tentang pasal pencemaran nama baik. Hakim konstitusi memutus penerapan pasal yang berimplikasi pidana karena pencemaran nama baik tak bertentangan dengan UUD 1945. Argumennya, nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi hukum pidana mengingat itu bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 dan hukum universal.

Mengkaji Ulang

Mengingat problematik penerapan UU ITE, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang beberapa pasalnya. Setelah 13 tahun menapaki era reformasi terasa sebagai ironi bila ada momok ketika ingin mengekspresikan kebebasan lewat internet. Jadi preseden buruk bila orang mudah dipenjara karena berekspresi lewat internet.

Namun menyerahkan sebebas-bebasnya kebebasan juga problematik mengingat berisiko menimbulkan kekacauan.

Sehubungan kemeningkatan pemanfaatan internet, termasuk kegairahan berekspresi lewat media sosial, pemerintah seyogianya membenahi regulasi infrastruktur (dan bisnis) media online. Pemerintah bisa membentuk komisi independen guna menjaga kebebasan berekspresi tanpa dikotori unsur kebencian.

Tugas komisi itu termasuk memutus sengketa akibat pemublikasian teks, narasi, atau gambar lewat internet; menegakkan etika; dan menegakkan aturan bisnis online. Pemerintah telah membentuk Komisi Penyiaran Indonesia guna menjaga ketertiban penyiaran, dan Dewan Pers untuk kehidupan pers. Bila pendapat seseorang dianggap merugikan pihak lain, orang yang berekspresi tak perlu dipidana penjara tapi cukup dengan hukum perdata.

Namun pengguna internet wajib menaati etika menggunakan kebebasan itu secara bertanggung jawab. Pada bagian ini komisi independen bisa lebih aktif berperan. Memanfaatkan teknologi, pemerintah juga perlu mencari cara efektif memblokir pengunggahan materi pornografi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar