Minggu, 09 November 2014

Diplomasi Model Blusukan

Diplomasi Model Blusukan

Ludiro Madu  ;  Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
FISIP, UPN "Veteran" Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 07 November 2014
                                                
                                                                                                                       


'Blusukan' tidak lagi hanya menjadi cara kerja Presiden Joko 'Jokowi' Widodo, namun juga mulai ditiru menteri-menterinya di Kabinet Kerja, termasuk Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Lestari Priansari Marsudi. Dalam konperensi pers pertamanya, Menlu Retno meminta para diplomat untuk melakukan 'blusukan' ke berbagai tempat yang menjadi wilayah tugasnya di luar negeri. Diplomasi 'blusukan' bertujuan menegaskan kehadiran pemerintah di tengah Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.

Diplomasi 'blusukan' Menlu Retno perlu didukung karena diplomasi ini merupakan upaya riil untuk melakukan reorientasi politik luar negeri Indonesia (Polugri) dari million friends, zero enemy menjadi diplomacy for people. Reorientasi itu didasarkan pada desain visi dan misi Polugri yang berciri khusus dan berbeda dari pemerintahan SBY, yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Reorientasi tersebut tentu saja ---seperti ditegaskan Presiden Jokowi pada pidato pelantikannya--- dilakukan berdasarkan doktrin Polugri bebas dan aktif.

Reorientasi Polugri dengan mempertimbangkan pengalaman polugri selama 10 tahun pemerintahan SBY (2004-2009 dan 2009-2014). Karakteristik Polugri pemerintahan SBY cenderung berorientasi global dan regional. SBY membawa Indonesia menjadi sangat aktif dalam berbagai forum regional di ASEAN dan kerjasama multilateral, seperti di G20, APEC, WTO, MDGs. Bahkan Indonesia diminta aktif mengupayakan perdamaian di antara yang berkonflik, seperti konflik klaim di Laut Tiongkok Selatan, Korea Utara-Korea Selatan, Israel-Palestina, pemerintah Thailand-pemberontak di Thailand Selatan.

Namun demikian, orientasi Polugri itu membuat pemerintahan SBY cenderung bertindak lebih akomodatif dan fasilitatif terhadap berbagai aturan main global-regional. Isu-isu ekonomi menjadi salah satu contoh menonjol dengan akibat pada melemahnya posisi tawar (bargaining position) Indonesia terhadap banyak norma dan aturan main global-regional. Dalam konteks ASEAN, Indonesia dikawatirkan menjadi pasar atau obyek dari regionalisme itu.

Dengan alasan itu, Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri (12/10/2014) bahkan menyatakan kegagalan pemerintahan SBY dalam pelaksanaan Polugri. Prestasi dan kelemahan Polugri pemerintahan SBY itu menjadi pertimbangan pemerintahan Jokowi, khususnya Menlu Retno, dalam menata kembali Polugri 2014-2019.

"Menjadi Salesman"

Upaya reorientasi polugri akan mengubah pola-pola diplomasi pemerintahan Jokowi. Pertama, polugri cenderung mengutamakan kepentingan ekonomi domestik. Indonesia akan mengurangi partisipasi pada berbagai forum multilateral yang tidak akomodatif pada kepentingan ekonomi nasional. Melalui diplomasi 'blusukan', Menlu Retno akan lebih menegaskan manfaat riil dari diplomasi global dan regional bagi masyarakat Indonesia. Presiden Jokowi sudah berkomitmen menghadiri Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Naypyidaw (Myanmar) dan APEC di Beijing (Tikngkok), namun belum pasti datang ke KTT G20 di Brisbane (Australia) pada bulan November ini.

Kedua, para diplomat sebagai ujung tombak diplomasi ekonomi berperan seperti salesman bagi negara Indonesia. Di setiap perwakilan, para diplomat perlu meninjau kembali kinerja diplomasi ekonomi bilateral. Walau menjadi prioritas, diplomasi ekonomi dijalankan tanpa harus meniadakan berbagai kegiatan budaya atau kemasyarakatan lain. 'Blusukan' para diplomat tidak hanya di wilayah penugasan di luar negeri, tetapi juga melakukan identifikasi produk domestik untuk menembus pasar asing. Bahkan, Kemlu perlu membekali diplomat, termasuk duta besar, dengan pengetahuan ekonomi-bisnis.

Faktor ketiga, Kemlu perlu meningkatkan koordinasi dengan kementerian lain, khususnya Kementerian Perdagangan untuk mendorong ekspor ke pasar luar negeri. Koordinasi itu juga diperlukan untuk melindungi produk domestik dari 'serbuan' barang impor. Dalam 10 tahun Pemerintahan SBY, koordinasi kurang berjalan baik, sehingga Indonesia lebih dirugikan dari berbagai perjanjian multilateral di tingkat global (WTO) dan regional (APEC, ASEAN, termasuk ASEAN-China Free Trade Area/ACFTA). Renegosiasi perlu diupayakan agar perjanjian itu dapat meningkatkan posisi tawar produsen dan produk domestik.

Banyak program kerja perlu dijalankan, Menlu Retno perlu memberikan prioritas kepada jajarannya di Kemlu agar tetap fokus dan mampu memenuhi target. Pemerintahan telah berganti, progam kerja dan cara kerja pun berubah. Saatnya para diplomat 'blusukan' untuk bicara dan mendengar langsung dari masyarakat, tidak lagi hanya berada di belakang meja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar