Presiden,
Tionghoa, dan Bahasa Indonesia
Tom Saptaatmaja ; Alumnus St Vincent de Paul
|
KORAN
TEMPO, 17 November 2014
Kita seharusnya bangga ketika, di Cina, Presiden Joko Widodo berpidato
dalam bahasa Indonesia, walau saat CEO Summit pada Senin (10 November 2014),
Presiden memakai bahasa Inggris. Pasal 28 dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
memang menyebutkan, "Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan
pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri."
Bagaimana dengan etnis Tionghoa di Indonesia? Etnis ini sudah lama ikut
berperan mengembangkan bahasa Indonesia di negeri yang memiliki 740 suku atau
etnis serta 583 bahasa daerah ini. Sebelum Sumpah Pemuda 1928, etnis ini
sudah punya peran mengembangkan bahasa Indonesia.
Semula, etnis Tionghoa, di Jawa khususnya, lebih menyukai bahasa Jawa.
Menyusul Sistem Tanah Paksa (1830-70), Belanda menerapkan sistem pas (Passenstelsel) yang praktis memisahkan
orang Tionghoa dari orang Jawa. Nah, praktis, sejak saat itu, warga Tionghoa
mulai memakai bahasa Melayu, yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia.
Lalu, dengan terdongkraknya status sosial orang-orang peranakan
golongan atas, mereka pun mengembangkan minat golongan atas, termasuk sastra
dan tata pergaulan sosial. Kekayaan mereka juga mendorong untuk menyekolahkan
anak-anak mereka ke sekolah Belanda berbahasa Melayu, yang didirikan
pemerintah kolonial sejak 1854.
Anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah itu, tentu saja, mulai
menulis dalam bahasa Melayu, baik wartawan maupun sastrawan. Apalagi, surat
kabar berbahasa Melayu juga mulai dicetak di percetakan yang hampir semuanya
milik etnis Tionghoa, seperti Soerat Kabar Bahasa Melayoe (1856) dan Bintang
Soerabaja (1860). Di awal abad ke-20, terbit koran besar Pewarta Soerabaia,
Sin Tit Po, dan Sin Po. Harian Sin Po adalah surat kabar pertama yang menjadi
pelopor penggunaan kata Indonesia menggantikan Nederlandsch-Indie, Hindia
Nederlandsch, atau Hindia Olanda dan menghapuskan penggunaan kata
"inlander" yang dirasakan sebagai penghinaan bagi rakyat Indonesia.
Langkah ini kemudian diikuti oleh harian lainnya.
Lalu, pers yang dikelola etnis
Tionghoa itu lalu berkembang menjadi
sarana efektif dalam penyebarluasan berbagai berita perjuangan bangsa ini
untuk lepas dari penjajahan serta menjadi bangsa yang berdaulat, termasuk
berdaulat dalam hal berbahasa Indonesia. Jadi, tak benar jika dikatakan etnis
Tionghoa gemar merusak bahasa Indonesia karena beragam dialek yang dipakai.
Penilaian miring itu muncul karena di Surabaya, misalnya, cukup banyak
etnis Tionghoa suka memakai bahasa gado-gado atau campuran antara bahasa
Indonesia, Jawa, dan Mandarin. Bahasa gado-gado di kalangan Tionghoa Surabaya
ini tak perlu dirisaukan karena tak akan merusak bahasa Indonesia. Ini mirip
bahasa kreol di Suriname, hasil interaksi antara warga berdarah Jawa, India,
dan Belanda atau Afro-Amerika. Terbukti, bahasa Jawa (ngoko) selama seabad lebih tetap eksis, meski muncul bahasa
gado-gado atau kreol tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar