Membangun
Poros Maritim Dunia
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
17 November 2014
PADA Konferensi Tingkat Tinggi Ke-25 ASEAN di Myanmar, Presiden Joko
Widodo menyampaikan visi besar Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Sebelumnya, dalam pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di
Beijing, Tiongkok, Presiden menyampaikan hal yang sama. Tampaknya poros
maritim dunia akan menjadi salah satu pilar kebijakan pemerintah baru, yang
melingkupi banyak aspek, baik pada level domestik maupun internasional.
Salah satu aspek paling krusial adalah ekonomi. Pertama, poros maritim
akan membangkitkan banyak sekali sektor industri turunan, selain industri
transportasi laut itu sendiri. Kedua, akan meningkatkan intensitas
perdagangan antarpulau yang berpotensi meningkatkan pembangunan regional.
Ketiga, meningkatkan daya saing produk ekspor kita seiring dengan membaiknya
sistem logistik nasional, terutama yang berbasis maritim.
Poros maritim bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan daya saing
nasional yang sudah mulai menimbulkan komplikasi jangka pendek. Investor
mulai melihat ketidakmampuan bersaing produk kita menjadi beban akut bagi
transaksi berjalan sehingga tingkat kepercayaan mereka pada masa depan
perekonomian Indonesia juga mulai merosot. Akibatnya, rupiah cenderung
melemah pada kisaran Rp 12.000 per dollar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) merosot pada level 5.000-an.
Pada triwulan III-2014, defisit transaksi berjalan masih 6,8 miliar
dollar AS atau setara 3,07 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Kendati membaik dibandingkan dengan triwulan III-2013, itu masih belum
sejalan dengan ekspektasi. Apalagi, tahun depan kita akan memasuki Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA).
Ada kekhawatiran sangat besar, skema MEA justru akan menjerumuskan kita
pada tekanan defisit neraca perdagangan yang semakin besar. Apakah poros
maritim bisa membantu?
Laporan Logistic Performance Index 2014 terbitan Bank Dunia menempatkan
Indonesia di posisi ke-53. Negara-negara tetangga, seperti Singapura, berada
di posisi ke-5, Malaysia ke-25, Thailand ke-35, dan Vietnam ke-48. Tiongkok,
sebagai rekan utama dagang kita, berada di posisi ke-28. Fakta menarik lainnya,
Thailand dan Malaysia termasuk dalam 10 besar negara kelompok menengah dengan
kinerja terbaik. Mereka melakukan perubahan sistem logistik secara progresif.
Dari sisi logistik, jelas kita tertinggal jauh dari rekan utama dagang kita
di tingkat regional.
Khusus mengenai pengapalan internasional, Indonesia berada di peringkat
ke-74, jauh di bawah Vietnam yang ada di peringkat ke-42, Thailand ke-39, dan
Malaysia ke-10. Sistem logistik pengapalan barang ke luar negeri menjadi
salah satu isu pokok. Waktu yang diperlukan untuk mengurus administrasi
ekspor di Indonesia memakan waktu rata-rata tiga hari. Padahal, rata-rata
negara ASEAN sudah berhasil mereduksi menjadi 1-2 hari.
Perbaikan progresif harus segera dilakukan mengingat kita sudah terlalu
jauh ketinggalan. Pertama, jumlah waktu yang diperlukan untuk bongkar muat
barang yang sebelumnya rata-rata 7 hari sekarang sudah bisa diturunkan
menjadi lebih cepat 5,7 hari. Target empat hari harus bisa segera
direalisasikan.
Kedua, ada upaya mengatasi ketinggalan pembangunan pelabuhan kelas
dunia. PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II sedang membangun New Tanjung Priok
yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama yang akan selesai pada 2018
menelan biaya sekitar Rp 25 triliun. Dengan selesainya proyek tahap I, kapasitas
pelabuhan akan bertambah sebesar 6 juta arus peti kemas per tahun.
Selain pelabuhan, industri galangan kapal juga diharapkan tumbuh
sehingga mampu memasok kebutuhan kapal yang akan menjadi tulang punggung
transportasi lintas pulau. Intensitas perdagangan antarpulau dengan
sendirinya akan menurunkan tingkat kesenjangan antarkawasan. Selanjutnya,
perbedaan harga komoditas pokok di Jawa dan Papua tidak akan setajam
sekarang.
Di lain pihak, intensitas perdagangan antarpulau hanya akan terjadi
jika diiringi dengan pembangunan kawasan regional. Jika tidak, kapal yang
mengangkut bahan kebutuhan pokok (beras, semen, bensin, dan solar) dari Jawa
ke Papua harus kembali ke Jawa dengan kosong karena tidak ada komoditas yang
bisa dibawa dari tanah Papua.
Inilah esensi dari keterikatan mata rantai pasokan secara domestik.
Sebentar lagi, dengan skema MEA 2015, sejumlah kawasan di Indonesia bisa
dengan leluasa melakukan interaksi ekonomi dengan kawasan lain antarnegara
ASEAN. Jika mata rantai perekonomian domestik tidak tercipta, interaksi
dengan kawasan negara lain akan menciptakan disintegrasi. Dengan demikian,
konsep poros maritim sekaligus juga sebagai jawaban atas tantangan regional.
Salah satu cara untuk meningkatkan mata rantai nilai antarkawasan bisa
melalui pembangunan berbasis kelautan, seperti sentra penangkapan ikan di
Papua yang diproses serta dikirim sebagian ke Jawa dan daerah lain. Karena
itu, bisa dibayangkan industri ikutan yang akan muncul dengan implementasi
poros maritim ini.
Poros maritim akan meningkatkan produktivitas perekonomian domestik
dengan merekatnya rantai pasokan domestik (antarpulau). Fase berikutnya, daya
saing produk ekspor kita di kawasan ASEAN. Selain itu, program jangka panjang
ini semestinya akan memberi implikasi pada indikator perekonomian jangka
pendek, seperti membaiknya neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Dengan
begitu, gejolak sektor keuangan, baik nilai tukar maupun indeks harga saham
gabungan, bisa dijinakkan.
Ditambah lagi, fokus realisasi poros maritim tak perlu banyak
berhubungan dengan parlemen sehingga tetap bisa dijalankan meskipun
ketegangan di parlemen masih akan berlanjut. Justru, Kabinet Kerja harus
membuktikan kemampuan mereka mengeksekusi program hingga tuntas dan berimbas
secara nyata para perekonomian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar