Peran
Komunikasi Para Elite
Safrudiningsih ; Dosen
Akademi Televisi Indonesia (ATVI)-Indosiar;
Humas Jakarta Bahasa Toastmasters
|
SINAR
HARAPAN, 12 November 2014
Kabar gembira datang dari parlemen. Dua kubu yang selama ini
saling berseteru, yakni kelompok fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah
Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), telah sepakat mengakhiri
konflik yang telah berlangsung lebih dari sebulan.
Kepastian bakal berakhirnya konflik diungkapkan politikus senior
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Pramono Anung yang mewakili
kubu KIH dan politikus Oartai Golongan Karya (Golkar) Idrus Marham dari KMP,
usai keduanya mengikuti pertemuan dengan pemimpin DPR dan wakil kedua kubu
koalisi, di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/11).
Kedua kubu koalisi menemukan solusi atas konflik yang terjadi
selama ini. Dikarenakan faktor utama penyulut konflik adalah soal kekuasaan,
khususnya masalah posisi pemimpin Alat Kelengkapan Dewan (AKD), kedua kubu
menyepakati menambah jumlah pemimpin AKD dari empat orang, yaitu satu ketua
dan tiga wakil, menjadi lima pemimpin, satu ketua, dan empat wakil ketua.
Dalam format penyelesaian konflik, fraksi-fraksi di KIH yang
semula tidak mendapat posisi pemimpin di AKD, diakomodasi dalam penambahan
pemimpin AKD tersebut. Format ini lebih realistis dan mudah, ketimbang usulan
sebelumnya untuk menambah jumlah komisi yang ada di DPR.
Jalan tengah untuk mendekatkan kubu KMP dan KIH menjadi semacam
win-win solution atas kebuntuan yang semula terasa sulit dicari solusinya.
Sejumlah usulan pernah dilontarkan. Ternyata usulan yang menginginkan kedua
kubu menjalin komunikasi, terutama melalui elite partainya, kemudian
membuahkan hasil. Jadi, komunikasi antarelite terbukti ampuh untuk meredam
gejolak dan mempertemukan perbedaan kedua kubu di parlemen. Pertemuan
antarelite partai menghasilkan kesepakatan power sharing di AKD.
Akar Konflik
Kita melihat sumber atau akar konflik yang membuat DPR hasil
Pemilu 2014 tidak bisa menjalankan tugasnya secara efektif adalah persoalan
kekuasasn, dalam hal ini posisi-posisi strategis di lembaga legislatif, mulai
dari pemimpin DPR, MPR, dan AKD.
Semua sumber konflik itu merupakan imbas atau pengaruh dari
pertarungan yang sangat sengit, ketat, dan menegangkan dalam pemilihan
presiden (pilpres), mengingat yang memperebutkan jabatan RI 1 dan RI 2 hanya
dua pasangan, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK). Selama tiga kali pilpres langsung sejak 2004, baru pada Pilpres
2014 kontestan hanya dua pasangan.
Tidak mengherankan jika kekuatan politik di parlemen mengikuti pengelompokan
dalam blok ataupun koalisi pendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.
Pascapilpres, persaingan dua kutub itu pun masih sangat terasa.
Kebetulan, koalisi yang berada di belakang pasangan
Prabowo-Hatta merupakan fraksi mayoritas sehingga muncul berbagai spekulasi
dan persepsi DPR yang dikuasai pendukung Prabowo-Hatta akan menjegal pelantikan
presiden dan wapres, juga semua program pemerintahan Jokowi-JK, walaupun
kemudian terbukti semua itu tidak benar.
Situasi ketegangan dan pembangunan opini yang menyudutkan posisi
fraksi mayoritas di DPR sesungguhnya tidak berbeda dengan peristiwa 10 tahun
lalu, ketika pilpres langsung pertama digelar dan dimenangi pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)-JK.
Duet yang didukung fraksi yang suaranya minoritas di DPR—yang
menamakan kelompoknya Koalisi Kerakyatan—ketimbang rival utamanya, pasangan Megawati
Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang membentuk Koalisi Kebangsaan, berimbas pada
persaingan di parlemen.
Koalisi Kebangsaan yang kalah di pilpres—sama dengan
KMP—berhasil memenangi paket pemilihan pemimpin DPR, namun kalah dalam
pertarungan pemilihan pemilihan MPR. Koalisi Kebangsaan juga kemudian
menguasai mayoritas pemimpin AKD. Konflik antara Koalisi Kebangsaan dan
Koalisi Kerakyatan mirip dengan perkembangan yang terjadi di parlemen saat
ini.
Jika KIH sempat mendeklarasikan mosi tidak percaya dan membentuk
pemimpin dewan bayangan atau tandingan, ketika pada 2004 Koalisi Kerakyatan
membentuk komisi-komisi tandingan. Namun, dalam konteks hubungan
legislatif-eksekutif, ada sedikit perbedaan. Presiden SBY ketika itu
mengeluarkan instruksi presiden (inpres) yang melarang para menterinya
memenuhi undangan DPR untuk melakukan rapat kerja, sampai DPR menyelesaikan
konflik internalnya.
Alasan Presiden SBY, DPR masih ricuh, masih bersengketa soal
pembentukan komisi yang tidak diakui Koalisi Kerakyatan, mengingat para
pemimpin komisi, semua dari Koalisi Kebangsaan. Namun, Presiden Jokowi tidak
mengeluarkan inpres, hanya meminta DPR segera bersatu kembali dan tidak
terpecah.
Jika konflik antara
KIH-KMP mencair dan bisa menemukan titik kompromi untuk damai, lalu sepakat
membagi kembali sebagian kekuasaan karena turunnya para elite untuk
mengomunikasikan soal ini bersama-sama, begitu juga konflik yang terjadi pada
2004, bisa diselesaikan ketika para elite partai bertemu dan membahas ulang
posisi-posisi di komisi, serta AKD. Jadi, faktor komunikasi dan peran elite
sangat menentukan.
Dari sisi waktu perseteruan atau konflik, peristiwa 2004 dan
sekarang hampir sama, yakni sebulan seminggu. Konflik antara Koalisi
Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan di parlemen bisa diselesaikan pekan kedua
November. Begitu juga konflik antara KMP dan KIH. Adagium yang menyatakan
sejarah berulang, benar-benar terjadi di panggung parlemen meski dengan
pemain berbeda.
Komunikasi Para Elite
Praktik dan budaya politik di Indonesia sesungguhnya tidak
rumit, meskipun jumlah partai yang berdiri dan kemudian ikut dalam pemilu,
cukup banyak. Mengapa? Ini karena petinggi partai, apakah namanya ketua umum
atau presiden partai, punya pengaruh dan kewenangan yang besar. Otoritas yang
besar dari elite partai inilah yang sesungguhnya dari sisi konflik di
parlemen saat ini bisa menjadi faktor
yang sangat menentukan cepat atau lambatnya penyelesaian konflik.
Ketika elite partai ini turun tangan, bertemu dan mencari solusi
bersama dengan menggelar serangkaian pertemuan, suasana pun mulai berubah dan
kini menghasilkan apa yang disebut kesepakatan damai. Proses mencari solusi
penyelesaian konflik di DPR saat ini tidak terlepas dari pertemuan-pertemuan
yang digelar di rumah Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa, yang dihadiri para
pemimpin partai yang wakilnya ada di parlemen.
Dengan demikian, seberat apa pun konflik yang melanda parlemen
bisa diselesaikan dengan baik, asalkan ada komunikasi antarelite yang
efektif, dengan saling membuka diri, menyadari berbagai kelemahan dan
persepsi yang telanjur buruk terhadap parlemen, dan mau memberikan sebagian
kekuasan kepada pihak lain, dalam hal ini KIH.
Seperti dikemukakan ahli komunikasi Johnson, DW dalam bukunya
Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self Actualization, 1981; kita
perlu menerima dan mengakui perasaan-perasaan kita, bukan menyangkal, menekan
atau menyembunyikannya. Selain itu, tentu saja kita harus mampu mendengarkan
dengan penuh perhatian ketika orang lain sedang membuka diri kepada kita adalah
cara yang jitu untuk memulai dan memelihara komunikasi.
Kesadaran akan situasi yang terjadi saat ini, jika dibiarkan
terus akan menemui jalan buntu atau deadlock. Sikap saling menerima atau
legawa dari para elite partai menjadi kunci keberhasilan menyelesaikan
konflik berlarut di parlemen.
Tentunya kita berharap kondisi yang membaik di parlemen ini
segera menemukan performanya. Dalam sistem presidensial yang kita anut,
fungsi parlemen merupakan check and balance terhadap jalannya pemerintahan.
Jika DPR deadlock dan tidak dapat
menjalankan fungsinya, sistem presidensial menjadi pincang, pemerintahan
berjalan tanpa kontrol yang efektif, dan akhirnya masyarakat dirugikan karena
program pembangunan untuk kepentingan masyarakat tidak berjalan dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar