Kamis, 13 November 2014

Peran Komunikasi Para Elite

Peran Komunikasi Para Elite

Safrudiningsih  ;  Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI)-Indosiar;
Humas Jakarta Bahasa Toastmasters
SINAR HARAPAN, 12 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Kabar gembira datang dari parlemen. Dua kubu yang selama ini saling berseteru, yakni kelompok fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), telah sepakat mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih dari sebulan.

Kepastian bakal berakhirnya konflik diungkapkan politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Pramono Anung yang mewakili kubu KIH dan politikus Oartai Golongan Karya (Golkar) Idrus Marham dari KMP, usai keduanya mengikuti pertemuan dengan pemimpin DPR dan wakil kedua kubu koalisi, di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/11).

Kedua kubu koalisi menemukan solusi atas konflik yang terjadi selama ini. Dikarenakan faktor utama penyulut konflik adalah soal kekuasaan, khususnya masalah posisi pemimpin Alat Kelengkapan Dewan (AKD), kedua kubu menyepakati menambah jumlah pemimpin AKD dari empat orang, yaitu satu ketua dan tiga wakil, menjadi lima pemimpin, satu ketua, dan empat wakil ketua.

Dalam format penyelesaian konflik, fraksi-fraksi di KIH yang semula tidak mendapat posisi pemimpin di AKD, diakomodasi dalam penambahan pemimpin AKD tersebut. Format ini lebih realistis dan mudah, ketimbang usulan sebelumnya untuk menambah jumlah komisi yang ada di DPR.

Jalan tengah untuk mendekatkan kubu KMP dan KIH menjadi semacam win-win solution atas kebuntuan yang semula terasa sulit dicari solusinya. Sejumlah usulan pernah dilontarkan. Ternyata usulan yang menginginkan kedua kubu menjalin komunikasi, terutama melalui elite partainya, kemudian membuahkan hasil. Jadi, komunikasi antarelite terbukti ampuh untuk meredam gejolak dan mempertemukan perbedaan kedua kubu di parlemen. Pertemuan antarelite partai menghasilkan kesepakatan power sharing di AKD.

Akar Konflik

Kita melihat sumber atau akar konflik yang membuat DPR hasil Pemilu 2014 tidak bisa menjalankan tugasnya secara efektif adalah persoalan kekuasasn, dalam hal ini posisi-posisi strategis di lembaga legislatif, mulai dari pemimpin DPR, MPR, dan AKD.

Semua sumber konflik itu merupakan imbas atau pengaruh dari pertarungan yang sangat sengit, ketat, dan menegangkan dalam pemilihan presiden (pilpres), mengingat yang memperebutkan jabatan RI 1 dan RI 2 hanya dua pasangan, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Selama tiga kali pilpres langsung sejak 2004, baru pada Pilpres 2014 kontestan hanya dua pasangan.

Tidak mengherankan jika kekuatan politik di parlemen mengikuti pengelompokan dalam blok ataupun koalisi pendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Pascapilpres, persaingan dua kutub itu pun masih sangat terasa.

Kebetulan, koalisi yang berada di belakang pasangan Prabowo-Hatta merupakan fraksi mayoritas sehingga muncul berbagai spekulasi dan persepsi DPR yang dikuasai pendukung Prabowo-Hatta akan menjegal pelantikan presiden dan wapres, juga semua program pemerintahan Jokowi-JK, walaupun kemudian terbukti semua itu tidak benar.

Situasi ketegangan dan pembangunan opini yang menyudutkan posisi fraksi mayoritas di DPR sesungguhnya tidak berbeda dengan peristiwa 10 tahun lalu, ketika pilpres langsung pertama digelar dan dimenangi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-JK.

Duet yang didukung fraksi yang suaranya minoritas di DPR—yang menamakan kelompoknya Koalisi Kerakyatan—ketimbang rival utamanya, pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang membentuk Koalisi Kebangsaan, berimbas pada persaingan di parlemen.

Koalisi Kebangsaan yang kalah di pilpres—sama dengan KMP—berhasil memenangi paket pemilihan pemimpin DPR, namun kalah dalam pertarungan pemilihan pemilihan MPR. Koalisi Kebangsaan juga kemudian menguasai mayoritas pemimpin AKD. Konflik antara Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan mirip dengan perkembangan yang terjadi di parlemen saat ini.

Jika KIH sempat mendeklarasikan mosi tidak percaya dan membentuk pemimpin dewan bayangan atau tandingan, ketika pada 2004 Koalisi Kerakyatan membentuk komisi-komisi tandingan. Namun, dalam konteks hubungan legislatif-eksekutif, ada sedikit perbedaan. Presiden SBY ketika itu mengeluarkan instruksi presiden (inpres) yang melarang para menterinya memenuhi undangan DPR untuk melakukan rapat kerja, sampai DPR menyelesaikan konflik internalnya.

Alasan Presiden SBY, DPR masih ricuh, masih bersengketa soal pembentukan komisi yang tidak diakui Koalisi Kerakyatan, mengingat para pemimpin komisi, semua dari Koalisi Kebangsaan. Namun, Presiden Jokowi tidak mengeluarkan inpres, hanya meminta DPR segera bersatu kembali dan tidak terpecah.

Jika  konflik antara KIH-KMP mencair dan bisa menemukan titik kompromi untuk damai, lalu sepakat membagi kembali sebagian kekuasaan karena turunnya para elite untuk mengomunikasikan soal ini bersama-sama, begitu juga konflik yang terjadi pada 2004, bisa diselesaikan ketika para elite partai bertemu dan membahas ulang posisi-posisi di komisi, serta AKD. Jadi, faktor komunikasi dan peran elite sangat menentukan.

Dari sisi waktu perseteruan atau konflik, peristiwa 2004 dan sekarang hampir sama, yakni sebulan seminggu. Konflik antara Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan di parlemen bisa diselesaikan pekan kedua November. Begitu juga konflik antara KMP dan KIH. Adagium yang menyatakan sejarah berulang, benar-benar terjadi di panggung parlemen meski dengan pemain berbeda.

Komunikasi Para Elite      

Praktik dan budaya politik di Indonesia sesungguhnya tidak rumit, meskipun jumlah partai yang berdiri dan kemudian ikut dalam pemilu, cukup banyak. Mengapa? Ini karena petinggi partai, apakah namanya ketua umum atau presiden partai, punya pengaruh dan kewenangan yang besar. Otoritas yang besar dari elite partai inilah yang sesungguhnya dari sisi konflik di parlemen saat ini bisa menjadi  faktor yang sangat menentukan cepat atau lambatnya penyelesaian konflik.

Ketika elite partai ini turun tangan, bertemu dan mencari solusi bersama dengan menggelar serangkaian pertemuan, suasana pun mulai berubah dan kini menghasilkan apa yang disebut kesepakatan damai. Proses mencari solusi penyelesaian konflik di DPR saat ini tidak terlepas dari pertemuan-pertemuan yang digelar di rumah Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa, yang dihadiri para pemimpin partai yang wakilnya ada di parlemen.

Dengan demikian, seberat apa pun konflik yang melanda parlemen bisa diselesaikan dengan baik, asalkan ada komunikasi antarelite yang efektif, dengan saling membuka diri, menyadari berbagai kelemahan dan persepsi yang telanjur buruk terhadap parlemen, dan mau memberikan sebagian kekuasan kepada pihak lain, dalam hal ini KIH.

Seperti dikemukakan ahli komunikasi Johnson, DW dalam bukunya Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self Actualization, 1981; kita perlu menerima dan mengakui perasaan-perasaan kita, bukan menyangkal, menekan atau menyembunyikannya. Selain itu, tentu saja kita harus mampu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika orang lain sedang membuka diri kepada kita adalah cara yang jitu untuk memulai dan memelihara komunikasi.

Kesadaran akan situasi yang terjadi saat ini, jika dibiarkan terus akan menemui jalan buntu atau deadlock. Sikap saling menerima atau legawa dari para elite partai menjadi kunci keberhasilan menyelesaikan konflik berlarut di parlemen.

Tentunya kita berharap kondisi yang membaik di parlemen ini segera menemukan performanya. Dalam sistem presidensial yang kita anut, fungsi parlemen merupakan check and balance terhadap jalannya pemerintahan. Jika DPR deadlock dan tidak dapat menjalankan fungsinya, sistem presidensial menjadi pincang, pemerintahan berjalan tanpa kontrol yang efektif, dan akhirnya masyarakat dirugikan karena program pembangunan untuk kepentingan masyarakat tidak berjalan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar