Kamis, 13 November 2014

Arah Baru Pendidikan Tinggi

Arah Baru Pendidikan Tinggi

A Ilyas Ismail  ;  Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dekan FAI-UIA Jakarta
REPUBLIKA, 12 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah memindahkan "dikti" yang semula berada di bawah Kemendikbud ke Kemenristek sehingga nomenklatur kementerian yang terakhir ini menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Perubahan ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Sebagian pakar menolak keras, tetapi sebagian yang lain menerima dan mendukungnya.

Prof Daoed Yoesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan era Presiden Soeharto, merupakan salah seorang pakar yang menentang keras perubahan ini. Argumennya, pendidikan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Dalam pandangannya, tidak bisa dibayangkan ada pendidikan tanpa berbasis kebudayaan.

Penempatan "dikti" setelah Ristek juga dinilai membingungkan alias kurang tepat karena "dikti" adalah induk dari ristek, bukan sebaliknya. Mengikuti jalan pikiran ini, maka nomenklatur kementerian ini mestinya Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Teknologi (Kementi Ristek).

Terlepas dari pro dan kontra ini, kita berharap perubahan kebijakan ini tak hanya berkutat pada persoalan kelembagaan (institusional), tetapi persoalan yang lebih mendasar (substansial) sehingga dapat membawa kebaikan dan semangat baru bagi kemajuan perguruan tinggi (PT) di Indonesia.

Perguruan tinggi kita memang belum menggembirakan. Hanya ada tiga universitas yang masuk peringkat 500 besar World Rank University, yaitu UI (peringkat ke-273), UGM (401-450), dan ITB (451-500). Untuk peringkat Asia, UI di urutan ke-71, ITB ke-125, dan UGM ke-145. Peringkat ini jauh di bawah National University of Singapore (NUS) yang di peringkat pertama, disusul Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) peringkat kedua dan University Malaya (UM) di urutan ke-31.

Paradigma baru

Integrasi "dikti" ke ristek harus dimaknai secara paradikmatik (filosofis-epistemologis) yang menggambarkan arah baru penyelenggaraan pendidikan tinggi ke depan. Sejalan dengan perubahan ini, maka arah baru pendidikan tinggi, hemat penulis, dilakukan mula-mula dengan memperteguh tugas pokok PT.

Tugas pokok PT adalah mengembangkan ilmu pengetahuan melalui penelitian. Ini adalah roh PT di manapun di dunia. Pengembangan ilmu terkait tiga hal, pertama menciptakan ilmu pengetahuan baru. Kedua, menyebarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas. Ketiga, menggunakan serta memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan masyarakat.

Pengembangan ilmu hanya bisa dilakukan melalui basic dan etos kerja ristek yang sangat kuat, seperti dilakukan universitas terkemuka dunia. Maka integrasi "dikti" ke ristek, pada hemat penulis, harus diikuti pula oleh perubahan (pergeseran) paradigmatik, paling tidak menyangkut tiga hal pokok.

Pertama, perubahan paradigma dari universitas pengajaran ke universitas penelitian. Belakangan ini sudah banyak universitas yang mendeklarasikan diri sebagai universitas penelitian (riset). Malahan, ada yang menyebut sebagai "world-class research university". Namun, ini baru pada tataran jargon, belum kenyataan sebenarnya.

Pergeseran paradigma ini menghendaki penguatan pada bidang penelitian—bukan (hanya) pengajaran—di mana penelitian harus menjadi main activity seluruh civitas academica. Penguatan ini dengan menumbuhkan semangat (kasmaran—passion) meneliti di kalangan dosen dan mahasiswa, meningkatkan kemampuan meneliti, dan menyediakan dukungan dana memadai.

Yang terakhir ini memang "problematik", selain sangat rumit dan birokratik, juga jumlahnya sangat terbatas. Bayangkan, secara nasional, anggaran pemerintah (APBN) untuk riset hanya 0,08 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan belanja publik untuk riset di negara-negara Asia, seperti Cina (2,0 persen), Jepang (3,40 persen), Korea Selatan (4,04 persen), Singapura (2,20 persen), Malaysia (1,07 persen), dan negara-negara OECD, seperti Inggris (2,75 persen), Jerman (2,90 persen), Swedia (3,40 persen), dan AS (2,80 persen) (Data World Bank: 2009-2013).

Kedua, sejalan dengan penguatan riset, maka paradigma pembelajaran juga harus diubah, dari hanya mencari (mengumpulkan) ilmu pada penciptaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selama ini proses pembelajaran masih menitikberatkan pada fungsi transfer of knowledge, bukan creation of knowledge. Paradigma pembelajaran ini sudah saatnya diakhiri. Sebab, kalau kuliah hanya untuk mendapat dan mengumpulkan pengetahuan, para mahasiswa pada era digital sekarang tidak perlu lagi kuliah. Dengan smartphone-nya atau internet mereka bisa searching informasi dan pengetahuan apa pun.

Oleh sebab itu, pembelajaran mesti based on research dan diorientasikan pada penciptaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sini para mahasiswa tidak perlu dijejali materi atau bahan ajar berlebihan. Mereka hanya perlu dibekali lebih kuat terkait cara berpikir (logika keilmuan), baik logika deduktif maupun induktif atau cara berpikir yang menekankan pada cara atau prosedur pemecahan masalah yang oleh Helpern dinamakan "Berpikir Kritis atau Reflektif" (Helpern: Thought and Knowledge: an Introduction to Critical Thinking, 1996).

Ketiga, pergeseran paradigma terkait visi dosen di PT, dari hanya sebagai fasilitator pengajaran menjadi teman sejawat penelitian. Pada masa lalu, guru atau dosen dipandang sebagai pusat pengajaran sehingga peserta didik dianggap sebagai makhluk tidak berkesadaran atau ibarat "botol kosong" menurut bahasa Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil. Pandangan ini menempatkan dosen-mahasiswa tidak setara: dosen (dianggap) pandai, mahasiswa bodoh, dosen mengajar, mahasiswa belajar.

Sekarang sudah umum diketahui bahwa pusat pembelajaran bukanlah dosen, melainkan mahasiswa. Pandangan ini menempatkan dosen-mahasiswa setara atau sejajar. Dosen-mahasiswa sama-sama makhluk berkesadaran, memiliki potensi intelektual yang tinggi, serta sama-sama belajar, mengembangkan ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran yang dilakukan.

Karena sederajat dan setara, maka dosen tidak cukup hanya menjadi fasilitator, seperti diusulkan Freire, tetapi menjadi mitra atau teman-sejawat (peer-group) dalam pembelajaran dan penelitian. Menurut saya, visi dosen bukan fasilitator, melainkan menjadi peneliti. Dan dalam konteks pembelajaran, ia menjadi mitra atau teman sejawat mahasiswa dalam riset atau penelitian.

Pergeseran paradigma yang ketiga ini menghendaki dosen melibatkan sebanyak mungkin mahasiswa dalam riset, baik riset untuk kepentingan perkuliahan (pembelajaran), riset dasar dalam rangka pengembangan ilmu (pure research) maupun riset terapan dalam rangka kemajuan industri dan ekonomi bangsa (applied research).

Harus diakui, selama ini tidak banyak dosen yang melibatkan mahasiswa dalam riset. Pelibatan mahasiswa hanya terkait aspek teknis, bukan substansi, yakni sebagai tenaga lapangan sukarela untuk penyebaran dan pengumpulan angket penelitian. Lain tidak!

Kenyataan ini diperparah oleh kenyataan di mana riset kita terpencar-pencar di berbagai lembaga tanpa koordinasi dan harmonisasi yang baik. Akibatnya, riset dan publikasi ilmiah kita secara internasional tertinggal jauh dibanding negara tetangga.

Agar lebih produktif dan kontributif bagi kemajuan bangsa, ristek dan dikti harus disinergikan dan diintegrasikan dengan industri. Integrasi ketiganya (ristek-dikti-industri) akan melahirkan kekuatan baru yang memungkinkan Indonesia menjadi negara industri maju. Gagasan agar PT menjadi mesin pertumbuhan dan mampu mengembangkan knowledge based economy—meski tidak semua orang setuju—akan menjadi kenyataan hanya bila ketiganya bersatu, tidak terpencar dan berjalan sendiri.

Dengan basic riset yang kuat serta terintegrasi, maka PT kita bisa mulai melakukan inovasi pengembangan ilmu dengan karakter khusus. Ini akan menjadi salah satu keunggulan. Beberapa negara telah melakukan inovasi ini, yaitu Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan Taiwan, sehingga iptek yang dikembangkan memberi kontribusi bagi kemajuan negara (Altbach, 1989).

Model pengembangan iptek semacam ini pernah menjadi perhatian Teasdele dan timnya dari Flinders University Australia. Inovasi ini—bilamana dilakukan—akan mengubah arogansi dan tradisi kerja intelektual di kalangan kita yang menurut almarhum Nurcholish Madjid hanya menjadi "konsumen" bukan "produsen". Sejalan dengan pergeseran kekuatan global dari Barat ke Asia, maka hal yang mula-mula kita lakukan adalah mengubah paradigma atau arah baru pendidikan tinggi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar