Kohesi
DPR dan Harmonisasi
Petrus Suryadi Sutrisno ; Pengajar
Senior dan Penguji Kompetensi Wartawan Utama Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS)
Jakarta;
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi
|
SUARA
MERDEKA, 12 November 2014
KETEGANGAN dan perseteruan politik di DPR selama lebih dari 40
hari, pada Senin (10/11/14) berakhir dengan kemunculan kesepakatan damai
antara kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Media massa menyebut ketegangan dan perseteruan itu membuat parlemen terbelah
dua.
Tontonan politik yang mengesankan DPR tidak bersatu. Dimulai
dari kubu KMP yang menguasai 353 kursi di DPR melancarkan operasi sapu bersih
semua pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Disusul keputusan sepihak
mengambil semua jatah pimpinan komisi plus Mahkamah Kehormatan, Komisi V, XI,
dan Badan Legislasi, Badan Kerjasama Antar Parlemen, serta Badan Urusan Rumah
Tangga.
Terkecuali pimpinan Banggar yang penetapannya harus menunggu
kelengkapan penetapan komisikomisi (alat kelengkapan dewan). Kubu KIH, sesuai
hasil Pileg 2014, memperoleh 109 kursi bahkan membuat semacam DPR tandingan
guna mengimbangi kubu KMP. Bahkan menggelar rapat paripurna plus adegan
membalikkan meja yang dilakukan anggota FPPP DPR, partai pendukung
pemerintah. Adapun KMP menguasai 353 kursi DPR.
Kubu KIH sebenarnya hanya ingin mengisi 16 kursi pimpinan komisi
dan alat kelengkapan dewan yang seluruhnya berjumlah 64 kursi. Namun kubu KMP
menolak permintaan itu karena mereka ingin menguasai mayoritas suara di semua
lini kursi pimpinan DPR, sebagai obsesi pihak yang menguasai arena legislatif
akibat gagal meraih kursi eksekutif serelah kalah dalam Pilpres 2014.
Meredanya ketegangan dan perseteruan antara KMP dan KIH ini
sedikit banyak mencerminkan efektifnya komunikasi politik dua kubu itu, yang
tidak terlepas dari peran Hatta Rajasa dan Pramono Anung. Komunikasi politik
bisa memadukan perubahan sikap KMP yang kemudian lebih membuka diri, seiring
dengan perubahan sikap KIH yang jadi lebih realistis. Termasuk merelakan
kekuasaan pimpinan legislatif berada di kubu KMP, dengan menerima komitmen
perolehan 21 kursi pimpinan alat kelengkapan dewan.
Bisa dibayangkan apa jadinya sistem politik di Indonesia jika
KIH dan KMP tidak mencapai kesepakatan politik. Kubu KMP yang menguasai
legislatif akan berada pada posisi berhadap-hadapan untuk mematahkan upaya
KIH mendukung eksekutif. Rivalitas politik berkait peran legislatif dan
eksekutif bagaimanapun berujung pada klimaks politik, yang tidak terlepas
dari kepentingan politik masing-masing lembaga itu.
Obama-McConnell
Fenomena politik di DPR kita juga dialami negara lain. Sewaktu
kubu KMP dan KIH terlibat dalam ketegangan selama 40 hari, pada Rabu
(4/11/14) Presiden AS Barack Obama melakukan langkah politik mengundang Mitch
McConnell, calon ketua mayoritas Senat AS dari Partai Republik untuk
berbicara di Gedung Putih.
Kemenangan kubu Partai Republik yang dalam pemberitaan media
sering disebut Grand Old Party
(GOP) dalam pemilu sela cukup membuat Obama prihatin dan merasa perlu bicara
dengan McConnell, senator negara bagian Kentucky.
Keduanya membahas agenda politik masing-masing yang jelas
berbeda. Obama menangkap fenomena bahwa pemilihan sela yang hampir secara
keseluruhan dimenangi Partai Republik dalam hitungan waktu ke depan akan
mengubah arena politik AS. Hal itu karena per Januari 2015, GOP akan mulai
ìmenguasaiî Kongres AS (Senat dan DPR/House of Representative). Obama mencoba
membahas agenda politik dan agenda kerjanya bersama dengan McConnell.
Obama rupanya menyadari nantinya tak mudah bagi Presiden AS
menjalin harmonisasi politik dengan partai lawan, dan demikian juga
sebaliknya. Dalam pemikiran Obama: sulit bagi presiden untuk bisa
meratifikasi beberapa rancangan UU yang kemungkinan diajukan Kongres yang
mayoritasnya dari Partai Republik. Ia juga menyadari adanya berbagai
kebijakan dan program pemerintah yang tak disukai dan tak disetujui mayoritas
anggota Kongres AS.
Atas dasar pemikiran itulah, Obama mengajak McConnell bertemu
untuk mempersempit jurang perbedaan antara Partai Demokrat dan Partai
Republik, atau antara kepentingan nasional dan prorakyat. Obama dan McConnell
bersepakat melanjutkan pembangunan infrastruktur, yaitu beberapa jalan raya
dan jembatan. Rencana pemerintahan Obama mendapat respons relatif cukup
positif dari kubu Partai Republik. Bahkan McConnell berjanji memuluskan
rencana pembangunan tersebut.
Selain Keduanya juga menyepakati beberapa hal seperti ekspansi
perdagangan, pakta perdagangan, reformasi pajak, pemakaian alat-alat
kesehatan, regulasi lingkungan hidup dan yang terkait denga karbondioksida
undang-undang imigrasi baru. Obama telah menunjukkan bahwa ia mampu
mengesampingkan hak vetonya dan tidak ingin bertentangan dengan kubu
GOP/Partai Republik dalam menggolkan kebijakan pemerintahannya. Adapun
McConnell juga menunjukkan sikap positifnya dalam merespons sisa dua tahun
terakhir masa pemerintahan Obama.
Kohesi-Harmonisasi
Ada beberapa hal yang bisa dicatat dari fenomena politik kita di
DPR dan pendekatan Obama-Mc Connell di AS. Pertama; ada upaya dan terobosan
politik yang dilakukan untuk menyelesaikan ketegangan dan perseteruan politik
di DPR. Obama-McConnell juga melakukan terobosan guna menghindari
keberlanjutan kemungkinan ketegangan dan perseteruan pemerintah dengan
Kongres.
Kedua; KMP dan KIH mampu membuat suatu kohesi politik, dengan
menghadirkan keserasian hubungan antarunsur yang satu dan unsur yang lain
dalam wacana pengisian kursi pimpinan alat kelengkapan dewan. Adapun Obama
dan McConnell dapat menjalin harmonisasi politik lewat Partai Demokrat dan
Partai Republik yang sebenarnya berlawanan.
Betapapun berat dan tegangnya perseteruan antara partai yang
berkuasa di lembaga eksekutif dan partai yang menguasai lembaga legislatif,
komunikasi politik tetap dapat dibangun melalui suatu sinergi politik. Apakah
dengan membangun kohesi politik sebagaimana dilakukan DPR kita atau menjalin
harmonisasi politik seperti Obama dari Partai Demokrat dan McConnell dari
Partai Republik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar