Pendidikan
Kesehatan
Esthi Susanti Hudiono ; Direktur
Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya
|
KOMPAS,
11 November 2014
SAATNYA kita lebih serius
mengurus anak dan remaja. Dunia telah melihat isu ini dengan Malala Yousafzai
dan Kailash Satyarthi mendapat anugerah Nobel Perdamaian tahun 2014 untuk
karya mereka mempromosikan hak anak. Perjuangan Malala untuk bisa tetap
bersekolah sekalipun sistemnya tidak membolehkan menjadi teladan kita untuk
memperjuangkan masa depan anak yang lebih baik.
Meski demikian, pendidikan
kesehatan hingga kini belum diterima di dunia pendidikan, baik formal maupun
informal. Beberapa waktu lalu di hadapan beberapa profesor dan doktor yang
peduli dunia pendidikan, saya tawarkan ide memasukkan elemen kesehatan ke
dalam sistem dan struktur pendidikan. Mereka sepakat bahwa itu domain
kesehatan.
Ide itu saya tawarkan karena
prevalensi anak melakukan hubungan seks dini semakin tinggi, bahkan usianya
semakin muda. Seks dini di kalangan anak telah diiringi dengan peningkatan
yang luar biasa: kehamilan, aborsi tidak aman, pembunuhan janin (di dalam
ataupun di luar kandungan), anak di luar nikah, dan penelantaran anaknya
anak.
Belum lagi perilaku yang
menyertainya, seperti narkoba, minuman keras, dan merokok. Bandul epidemi HIV
dan infeksi menular seksual sekarang menuju pada anak dan remaja.
Media massa telah mengangkat
kejadian semua itu terus-menerus. Itu artinya sistem perlindungan anak belum
berjalan sebagaimana mestinya.
Dunia pendidikan saat ini
merasa cukup dengan program kesehatan reproduksi yang statusnya belum jelas.
Apakah diberikan di intrakurikuler atau ekstrakurikuler jika ingin lebih
mendalam.
Kurikulum yang ada memang telah
membahas soal aspek fisik dari kesehatan reproduksi. Materi ini jauh dari
memadai untuk mencegah peningkatan prevalensi hubungan seksual dini karena
diberikan sebagai materi pelajaran biologi dan lain-lain.
Masalah bukan di aspek fisik
dari kesehatan reproduksi remaja, melainkan terletak pa- da pola relasi dan
relasi yang sehat, pengendalian libido melalui pengenalan diri, aspek
rekreasi dari seks yang bernorma, mencegah kecanduan, dan mencegah menjadi
korban eksploitasi atau kekerasan seksual.
Dimensi kesehatan yang harus
masuk ke dunia pendidikan tidak hanya kesehatan reproduksi, tetapi juga
pendidikan seksualitas yang berkelanjutan dan komprehensif termasuk infeksi
menular seksual dan HIV, narkoba, dan kesehatan jiwa.
Adapun aspek pencegahan dan
promosi kesehatan yang digagas dunia kesehatan di Indonesia masih berjuang
keras untuk mendapatkan ruang. Yang masih mendominasi adalah aspek kuratif
dan rehabilitatif.
Promosi kesehatan di puskesmas
masih banyak yang belum berfungsi karena sifatnya masih ceramah dan memenuhi
undangan dari sekolah atau masyarakat.
Peran pencegahan dan promosi
kesehatan di masyarakat banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat.
Sayangnya, yang konsentrasi pada anak sedikit sekali. Lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan kebanyakan di isu narkoba, HIV,
dan TBC dengan basis masyarakat dan lebih fokus pada mereka yang berisiko.
Kenyataan berbeda
Jadi, ada gap yang besar sekali
antara persepsi dan kenyataan. Dipersepsikan dikerjakan oleh kesehatan,
tetapi kenyataannya program kesehatan masih didominasi oleh kuratif dan fokus
pada orang dewasa yang berisiko.
Program kesehatan untuk anak
masih sebatas pemberian informasi yang diberikan di dalam materi pelajaran
ataupun ekstrakurikuler.
Migrasi, media online, dan
sepeda motor telah mengubah pola perilaku individu, keluarga, dan masyarakat.
Dulu, keluarga melindungi anak dari perilaku menyimpang dengan menekankan
pada pendidikan agama. Adanya media online dan kebebasan bergerak tanpa
kontrol langsung membuat anak-anak tidak terlindungi. Orangtua memberi
apresiasi positif pada penggunaan teknologi online. Intervensi orang dan
informasi di dunia maya yang sama sekali sulit disaring orangtua punya
potensi besar dan telah menjerumuskan anak untuk berbuat negatif.
Karena itu, sekolah tidak bisa
lagi berkukuh dengan pendirian bahwa pendidikan seksualitas adalah urusan
orangtua. Anak-anak yang bermasalah dari rumah tentu berpengaruh luar biasa
ketika mereka bersekolah. Karena itu, dunia sekolah tidak bisa berpangku
tangan menghadapi masalah seksualitas anak. Apalagi, peristiwanya terjadi di
sekolah, seperti bertemu pacar, dijual oleh temannya, dan pengaruh teman
sebaya.
Seks dini, hamil, aborsi,
pembunuhan janin, anak di luar nikah, dan penelantaran anaknya anak adalah
masalah sosial yang serius dihadapi Indonesia saat ini.
Kalau ini tidak ditangani oleh
semua sektor, bonus demografi yang menjadi peluang Indonesia akan berubah
menjadi ancaman berupa tingginya pengangguran, kenakalan, dan kriminalitas.
Karena itu, dunia pendidikan
harus masuk menyubstitusi penanganan masalah yang tidak mampu ditangani
orangtua.
Pendidikan kesehatan, baik
formal maupun informal, dengan memberdayakan anak dan orangtua harus
dilakukan. Ruang itu harus dibuka oleh dunia pendidikan. Semoga menteri
pendidikan yang baru bisa melihat perspektif ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar