Rabu, 12 November 2014

Pendidikan Kesehatan

Pendidikan Kesehatan

Esthi Susanti Hudiono  ;  Direktur Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya
KOMPAS, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


SAATNYA kita lebih serius mengurus anak dan remaja. Dunia telah melihat isu ini dengan Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi mendapat anugerah Nobel Perdamaian tahun 2014 untuk karya mereka mempromosikan hak anak. Perjuangan Malala untuk bisa tetap bersekolah sekalipun sistemnya tidak membolehkan menjadi teladan kita untuk memperjuangkan masa depan anak yang lebih baik.

Meski demikian, pendidikan kesehatan hingga kini belum diterima di dunia pendidikan, baik formal maupun informal. Beberapa waktu lalu di hadapan beberapa profesor dan doktor yang peduli dunia pendidikan, saya tawarkan ide memasukkan elemen kesehatan ke dalam sistem dan struktur pendidikan. Mereka sepakat bahwa itu domain kesehatan.

Ide itu saya tawarkan karena prevalensi anak melakukan hubungan seks dini semakin tinggi, bahkan usianya semakin muda. Seks dini di kalangan anak telah diiringi dengan peningkatan yang luar biasa: kehamilan, aborsi tidak aman, pembunuhan janin (di dalam ataupun di luar kandungan), anak di luar nikah, dan penelantaran anaknya anak.

Belum lagi perilaku yang menyertainya, seperti narkoba, minuman keras, dan merokok. Bandul epidemi HIV dan infeksi menular seksual sekarang menuju pada anak dan remaja.

Media massa telah mengangkat kejadian semua itu terus-menerus. Itu artinya sistem perlindungan anak belum berjalan sebagaimana mestinya.
Dunia pendidikan saat ini merasa cukup dengan program kesehatan reproduksi yang statusnya belum jelas. Apakah diberikan di intrakurikuler atau ekstrakurikuler jika ingin lebih mendalam.

Kurikulum yang ada memang telah membahas soal aspek fisik dari kesehatan reproduksi. Materi ini jauh dari memadai untuk mencegah peningkatan prevalensi hubungan seksual dini karena diberikan sebagai materi pelajaran biologi dan lain-lain.

Masalah bukan di aspek fisik dari kesehatan reproduksi remaja, melainkan terletak pa- da pola relasi dan relasi yang sehat, pengendalian libido melalui pengenalan diri, aspek rekreasi dari seks yang bernorma, mencegah kecanduan, dan mencegah menjadi korban eksploitasi atau kekerasan seksual.
Dimensi kesehatan yang harus masuk ke dunia pendidikan tidak hanya kesehatan reproduksi, tetapi juga pendidikan seksualitas yang berkelanjutan dan komprehensif termasuk infeksi menular seksual dan HIV, narkoba, dan kesehatan jiwa.

Adapun aspek pencegahan dan promosi kesehatan yang digagas dunia kesehatan di Indonesia masih berjuang keras untuk mendapatkan ruang. Yang masih mendominasi adalah aspek kuratif dan rehabilitatif.

Promosi kesehatan di puskesmas masih banyak yang belum berfungsi karena sifatnya masih ceramah dan memenuhi undangan dari sekolah atau masyarakat.

Peran pencegahan dan promosi kesehatan di masyarakat banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat. Sayangnya, yang konsentrasi pada anak sedikit sekali. Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan kebanyakan di isu narkoba, HIV, dan TBC dengan basis masyarakat dan lebih fokus pada mereka yang berisiko.

Kenyataan berbeda

Jadi, ada gap yang besar sekali antara persepsi dan kenyataan. Dipersepsikan dikerjakan oleh kesehatan, tetapi kenyataannya program kesehatan masih didominasi oleh kuratif dan fokus pada orang dewasa yang berisiko.
Program kesehatan untuk anak masih sebatas pemberian informasi yang diberikan di dalam materi pelajaran ataupun ekstrakurikuler.

Migrasi, media online, dan sepeda motor telah mengubah pola perilaku individu, keluarga, dan masyarakat. Dulu, keluarga melindungi anak dari perilaku menyimpang dengan menekankan pada pendidikan agama. Adanya media online dan kebebasan bergerak tanpa kontrol langsung membuat anak-anak tidak terlindungi. Orangtua memberi apresiasi positif pada penggunaan teknologi online. Intervensi orang dan informasi di dunia maya yang sama sekali sulit disaring orangtua punya potensi besar dan telah menjerumuskan anak untuk berbuat negatif.

Karena itu, sekolah tidak bisa lagi berkukuh dengan pendirian bahwa pendidikan seksualitas adalah urusan orangtua. Anak-anak yang bermasalah dari rumah tentu berpengaruh luar biasa ketika mereka bersekolah. Karena itu, dunia sekolah tidak bisa berpangku tangan menghadapi masalah seksualitas anak. Apalagi, peristiwanya terjadi di sekolah, seperti bertemu pacar, dijual oleh temannya, dan pengaruh teman sebaya.

Seks dini, hamil, aborsi, pembunuhan janin, anak di luar nikah, dan penelantaran anaknya anak adalah masalah sosial yang serius dihadapi Indonesia saat ini.

Kalau ini tidak ditangani oleh semua sektor, bonus demografi yang menjadi peluang Indonesia akan berubah menjadi ancaman berupa tingginya pengangguran, kenakalan, dan kriminalitas.

Karena itu, dunia pendidikan harus masuk menyubstitusi penanganan masalah yang tidak mampu ditangani orangtua.

Pendidikan kesehatan, baik formal maupun informal, dengan memberdayakan anak dan orangtua harus dilakukan. Ruang itu harus dibuka oleh dunia pendidikan. Semoga menteri pendidikan yang baru bisa melihat perspektif ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar