Demokrasi
Tanpa Apologia
Rahmatul Ummah Assaury ; Pegiat
Majelis Kamisan Cangkir
|
SATU
HARAPAN, 06 November 2014
Memang serba salah dan dilematis kalau sudah bicara pamrih. Mana
mungkin hidup tanpa pamrih. Mana mungkin menanam padi tanpa pamrih panen dan
menanak nasi tanpa pamrih nasi akan matang. Tetapi, hendaklah khalayak ramai
menyadari bahwa pamrih dengan pamrih ada bedanya. Motivasi individu dan
egoisme ada bedanya dengan perjuangan sosial. Mestinya rakyat mulai membuka
diri pada kesadaran bahwa bahwa para caleg itu berpamrih, tapi pamrihnya
adalah memperjuangkan rakyat, bukan memperjuangan nasib mereka sendiri. (Cak Nun, Demokrasi La Roiba Fih)
Penggalan kalimat Cak Nun tersebut penting dicantumkan untuk
menegaskan bahwa tulisan inipun punya pamrih, punya kepentingan, pamrih dan
kepentingan untuk terus berdialog dalam rangka merekonstruksi demokrasi sipil
yang selama ini dipinggirkan. Suatu demokrasi pluralis, demokrasi untuk semua
rakyat Indonesia.
Idealnya, demokrasi kita dibangun di atas konsepsi kebangsaan
dengan niat dasar yang sama sekaligus menyadari pluralitas, namun tetap
dibarengi kehendak yang sama dari semua pihak untuk memelihara perbedaan yang
dimilikinya dalam rangka menggapai tujuan bersama sebagai sebuah bangsa.
Mengutip Ernest Renan (1882) yang pertama kali mengemukakan
konsep kebangsaan yang kini sering diacu banyak pihak, konsepsi kebangsaan
setidaknya harus dilekatkan pada dua hal utama. Pertama, aspek historisitas
berupa kesamaan nasib dan perjuangan masa lampau. Kedua, aspek solidaritas
berupa keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble) di tengah
beragam perbedaan yang ada.
Konstruksi demokrasi yang kita cita-citakan adalah demokrasi
yang tak melepaskan diri dari historisitas dan solidaritas bangunan besar
kebangsaan, sekaligus tidak menjauh dari makna asalnya. Bahwa demokrasi
adalah suatu keadaan di mana rakyat
berada dalam posisi setara secara politik, mengendalikan apa yang mereka anggap
sebagai urusan publik.
Demokrasi langsung baik di level nasional maupun daerah adalah
demokrasi prosedural sebagai pintuk masuk ke demokrasi yg lebih substansial.
Demokrasi langsung adalah media mengajarkan rakyat bahwa kedaulatan adalah
milik mereka, sehingga baik buruknya wajah kedaulatan itu tergantung pada
pilihan yang mereka tetapkan. Jika, kewenangan mereka menata dan mendandani
demokrasi itu dipangkas dan dihilangkan, maka sama halnya memisahkan mereka
dari kepala mereka sendiri, memangkas dan menghilangkan rakyat dari
kedaulatannya. Dan demokrasi tak mungkin ada tanpa rakyat.
Perjalanan demokrasi ini sudah cukup panjang, dari Orde Lama
hingga Orde Baru, dan menemukan formula barunya sejak awal Reformasi, masih
sangat belia. Tak mungkin mengharapkannya secara terburu-buru untuk stabil
dan langsung memberi makna terhadap masyarakat luas.
Demokrasi tak boleh mengalami pendangkalan dan pengaburan makna.
Demokrasi bukan sekedar kuantitas, demokrasi sejatinya adalah kekuatan dan
kemampuan kolektif untuk bertindak mewujudnyatakan kebaikan umum.
Praktik berdemokrasi di Zaman Yunani Kuno tak melulu berpusat
pada voting. Bahwa voting adalah mekanisme pengambilan keputusan tak boleh
diingkari, namun prinsip utamanya adalah voting untuk kemaslahatan umum. Artinya
demokrasi bukan semata soal jumlah, melainkan kualitas manusia secara
bersama.
Demokrasi bukan hanya ketika rakyat berduyun-duyun ke TPS,
melainkan juga adalah proses panjang sebelum dan sesudahnya, bagaimana rakyat
mendiskusikan kreteria pemimpin dan wakil-wakilnya secara aktif, dari rekam
jejak dan tabiat-tabiatnya sebelum mereka sampai kepada ketetapan hati untuk
memilih. Dan demokrasi juga adalah bagaimana pelibatan mereka paska pemilihan
(voting), dan bagaimana rakyat
memberikan hukuman kepada mereka yang tak amanah terhadap mandat yang mereka
berikan.
Samuel P. Huntington, menegaskan dalam dua hingga tiga dekade
terakhir telah terjadi revolusi politik yang luar biasa di mana lebih dari 40
negara telah beralih dari sitem otoritarianisme menuju ke sistem demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, transisi politik dari Orde Baru ke Reformasi adalah
pembedaan rezim otoritarian dan totaliterisme ke otonomi sipil.
Otoritarian dan totaliterisme adalah suatu gejala negara di awal
Abad 20-an di mana negara secara
menyeluruh mengontrol, menguasai dan memobilisasi segala sisi kehidupan
masyarakat. Menurut Istilah George Orwell dalam buku Animal Farm penguasa
memonopoli kepemimpinan tanpa gangguan serta secara aktif menentukan
kehidupan masyarakatnya.
Dua rezim totaliterisme yang paling terkenal menurut Arendt
adalah pemerintahan Nasional-Sosialisme (Nazi) Jerman yang dipimpin Adolf
Hitler (1933-1945) dan Bolshevisme Soviet di
bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin (1922-1953). Kedua rezim ini
dikenal sebagai rezim diktator dan rasisme yang antihumanistik dan
antiuniversalistik, meskipuan Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin sering
dianggap memiliki inti yang lebih baik yaitu sosialisme.
Meski ditengarai tidak seterkenal dan sekejam kepemimpinan di
dua negara tersebut, namun Soeharto di era Orde Baru telah berhasil menyumbat
nalar kritis dan kebebasan rakyat. Warisan dominasi dan hegemoni kekuasaan
itu bahkan menerabos sekat-sekat terdalam rakyat Indonesia, sehingga
mentalitas ‘terjajah’ hingga kini masih terasa. Implikasinya mayoritas publik
Indonesia, bahkan mungkin juga elit politiknya menganggap bahwa membincang
demokrasi adalah membincang kepentingan elit politik semata oleh karena itu
yang berkepentingan pun hanyalah elit, bukan membicang kepentingan dan
kehidupan rakyat secara keseluruhan yang memerlukan partisipasi. Dan inilah
salah satu alasan kuat, kenapa kita menolak kembalinya mentalitas Orde Baru
untuk pentas.
Istilah demokrasi dan demokratisasi cenderung diterapkan dalam
kehidupan politik saja. Kecenderungan ini terlihat jelas misalnya dalam
pembicaraan tentang pemilu, pembuatan keputusan dan sebagainya. Demokrasi
dilihat sebagai satu aturan main untuk mendistribusikan kekuatan secara adil
di antara anggota masyarakat. Adil dalam artian ini adalah bahwa semua warga
masyarakat memperoleh hak yang sama untuk terlibat dalam pembuatan keputusan,
dan memiliki hak yang sama untuk berjuang memperebutkan kekuasaan. Pengertian
demokrasi sebenarnya adalah lebih luas daripada sekedar pengertian politik.
Asumsi-asumsi dmokrasi, seharusnya tidak hanya diterapkan dalam kehidupan
politik tetapi juga lebih luas lagi, dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Jika demokrasi dipandang sebagai pemerintahan oleh rakyat, tentu
mengandung pengertian bahwa mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan
dan yang mereka pandang lebih baik. Suatu hal dipandang baik bagi rakyat atau
dianggap sebagai kepentingan mereka berdasarkan pilihan mereka sendiri, bukan
pilihan pihak lain, seperti elit yang dipandang mengetahui dan berkuasa dalam
hal itu. Akan tetapi, rakyat harus terdidik dan tercerahkan secara memadai
agar dapat menentukan apa yang mereka inginkan atau pandang baik. Itulah
sebabnya demokrasi menekankan pentingnya lembaga-lembaga yang dapat menjadi
sarana pencerahan demos, seperti pendidikan dalam arti luas dan debat publik.
Robert A. Dahl dalam studinya mengajukan lima kriteria demokrasi
sebagai sebuah idea politik, yaitu, pertama, persamaan hak pilih dalam
menentukan keputusan kolektif yang mengikat. Kedua, partisipasi efektif,
yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga Negara dalam proses pembuatan
keputusan secara kolektif. Ketiga, pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang
yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya
proses politik dan pemerintahan secara logis. Keempat, kontrak terakhir
terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk
menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses
pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau
lembaga yang mewakili masyarakat. Kelima,pencakupan, yaitu terliputnya
masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dalam hukum.
Jadi, sudah saatnya kita menarik demokrasi ke luar dari politik an sich dan mulai secara menerus
memaksakan kepentingan publik menjadi orientasi utama demokrasi. Maka jangan
tinggalkan rakyat untuk menentukan pemimpinnya sekaligus merencanakan masa
depannya, dengan begitu rakyat akan mampu lebih kuat, berdaya dan elit mulai
berdemokrasi tanpa apologia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar