Rabu, 12 November 2014

Demokrasi Tanpa Apologia

Demokrasi Tanpa Apologia

Rahmatul Ummah Assaury  ;  Pegiat Majelis Kamisan Cangkir
SATU HARAPAN, 06 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Memang serba salah dan dilematis kalau sudah bicara pamrih. Mana mungkin hidup tanpa pamrih. Mana mungkin menanam padi tanpa pamrih panen dan menanak nasi tanpa pamrih nasi akan matang. Tetapi, hendaklah khalayak ramai menyadari bahwa pamrih dengan pamrih ada bedanya. Motivasi individu dan egoisme ada bedanya dengan perjuangan sosial. Mestinya rakyat mulai membuka diri pada kesadaran bahwa bahwa para caleg itu berpamrih, tapi pamrihnya adalah memperjuangkan rakyat, bukan memperjuangan nasib mereka sendiri. (Cak Nun, Demokrasi La Roiba Fih)

Penggalan kalimat Cak Nun tersebut penting dicantumkan untuk menegaskan bahwa tulisan inipun punya pamrih, punya kepentingan, pamrih dan kepentingan untuk terus berdialog dalam rangka merekonstruksi demokrasi sipil yang selama ini dipinggirkan. Suatu demokrasi pluralis, demokrasi untuk semua rakyat Indonesia.

Idealnya, demokrasi kita dibangun di atas konsepsi kebangsaan dengan niat dasar yang sama sekaligus menyadari pluralitas, namun tetap dibarengi kehendak yang sama dari semua pihak untuk memelihara perbedaan yang dimilikinya dalam rangka menggapai tujuan bersama sebagai sebuah bangsa.

Mengutip Ernest Renan (1882) yang pertama kali mengemukakan konsep kebangsaan yang kini sering diacu banyak pihak, konsepsi kebangsaan setidaknya harus dilekatkan pada dua hal utama. Pertama, aspek historisitas berupa kesamaan nasib dan perjuangan masa lampau. Kedua, aspek solidaritas berupa keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble) di tengah beragam perbedaan yang ada.

Konstruksi demokrasi yang kita cita-citakan adalah demokrasi yang tak melepaskan diri dari historisitas dan solidaritas bangunan besar kebangsaan, sekaligus tidak menjauh dari makna asalnya. Bahwa demokrasi adalah suatu keadaan  di mana rakyat berada dalam posisi setara secara politik, mengendalikan apa yang mereka anggap sebagai urusan publik.

Demokrasi langsung baik di level nasional maupun daerah adalah demokrasi prosedural sebagai pintuk masuk ke demokrasi yg lebih substansial. Demokrasi langsung adalah media mengajarkan rakyat bahwa kedaulatan adalah milik mereka, sehingga baik buruknya wajah kedaulatan itu tergantung pada pilihan yang mereka tetapkan. Jika, kewenangan mereka menata dan mendandani demokrasi itu dipangkas dan dihilangkan, maka sama halnya memisahkan mereka dari kepala mereka sendiri, memangkas dan menghilangkan rakyat dari kedaulatannya. Dan demokrasi tak mungkin ada tanpa rakyat.

Perjalanan demokrasi ini sudah cukup panjang, dari Orde Lama hingga Orde Baru, dan menemukan formula barunya sejak awal Reformasi, masih sangat belia. Tak mungkin mengharapkannya secara terburu-buru untuk stabil dan langsung memberi makna terhadap masyarakat luas.

Demokrasi tak boleh mengalami pendangkalan dan pengaburan makna. Demokrasi bukan sekedar kuantitas, demokrasi sejatinya adalah kekuatan dan kemampuan kolektif untuk bertindak mewujudnyatakan kebaikan umum.

Praktik berdemokrasi di Zaman Yunani Kuno tak melulu berpusat pada voting. Bahwa voting adalah mekanisme pengambilan keputusan tak boleh diingkari, namun prinsip utamanya adalah voting untuk kemaslahatan umum. Artinya demokrasi bukan semata soal jumlah, melainkan kualitas manusia secara bersama.

Demokrasi bukan hanya ketika rakyat berduyun-duyun ke TPS, melainkan juga adalah proses panjang sebelum dan sesudahnya, bagaimana rakyat mendiskusikan kreteria pemimpin dan wakil-wakilnya secara aktif, dari rekam jejak dan tabiat-tabiatnya sebelum mereka sampai kepada ketetapan hati untuk memilih. Dan demokrasi juga adalah bagaimana pelibatan mereka paska pemilihan (voting), dan bagaimana rakyat memberikan hukuman kepada mereka yang tak amanah terhadap mandat yang mereka berikan.

Samuel P. Huntington, menegaskan dalam dua hingga tiga dekade terakhir telah terjadi revolusi politik yang luar biasa di mana lebih dari 40 negara telah beralih dari sitem otoritarianisme menuju ke sistem demokrasi. Dalam konteks Indonesia, transisi politik dari Orde Baru ke Reformasi adalah pembedaan rezim otoritarian dan totaliterisme ke otonomi sipil.

Otoritarian dan totaliterisme adalah suatu gejala negara di awal Abad 20-an  di mana negara secara menyeluruh mengontrol, menguasai dan memobilisasi segala sisi kehidupan masyarakat. Menurut Istilah George Orwell dalam buku Animal Farm penguasa memonopoli kepemimpinan tanpa gangguan serta secara aktif menentukan kehidupan masyarakatnya.

Dua rezim totaliterisme yang paling terkenal menurut Arendt adalah pemerintahan Nasional-Sosialisme (Nazi) Jerman yang dipimpin Adolf Hitler (1933-1945) dan Bolshevisme Soviet di  bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin (1922-1953). Kedua rezim ini dikenal sebagai rezim diktator dan rasisme yang antihumanistik dan antiuniversalistik, meskipuan Bolshevisme Soviet di  bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin sering dianggap memiliki inti yang lebih baik yaitu sosialisme.

Meski ditengarai tidak seterkenal dan sekejam kepemimpinan di dua negara tersebut, namun Soeharto di era Orde Baru telah berhasil menyumbat nalar kritis dan kebebasan rakyat. Warisan dominasi dan hegemoni kekuasaan itu bahkan menerabos sekat-sekat terdalam rakyat Indonesia, sehingga mentalitas ‘terjajah’ hingga kini masih terasa. Implikasinya mayoritas publik Indonesia, bahkan mungkin juga elit politiknya menganggap bahwa membincang demokrasi adalah membincang kepentingan elit politik semata oleh karena itu yang berkepentingan pun hanyalah elit, bukan membicang kepentingan dan kehidupan rakyat secara keseluruhan yang memerlukan partisipasi. Dan inilah salah satu alasan kuat, kenapa kita menolak kembalinya mentalitas Orde Baru untuk pentas.

Istilah demokrasi dan demokratisasi cenderung diterapkan dalam kehidupan politik saja. Kecenderungan ini terlihat jelas misalnya dalam pembicaraan tentang pemilu, pembuatan keputusan dan sebagainya. Demokrasi dilihat sebagai satu aturan main untuk mendistribusikan kekuatan secara adil di antara anggota masyarakat. Adil dalam artian ini adalah bahwa semua warga masyarakat memperoleh hak yang sama untuk terlibat dalam pembuatan keputusan, dan memiliki hak yang sama untuk berjuang memperebutkan kekuasaan. Pengertian demokrasi sebenarnya adalah lebih luas daripada sekedar pengertian politik. Asumsi-asumsi dmokrasi, seharusnya tidak hanya diterapkan dalam kehidupan politik tetapi juga lebih luas lagi, dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Jika demokrasi dipandang sebagai pemerintahan oleh rakyat, tentu mengandung pengertian bahwa mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan dan yang mereka pandang lebih baik. Suatu hal dipandang baik bagi rakyat atau dianggap sebagai kepentingan mereka berdasarkan pilihan mereka sendiri, bukan pilihan pihak lain, seperti elit yang dipandang mengetahui dan berkuasa dalam hal itu. Akan tetapi, rakyat harus terdidik dan tercerahkan secara memadai agar dapat menentukan apa yang mereka inginkan atau pandang baik. Itulah sebabnya demokrasi menekankan pentingnya lembaga-lembaga yang dapat menjadi sarana pencerahan demos, seperti pendidikan dalam arti luas dan debat publik.

Robert A. Dahl dalam studinya mengajukan lima kriteria demokrasi sebagai sebuah idea politik, yaitu, pertama, persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat. Kedua, partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga Negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif. Ketiga, pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis. Keempat, kontrak terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat. Kelima,pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dalam hukum.

Jadi, sudah saatnya kita menarik demokrasi ke luar dari politik an sich dan mulai secara menerus memaksakan kepentingan publik menjadi orientasi utama demokrasi. Maka jangan tinggalkan rakyat untuk menentukan pemimpinnya sekaligus merencanakan masa depannya, dengan begitu rakyat akan mampu lebih kuat, berdaya dan elit mulai berdemokrasi tanpa apologia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar