Antitesis
Presiden Jokowi
Harris Turino ; Doctor
in Strategic Management
|
KOMPAS,
11 November 2014
ADALAH sebuah ironi menyaksikan
banyak orang ”pintar” yang belum bisa menerima kenyataan bahwa seorang
juragan mebel kelas kampung mampu menjadi presiden dari sebuah negara yang
GDP-nya masuk dalam 10 besar negara di dunia.
Mereka mengkritik dan menghujat
bahkan berusaha menjegal langkah-langkah strategis yang akan diambil. Mulai
dari soal arak-arakan pesta rakyat menyambut pelantikan presiden baru,
lambatnya proses pembentukan kabinet, pemilihan nama-nama beberapa anggota
kabinet yang dianggap sebagai kontroversi, blusukan para menteri kabinet yang
dianggap pencitraan belaka, peluncuran tiga kartu yang dianggap
inkonstitusional, hingga rencana pengalihan subsidi yang dianggap
prokapitalis.
Saya mengupas fenomena Jokowi
dari kacamata manajemen strategis. Fenomena Joko Widodo memang sebuah
antitesis dari pemerintahan sebelumnya. Sebagai sebuah antitesis, pendekatan
yang dilakukan Jokowi memang sangat berbeda dengan pendekatan pemerintah
sebelumnya. Kalau SBY dikenal sebagai seorang ahli strategi yang andal dalam
proses strategy formulation, Jokowi lebih menekankan pada aspek eksekusi strateginya.
Studi pada ranah manajemen
strategis membuktikan, sebagian besar kegagalan sebuah perusahaan dalam
menciptakan keunggulan bersaing bukan terletak pada konten strateginya,
melainkan pada proses eksekusi strategi. Strateginya mungkin sudah sangat bagus
disusun, tetapi lemah dalam proses eksekusinya. Fenomena serupa juga terjadi.
Ironisnya di sekolah-sekolah
bisnis, bahkan di sekolah keilmuan dalam ranah manajemen strategis,
pembahasan soal eksekusi strategi mendapatkan porsi jauh lebih kecil dibandingkan
dengan pembentukan dan konten strategi itu sendiri. Eksekusi dianggap sebagai
manajemen kelas bawah (low level management) yang bersifat taktis dan kurang
”bersifat strategis”.
Kritik ini juga sempat
dilontarkan pengamat ketika menyaksikan debat capres, yang menganggap level
Jokowi cuma ”eksekutor”. Maka, wajar dan bisa dimengerti jika banyak
”manajer” lulusan sekolah bisnis, bahkan doktor sekalipun, gagal ketika harus
mengeksekusi strategi indah yang sudah direncanakan. Ini sebuah ”pembenaran”
yang bisa diterima secara akademis, sekaligus sebuah keniscayaan yang naif.
Penekanan Jokowi pada eksekusi
strategi tergambar jelas dari pemilihan nama Kabinet Kerja. Untuk mendukung
keberhasilan eksekusi strateginya, tidak mengherankan jika pemilihan anggota
kabinet didominasi orang-orang yang memiliki aliran sama.
Beberapa nama menonjol, seperti
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menhub Ignatius Jonan,
Menpora Imam Nahrawi, Menaker Hanif Dhakiri, dan Mendag Rahmat Gobel,
langsung mewarnai pemberitaan media dengan gerakan blusukan mereka. Sebagai
sebuah langkah awal, hal ini tentu harus diapresiasi. Lewat blusukan
diharapkan banyak hambatan dan simpul-simpul kendala dalam eksekusi strategi
bisa diurai secara langsung.
Kunjungan perdana Jokowi ke Sinabung
contoh sukses bagaimana pemimpin terjun langsung ke lapangan dan mengambil
langkah strategis sesuai temuan di lapangan. Mintzberg (1998) dalam 5P
Strategy menyebut hal ini sebagai strategi sebuah pola, yaitu munculnya
inisiatif-inisiatif strategis berdasarkan pada perkembangan kondisi
lingkungan eksternal tempat proses strategi formulasi dan formasi dilakukan.
Langkah Jokowi mengubah
nomenklatur Kabinet Kerja juga sejalan dengan teori yang dikemukakan Chandler
(1962). Menurut Chandler, struktur perusahaan perlu disesuaikan dengan
pilihan strategi yang diambil. Pada ranah negara yang dimaksud dengan
struktur adalah nomenklatur kabinet. Kalau melihat visi dan misi pemerintahan
Jokowi-JK yang terinspirasi oleh konsep Trisakti yang dikemukakan Presiden Soekarno
tahun 1963, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan
berkepribadian secara sosial budaya, memang perubahan nomenklatur kabinet
dilakukan untuk mengamankan visi dan misi tersebut.
Satu lagi fenomena yang
menarik, yaitu soal perubahan budaya yang diterapkan oleh Jokowi dalam
pemerintahannya. Revolusi mental yang dicanangkan Jokowi pada hakikatnya
adalah sebuah perubahan budaya. Jokowi adalah penganut falsafah bahwa
pemerintah itu hakikatnya adalah ”pelayan” masyarakat. Maka, tentu pemerintah
sebagai ”pelayan” harus bekerja semaksimal mungkin demi masyarakat yang
dilayaninya. Lewat blusukan saat menjadi Gubernur DKI, Jokowi berusaha
memberikan contoh implementasi perubahan budaya ini di lingkungan kerjanya.
Penggunaan baju putih sebagai
”simbol” di acara pengumuman kabinet dan batik di acara pelantikan kabinet
juga cermin dari perubahan budaya yang sedang diimplementasikan. Ini sejalan
dengan tokoh Resource Based View,
yaitu Barney (1986), yang mengemukakan bahwa budaya sebagai sebuah sumber
daya bisa menjadi sumber keunggulan bersaing bagi perusahaan.
Dalam hal ini
Jokowi menyelaraskan budaya dengan pilihan strateginya.
Mencermati semua fenomena di
atas, saya sebagai seorang praktisi dan akademisi di ranah manajemen
strategis yakin, Jokowi sebagai sebuah antitesis ternyata adalah seorang
”strategist” sekaligus ”eksekutor” yang andal. Waktu yang akan
membuktikannya. Mari kita kawal pemerintahan baru ini demi Indonesia yang
lebih.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar