Rabu, 12 November 2014

Antitesis Presiden Jokowi

Antitesis Presiden Jokowi

Harris Turino  ;  Doctor in Strategic Management
KOMPAS, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


ADALAH sebuah ironi menyaksikan banyak orang ”pintar” yang belum bisa menerima kenyataan bahwa seorang juragan mebel kelas kampung mampu menjadi presiden dari sebuah negara yang GDP-nya masuk dalam 10 besar negara di dunia.

Mereka mengkritik dan menghujat bahkan berusaha menjegal langkah-langkah strategis yang akan diambil. Mulai dari soal arak-arakan pesta rakyat menyambut pelantikan presiden baru, lambatnya proses pembentukan kabinet, pemilihan nama-nama beberapa anggota kabinet yang dianggap sebagai kontroversi, blusukan para menteri kabinet yang dianggap pencitraan belaka, peluncuran tiga kartu yang dianggap inkonstitusional, hingga rencana pengalihan subsidi yang dianggap prokapitalis.

Saya mengupas fenomena Jokowi dari kacamata manajemen strategis. Fenomena Joko Widodo memang sebuah antitesis dari pemerintahan sebelumnya. Sebagai sebuah antitesis, pendekatan yang dilakukan Jokowi memang sangat berbeda dengan pendekatan pemerintah sebelumnya. Kalau SBY dikenal sebagai seorang ahli strategi yang andal dalam proses strategy formulation, Jokowi lebih menekankan pada aspek eksekusi strateginya.

Studi pada ranah manajemen strategis membuktikan, sebagian besar kegagalan sebuah perusahaan dalam menciptakan keunggulan bersaing bukan terletak pada konten strateginya, melainkan pada proses eksekusi strategi. Strateginya mungkin sudah sangat bagus disusun, tetapi lemah dalam proses eksekusinya. Fenomena serupa juga terjadi.

Ironisnya di sekolah-sekolah bisnis, bahkan di sekolah keilmuan dalam ranah manajemen strategis, pembahasan soal eksekusi strategi mendapatkan porsi jauh lebih kecil dibandingkan dengan pembentukan dan konten strategi itu sendiri. Eksekusi dianggap sebagai manajemen kelas bawah (low level management) yang bersifat taktis dan kurang ”bersifat strategis”.

Kritik ini juga sempat dilontarkan pengamat ketika menyaksikan debat capres, yang menganggap level Jokowi cuma ”eksekutor”. Maka, wajar dan bisa dimengerti jika banyak ”manajer” lulusan sekolah bisnis, bahkan doktor sekalipun, gagal ketika harus mengeksekusi strategi indah yang sudah direncanakan. Ini sebuah ”pembenaran” yang bisa diterima secara akademis, sekaligus sebuah keniscayaan yang naif.

Penekanan Jokowi pada eksekusi strategi tergambar jelas dari pemilihan nama Kabinet Kerja. Untuk mendukung keberhasilan eksekusi strateginya, tidak mengherankan jika pemilihan anggota kabinet didominasi orang-orang yang memiliki aliran sama.

Beberapa nama menonjol, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menhub Ignatius Jonan, Menpora Imam Nahrawi, Menaker Hanif Dhakiri, dan Mendag Rahmat Gobel, langsung mewarnai pemberitaan media dengan gerakan blusukan mereka. Sebagai sebuah langkah awal, hal ini tentu harus diapresiasi. Lewat blusukan diharapkan banyak hambatan dan simpul-simpul kendala dalam eksekusi strategi bisa diurai secara langsung.

Kunjungan perdana Jokowi ke Sinabung contoh sukses bagaimana pemimpin terjun langsung ke lapangan dan mengambil langkah strategis sesuai temuan di lapangan. Mintzberg (1998) dalam 5P Strategy menyebut hal ini sebagai strategi sebuah pola, yaitu munculnya inisiatif-inisiatif strategis berdasarkan pada perkembangan kondisi lingkungan eksternal tempat proses strategi formulasi dan formasi dilakukan.

Langkah Jokowi mengubah nomenklatur Kabinet Kerja juga sejalan dengan teori yang dikemukakan Chandler (1962). Menurut Chandler, struktur perusahaan perlu disesuaikan dengan pilihan strategi yang diambil. Pada ranah negara yang dimaksud dengan struktur adalah nomenklatur kabinet. Kalau melihat visi dan misi pemerintahan Jokowi-JK yang terinspirasi oleh konsep Trisakti yang dikemukakan Presiden Soekarno tahun 1963, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya, memang perubahan nomenklatur kabinet dilakukan untuk mengamankan visi dan misi tersebut.

Satu lagi fenomena yang menarik, yaitu soal perubahan budaya yang diterapkan oleh Jokowi dalam pemerintahannya. Revolusi mental yang dicanangkan Jokowi pada hakikatnya adalah sebuah perubahan budaya. Jokowi adalah penganut falsafah bahwa pemerintah itu hakikatnya adalah ”pelayan” masyarakat. Maka, tentu pemerintah sebagai ”pelayan” harus bekerja semaksimal mungkin demi masyarakat yang dilayaninya. Lewat blusukan saat menjadi Gubernur DKI, Jokowi berusaha memberikan contoh implementasi perubahan budaya ini di lingkungan kerjanya.

Penggunaan baju putih sebagai ”simbol” di acara pengumuman kabinet dan batik di acara pelantikan kabinet juga cermin dari perubahan budaya yang sedang diimplementasikan. Ini sejalan dengan tokoh Resource Based View, yaitu Barney (1986), yang mengemukakan bahwa budaya sebagai sebuah sumber daya bisa menjadi sumber keunggulan bersaing bagi perusahaan. 

Dalam hal ini Jokowi menyelaraskan budaya dengan pilihan strateginya.
Mencermati semua fenomena di atas, saya sebagai seorang praktisi dan akademisi di ranah manajemen strategis yakin, Jokowi sebagai sebuah antitesis ternyata adalah seorang ”strategist” sekaligus ”eksekutor” yang andal. Waktu yang akan membuktikannya. Mari kita kawal pemerintahan baru ini demi Indonesia yang lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar