Peluang
dan Tantangan Hubungan Indonesia-Tiongkok
Novi Basuki ; Researcher
pada Research School of Southeast Asian Studies,
Xiamen University, Tiongkok
|
JAWA
POS, 12 November 2014
DALAM kunjungannya ke Beijing untuk menghadiri KTT APEC,
Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) pada 9 November lalu
melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Dilansir
situs www.setkab.go.id (9/11), dalam perbincangannya, Xi menyatakan bahwa
hubungan kemitraan strategis komprehensif Indonesia-Tiongkok paling dinamis
di kawasan Asia Pasifik. Jokowi juga berharap kemitraan strategis yang
komprehensif itu dapat semakin konkret.
Benar, selama sepuluh tahun terakhir, hubungan Indonesia dengan
Tiongkok –sebagaimana diakui Marty Natalegawa, mantan menteri luar negeri RI–
berada pada kondisi terbaik sepanjang sejarah. Namun, selanjutnya, selain
terdapat peluang, relasi kedua negara tidak berarti tanpa tantangan.
Peluang
Sejak Xi naik menjadi presiden pada 2012, titik berat politik
luar negeri Tiongkok adalah pada ”zuo hao zhoubian waijiao gongzuo” (menjalin
hubungan baik dengan negara-negara sekitar). Ditulis Chen Qi, guru besar
Tsinghua University, di China Daily (23/9), ”China is emphasizing the importance of relations with its neighbors
and is seeking to build a community of shared destiny with them.”
Guna mewujudkan itu, Xi menawarkan proposal pembangunan 21 Shiji
Haishang Sichou zhi Lu (Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21) dengan dana pendukung
USD 50 miliar, yang Xi paparkan kali pertama di Indonesia pada 2013. Polanya,
Tiongkok akan melakukan kerja sama (berupa perdagangan bebas, pembangunan
infrastruktur, pertukaran budaya, dll) dengan negara-negara yang berada di
sepanjang jalur tersebut. Indonesia adalah salah satu rute penting jalur yang
pada abad ke-12 mencapai puncak kejayaannya itu.
Saat debat capres tentang politik internasional dan ketahanan
nasional (22/6), selain tetap menjadikan bebas aktif sebagai landasan politik
luar negerinya, Jokowi bermaksud menjadikan Indonesia sebagai negara maritim
yang kuat dan mandiri serta menjadi poros maritim dunia. Berdasar pasal 46
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), Indonesia tergolong negara
kepulauan (archipelagic state).
Namun, itu tidak serta-merta menjadikan Indonesia sebagai negara maritim (maritime state). Yang disebut pertama
hanya mengacu pada kondisi geografis negaranya. Sedangkan yang disebut
terakhir adalah negara yang kejayaannya bertumpu pada kekuatan maritim. Visi
maritim Jokowi yang searah dengan Xi itu dapat dijadikan peluang dalam
merajut kerja sama dengan Tiongkok lima tahun ke depan.
Tantangan
Setidaknya ada lima tantangan yang dihadapi Indonesia di bawah
kepemimpinan Jokowi dalam menjalin hubungan bilateral dengan Tiongkok.
Pertama, menyeimbangkan defisit neraca perdagangan yang belum terselesaikan
sejak 2009. Data BPS awal 2014 menunjukkan, sepanjang 2013 total nilai
perdagangan Indonesia-Tiongkok sebesar USD 50,85 miliar –turun dari 2012 yang
USD 51,04 miliar. Perinciannya, ekspor Indonesia ke Tiongkok USD 21,28
miliar, sedangkan impor Indonesia dari Tiongkok mencapai USD 29,57 miliar
(defisit sekitar USD 7,99 miliar bagi Indonesia). Indonesia perlu intens
berkomunikasi dengan Tiongkok agar defisit perdagangan bisa ditekan menuju
keseimbangan.
Kedua, Tiongkok yang notabene kekuatan ekonomi terbesar kedua
dunia memiliki USD 3,95 triliun devisa. Sayang, hingga 2013 baru USD 2,02
miliar saja investasi yang ditanam di Indonesia. Indonesia sebagai primus inter
pares di Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi yang positif –dan didukung
politik yang relatif stabil– seharusnya dapat menjadi negara tujuan investor
Tiongkok. Iklim investasi perlu terus diperbaiki. Sebelum bertemu Xi, Jokowi
juga mempertegas akan melakukan pembenahan pada penghambat lancarnya
investasi seperti rumitnya perizinan saat berpidato di depan sekitar 300
pengusaha di Beijing.
Ketiga, masih sedikit wisatawan Tiongkok yang sangat potensial
yang terserap. Pemerintah menargetkan 3 juta turis Tiongkok ke Indonesia
hingga 2016. Namun, patut diperhatikan, angka ini sudah dicapai Thailand 2013
kemarin. Malaysia pada pertengahan tahun itu sudah berhasil menyedot
pelancong Tiongkok sebanyak 943 ribu lebih. Sedangkan Indonesia, pada
keseluruhan tahun yang sama, hanya mampu menarik 750 ribu orang.
Keempat, di bidang pendidikan, Indonesia juga belum menjadi
negara tujuan pelajar Tiongkok. Jika dibandingkan dengan negara tetangga
seperti Singapura (88.457) dan Malaysia (12.712), jumlah pelajar Tiongkok di
Indonesia masih sangat minim. Data dari KBRI Beijing menunjukkan, pada 2013
hanya ada 327 orang Tiongkok yang menempuh pendidikan di Indonesia. Jauh
dengan pelajar Indonesia di Negeri Panda yang mencapai lebih dari 13.000 pada
tahun yang sama.
Terakhir, sengketa antara Tiongkok dan empat anggota ASEAN
(Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei), terkait kedaulatan di Laut China
Selatan, masih membutuhkan Indonesia sebagai ”juru damai yang tak memiliki
kepentingan” (honest peace broker).
Di luar itu, Indonesia juga harus senantiasa memastikan tak ada kedaulatan
nasional yang dilanggar Tiongkok dengan sembilan garis putus-putus (nine-dash line) di petanya tersebut.
Perlu diketahui, ada beragam tangan yang turut campur dalam perumusan dan
atau pengambilan kebijakan luar negeri Tiongkok –masing-masing memasukkan
kepentingan sektoralnya di sana. Karena itu, sulit menyatakan cuma ada satu
kebijakan luar negeri Tiongkok yang kongruen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar