Resolusi
Jihad Ekonomi Syariah
M Hasan Mutawakkil Alallah ; Ketua
Tanfidziyah PW NU Jawa Timur
|
JAWA
POS, 12 November 2014
RANGKAIAN bulan Oktober dan November memiliki nilai sejarah yang
sangat tinggi bagi kemandirian bangsa Indonesia. Dalam bulan-bulan ini,
sejarah Indonesia mencatat tingginya kegigihan para pahlawan dalam
memerdekakan bangsa ini untuk menjadi warga dari bangsa yang merdeka, yakni
Indonesia.
NU memiliki saham yang besar dalam upaya menuju dan
mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Sejak awal berdirinya, Nahdlatul
Ulama’ memainkan peran strategis, baik dalam lingkup nasional maupun
internasional, khususnya yang terkait dengan perlawanan terhadap penjajahan. Tercatat
dalam sejarah, pada 21–22 Oktober 1945, Nahdlatul Ulama’ menyelenggarakan
rapat akbar yang dihadiri konsul-konsul se-Jawa dan Madura.
Rapat akbar tersebut melahirkan sebuah fatwa yang dikenal dengan
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. Pesan intinya adalah kewajiban bagi setiap
warga bangsa (fardlu ’ain) untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari segala macam bentuk penjajahan
serta yang gugur di medan pertempuran akan mendapat predikat syuhada.
Seruan itu sangat berpengaruh dalam menggalang kekuatan rakyat,
khususnya umat Islam, untuk berjuang mengangkat senjata melawan kehadiran
kembali tentara Belanda yang membonceng tentara NICA/Sekutu.
Pesantren-pesantren dan kantor-kantor Nahdlatul Ulama’ di tingkat cabang
hingga ranting menjelma menjadi markas Hizbullah dan Sabilillah. Dua gugus
perjuangan tersebut menghimpun para pejuang, khususnya pemuda-pemuda santri,
yang ingin berjuang dengan semangat tinggi, meski dengan keahlian dan
fasilitas persenjataan yang sangat terbatas.
Puncak perlawanan tersebut menewaskan Brigjen A.W.S. Mallaby
pada 30 Oktober 1945 karena serangan pejuang Indonesia. Akibatnya, Mayor
Jenderal E.C. Mansergh, pengganti Mallaby, pada 9 November 1945 mengeluarkan
ultimatum kepada pasukan Indonesia di Surabaya untuk menyerahkan senjata
tanpa syarat kepada NICA.
Ultimatum tersebut dibayar lunas dengan pekik perjuangan para
mujahidin Indonesia yang telah terbakar fatwa resolusi jihad Nahdlatul
Ulama’. Pada 10 November 1945, pecahlah pertempuran dahsyat antara para
pejuang dan tentara sekutu yang menggemparkan jagat Nusantara sehingga sampai
hari ini peristiwa pertempuran tersebut dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Resolusi Jihad Memberantas
Kemiskinan
Era penjajahan fisik telah berlalu. Tetapi, penjajahan dalam
bentuk yang lain datang menggantikannya. Kemakmuran dan kesejahteraan yang
diharapkan masih sebatas angan yang tidak kunjung datang. Angka kemiskinan
rakyat Indonesia, sesuai dengan data terbaru 2013 dari Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di bawah koordinasi wakil
presiden, mencapai angka 96 juta jiwa dari sekitar 259.000.000 penduduk
Indonesia. Tentu, angka kemiskinan itu masih cenderung fantastis.
Selaras dengan angka kemiskinan tersebut, rasio entrepreneur
terhadap jumlah penduduk di Indonesia hanya 1,6 persen. Angka itu jauh di
bawah standar minimum 2 persen untuk menjadi sebuah negara maju. Sebab,
prasyarat untuk menjadi negara maju setidaknya memiliki rasio entrepreneur
lebih dari 5 persen dari jumlah penduduk yang ada. Misalnya, Singapura
memiliki rasio entrepreneur hingga 7,2 persen dan Jepang sekitar 10 persen.
Fakta itu berdampak pada pendapatan per kapita rakyat Indonesia
yang baru USD 4.666 atau berada di peringkat ke-123 dunia. Dengan demikian,
walaupun sudah merdeka, bangsa ini masih terjajah dalam belenggu kemiskinan
dan ketertindasan ekonomi.
Melihat fakta tersebut, diperlukan jihad ekonomi yang masif dari
bangsa Indonesia untuk terbebas dari belenggu kemiskinan dan ketertindasan
ekonomi. Dengan begitu, Resolusi Jihad NU perlu direaktualisasikan kembali
dengan pemaknaan yang selaras dengan kondisi bangsa saat ini. Yakni, jihad
memberantas kemiskinan dan ketertindasan ekonomi dengan mengoptimalkan serta
menggelorakan kembali semangat Nahdlatuttujjar untuk memperkukuh sektor
ekonomi kerakyatan.
Reaktualisasi
Nahdlatuttujjar
Fakta historis telah mengungkap bahwa Nabi Muhammad SAW
merupakan seorang usahawan sejati yang sukses berbisnis sejak usia remaja.
Beliau senantiasa menganjurkan umatnya untuk berwirausaha sebagaimana hadis
riwayat Ahmad yang menjelaskan: ’’Hendaklah kamu berbisnis (berwirausaha)
karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki.’’ Hadis itu menunjukkan
bahwa profesi bisnis harus diutamakan dari profesi-profesi lainnya.
Bahkan, dalam hadis yang lain, Nabi Muhammad SAW menyebut
profesi pedagang sebagai profesi terbaik di antara profesi yang ada hingga
beliau bersabda: ’’Sebaik-baik usaha adalah profesi sebagai pedagang.’’
Puncak penghargaan Rasulullah SAW kepada para entrepreneur
adalah menyetarakan posisinya dengan para nabi, syuhada, dan shalihin. Itu
semua menjadi dasar dan argumen penting untuk menggelorakan kembali semangat
Resolusi Jihad dan Nadlatuttujjar dalam rangka memberantas kemiskinan serta
ketertindasan ekonomi.
Perjuangan tersebut tentu harus berdasar norma agama yang
dijadikan pegangan. Karena itu, jihad ekonomi yang dilakukan selaras dengan
nilai-nilai kebenaran ilahi. Hadis berikut bisa menjadi penguatnya: ’’Wirausahawan yang jujur dan amanah
ditempatkan Allah bersama nabi, syuhada, dan shalihin (orang-orang yang
saleh).’’ Hadis itu mengajarkan aspek kejujuran dalam berwirausaha.
Sebab, kejujuran merupakan peranti utama etika bisnis dalam Islam. Kesuksesan
Nabi Muhammad dalam berbisnis jelas disebabkan kejujuran yang dimilikinya.
Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal dijelaskan, Rasulullah SAW
bersabda: ’’Sesungguhnya sebaik-baik
usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta,
jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli
tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji barang dagangan, jika
berutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak
mempersulit’’ (HR Bihaqi).
Itulah fondasi ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai syariah
sebagaimana yang telah diajarkan dan dicontohkan Rasulullah SAW. Usaha para
ulama, khususnya di kalangan pesantren dan NU, dalam menjalankan usaha
ekonomi melalui wadah Nahdlatuttujjar dengan menghimpun kekuatan ekonomi
rakyat bisa menjadi teladan yang baik bagi kemandirian ekonomi. Kemandirian
itu kini dibutuhkan bangsa dan masyarakat agar terbebas dari wabah rentenir.
Kini merupakan momentum terbaik untuk menggelorakan jihad
ekonomi syariah di tengah keterpurukan rakyat karena kemiskinan dan
ketidakberdayaan ekonomi. Gempuran ekonomi yang jauh dari keberpihakan
terhadap rakyat kecil patut direspons dengan semangat kemandirian ekonomi di
bawah gelora Resolusi Jihad Ekonomi Syariah di atas. Dipilihnya Jawa Timur
sebagai pilot project pengembangan ekonomi syariah oleh negara-negara OKI
harus menjadi awal yang baik bagi penguatan Resolusi Jihad Ekonomi Syariah
yang dimaksud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar